Oleh: Ifa Nur Rofiqoh
Jurusan Perbandingan Agama-B
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dosen Pembimbing: Ibu Siti Nadroh
A.
PENDAHULUAN
“Agama
Buddha adalah agama Missionari yang pertama dalam sejarah kemanusiaan dengan
suatu pesan keselamatan yang universal bagi semua umat manusia. Sang Budha setelah
mencapai pencerahan/penerangan sempurna, mengutus 61 siswanya ke berbagai arah
yang berlainan dan meminta mereka untuk membabarkan dhamma demi kesejahteraan
dan kebahagiaan umat manusia”.
Dr. K. N. Jatatilleke, “Budhism and
Peace” [1]
Ajaran Buddha setelah Mahaparinibbana Sang
Buddha, dilanjutkan oleh para siswa-siswa utama melalui konsili-konsili yang
menghasilkan kumpulan ajaran Buddha berdasarkan khotbah, aturan dan peristiwa
yang terjadi pada waktu kehidupan Sang Buddha. Penyebaran ajaran Buddha
memberikan banyak kontribusi kemakmuran pada berbagai negara. Raja Asoka yang
terkenal dengan pedangnya dan selalu ingin menguasai negara-negara yang
sebelahnya, namun setelah mendengarkan ajaran Sang Buddha, kemudia menjadi
pengikut Buddha dan berperang bukan dengan senjata tajam melainkan dengan
kebenaran Dhamma.
Sangha berperan sebagai perubah nilai psikologis
pada manusia. Orang yang melihat kehidupan dan perbuatan para Bhikkhu yang
terlatih dalam sila, memberikan kesejukan hati dan rasa damai. Kegembiraan ini
muncul dalam diri manusia yang selalu memberikan penghormatan dan keyakinan
terhadap Sangha. Dimana para bhikkhu-bhikkhuni yang selalu memberikan dampak
yang baik dalam bertindak.
Dalam memahami agama Buddha, tentunya
akan kita temukan perbedaan-perbedaan dengan agama lain. Para penganut agama
Buddha tidak memerlukan upacara-upacara keagamaan seperti pemujaan terhadap
sang dewa, namun agama buddha lebih mengutamakan penganutnya untuk berbuat
(karma) membebaskan diri dari pederitaan (dukkha). Penyebab dari dukkha itu
sendiri adalah keinginan (tanha) dan ketidaktahuan (avijja). Untuk dapat
terbebas dari dukkha tersebut maka sesorang harus bisa melenyapkan/memadamkan
keinginan yang terbelunggu didalam dirinya dengan melaksanakan Salah satu dari
delapan jalan untuk melenyapkan penderitaan yaitu dengan melaksanakan sila (salah
satunya dengan cara menjadi anggota sangha). Untuk dapat menjadi seorang sangha
harus melalui beberapa tahapan-tahapan dan mematuhi dasa sila agama Buddha,
selain itu juga terdapat beberapa tingkat kesucian yang harus dicapai bagi
kelompok buddha sangha.
Memang untuk memahami ajaran tentang
sangha kita perlu mempelajari terlebih dahulu mengenai sejarah awal dan perkembangannya,
sebelum kita masuk kedalam pembahasan yang lebih rinci seperti tingkat
kesucian, kedudukan, serta tahapan-tahapan dalam memasuki kelompok sangha.
Untuk itulah penulis akan memaparkan sedikit pemahamannya mengenai hal
tersebut.
B.
SEJARAH TERBENTUKNYA SANGHA
Pada waktu Sang Budha menyebarkan Dhamma,
semua persoalan dan ketidak jelasan yang timbul baik yang berasal dari
lingkungan biksu maupun upasaka, apabila tidak dapat dipecahkan sendiri maka
ditanyakan kepada Sang Budha. Sesuai dengan sabda Sang Budha sebelum wafat
kepada Bikkhu Ananda untuk berpedoman pada Dhamma-Vinaya, maka dalam
pelaksanaannya tidak mudah karena dalam agama Budha tidak dikenal adanya
lembaga keagamaan yang diberikan wewenang tertinggi yang memutuskan dan
memberikan ketetapan atas suatu masalah. Untuk memastikan Dhamma Vinaya yang
dimaksud dalam suatu permasalahan prosedurnya tidaklah mudah.[2]
Menurut sejarah agama Buddha beberapa
minggu setelah Sidharta Gautama mencapai pencerahan maka ia membentuk Sangha
yang pertama yang anggota-anggotanya terdiri dari Kondana, Badiya, Wappa,
Mahanama, dan Asaji. Diantara kelima murid buddha tersebut yang mencapai
tingkat Arahat adalah Kondana. Mereka merupakan contoh masyarakat buddha yang
dapat menciptakan suasana yang diperlukan untuk mencapai hidup tertinggi atau
Nirwana.[3]
Pasamuan-pasamuan sangha yang terjadi
pada awal sejarah agama Budha telah melahirkan tradisi bagaimana Dhamma-Vinaya
itu ditetapkan. Sekalipun pasamuan sangha itu bukan lembaga tertinggi, namun
ketetapan yang diambil telah memberikan garis dalam sejarah agama Budha.[4]
a.
Pasamuan Sangha Pertama
Pada pasamuan sangha di Rajagaha yang
diselenggarakan tidak lama setelah Sang Budha wafat, berdasarkan sumber-sumber
Theravada dikemukkan bahwa pasamuan ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran Bikkhu
Kassapa setelah mendengar pernyataan Bikkhu Sabhada “janganlah bersedih
kawan-kawan, janganlah meratap, sekarang kita terbebas dari pertapa agung yang
tidak akan lagi memberi tahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang
tidak, yang membuat hidup kita menderita; tetapi sekarang kita dapat berbuat
apapun yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi”, dengan
kata lain para Bikkhu dapat melakukan apa yang diinginkan karena Sang Buddha
sudah tiada. Bikkhu Kassapa, setelah mendengar kata-kata itu memimpin pasamuan
agung (konsili). [5]
Dengan bantuan Raja Ajatasattu Magaddha,
500 orang arahat berkumpul di goa Sattapanni dekat Rajagaha untuk mengumpulkan
ajaran Sang Budha yang telah diwedarkan selama ini dan menyusunnya secara sistematis.
Y. A Ananda, siswa terdekat Sang Budha, mendapat kehormatan untuk mengulang
kembali khotbah-khotbah Sang Budha dan Y. A Upali mengulang Vinaya
(peraturan-peraturan). Dalam pasamuan agung yang pertama inilah mereka
mengikuti ajaran Sang Budha seperti tersebut dalam kitab Vinaya-Pitaka,
sebagaimana sabda Sang Budha yang terakhir: “Jadikanlah Dhamma dan Vinaya sebagai
pelita dan pelindung bagi dirimu”.[6]
b.
Pasamuan Sangha kedua
Pasamuan sangha yang kedua dilaksanakan
di Vesali kira-kira seratus tahun setelah Sang Budha wafat dengan bantuan Raja
Kalasoka. bermula dari adanya sekelompok Bikkhu yang hendak mengubah Vinaya.
Pada konsili yang kedua ini kitab suci Tipitaka (Pali) diucapkan ulang oleh 700
orang arahat. Kelompok bikkhu yang memegang teguh kemurnian Dhamma Vinaya ini
menamakan diri Sthaviravada, yang kelak disebut Theravada; sedangkan kelompok
bikkhu yang ingin mengubah Vinaya menamakan diri Mahasanghika, yang kelak menjadi
madzhab Mahayana.[7]
Pasamuan
sangha yang kedua ini mempunyai makna yang berbeda dari pasamuan sangha yang
pertama. Pada pasamuan rajagaha tidak lain hanya pasamuan sangha belaka, tanpa
pengambilan keputusan dalam bidang ajaran, melainkan menyatakan Dhamma Vinaya
yang diajarkan Sang Buddha. Sedang pasamuan Vesali pada dasarnya merupakan
suatu “vivadadhikarana”, yaitu penyelesaian perselisihan dalam lingkungan
sangha.[8]
c.
Pasamuan Sangha Ketiga
Pasamuan Agung Ketiga diadakan di
Pattaliputta (Patna) pada abad ke-3 setelah Sang Budha wafat (249 SM) pada masa
pemerintahan Kaisar Asoka Wardana. Kaisar memeluk agama Budha dan dengan
pengaruhnya banyak membantu penyebaran Dhamma ke seluruh wilayah kerajaan.
Dalam pasamuan agung ketiga ini 100 orang arahat mengulang kembali bacaan kitab
suci Tipitaka selama sembilan bulan. Dari titik tolak pasamuan inilah agama
Budha dapat tersebar ke seluruh penjuru dunia dan terhindar lenyap dari bumi
asalnya.[9]
d.
Organisasi umat Buddha di Indonesia
Awal kebangkitan kembali agama Buddha di
Indonesia ditandai adanya orang-orang Indonesia yang sudah mengenal ajaran
agama Budha dan menjadi Bikkhu. Sangha yang mula-mula ada adalah sangha
berdasarkan tradisi Theravada, kemudian lahir sangha berdasarkan tradisi Mahayana.
Umat awam yang telah mengerti agama Budha diwisuda sebagai upasaka dan upasaki,
setelah jumlahnya bertambah maka melahirkan suatu organisasi sebagai wadah
untuk mereka.
Organisasi pengabdi umat Buddha yang
tertua di Indonesia adalah Persaudaraan Upasaka-Upasaki Indonesia (PUUI) yang
didirikan pada hari Asadha tahun 1954 di Watugong, Ungaran untuk membantu Y. A.
Bikkhu Asin Jinarakkhita yang pada permulaan kebangkitan agama Budha di
Indonesia itu bekerja seorang diri dalam menyebarkan Dhamma. Sebagai ketua umum
yang pertama adalah maha Upasaka Sariputra Sadono, yang kemudian diteruskan
oleh Majlis Buddhayana Indonesia (MBI).[10]
Sangha dan PUUI di Indonesia pada mulanya
lebih banyak memberikan perhatian pada kehidupan keagamaan dan bagaimana
mengembangkan umat. Masalah-maslah sosial dan kemasyarakatan belum banyak
mendapat perhatian.
Mengingat fungsinya yang makin meluas,
dalam maha Samaya III PUUI tanggal 3-5 Maret 1972 di Sukabumi, nama PUUI diubah
menjadi Majelis Ulama Agama Budha Indonesia (MUABI). Dalam maha Samaya IV
tanggal 23-25 Januari 1976 yang juga diadakan di Sukabumi kepanjangan MUABI
diserasikan dengan istilah Buddhis menjadi Majelis Upasaka-Pandita Agama Buddha
Indonesia. Pada tanggal 23 Juli 1975 MUABI mendirikan Lembaga Pendidikan Dharma
Duta Kasogatan.[11]
Setelah kongres umat Buddha Indonesia
pada tahun 1979 di Yogyakarta yang menghasilkan wadah Perwakilan Umat Budha
Indonesia (WALUBI), MUABI kembali diubah namanya mnjadi Majelis Budhayana
Indonesia (MBI). Perubahan dari MUABI menjadi MBI ternyata sempat menimbulkan
pergolakan dalam tubuh MBI. Ada pendapat keliru yang menyatakan Budhayana
sebagai sekte. Melalui kongres V MBI tanggal 7-9 Juni 1987 di Pacet akhirnya
kekeliruan yang ada diperbaiki dan MBI kembali menjadi pembantu utama Sangha
Agung Indonesia.[12]
Dalam agama Budha sangha mempunyi
kedudukan yang khusus, sehingga sangha senantiasa perlu ditegakkan untuk
menjawab perubahan-perubahan yang ada dalam lingkungan masyarakat.
Sangha-sangha yang ada di indonesia memberikan gambaran yang beraneka ragam,
tidak homogen sebagaimana yang telah berkembang di selatan, utara maupun Tibet.
Didalam anggaran dasar Majelis Budhayana Indonesia
yang disahkan kongres V MBI, dinyatakan bahwa:
1. Pada bab II pasal 4 MBI (Majelis
Budhayana Indonesia) berasaskan Pancasila.
2. Pada bab III tantang dasar dan tujuan
dinyatakan bahwa MBI merupakan organisasi wadah dari umat Budhayana yang
bernaung dibawah Sangha Agung Indonesia.Sebagai pembantu utama Sangha Agung
Indonesia pasal 6 menyatakan bahwa MBI mempunyai dasar dan landasan yang sama
dengan Sangha Agung Indonesia, yang memakai kitab suci Tripitaka yang terdiri
dari Pali Pitaka, Sankrit Pitaka dan Kawi Pitaka. Pasal 6 juga menyatakan bahwa
MBI bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa/Sanghyang Adi Buddha dan mengawali do’anya
dengan ‘NAMO SANGHYANG ADI BUDHA’.
3. Dalam bab III pasal 7 MBI bertujuan
mengembangkan dan melestarikan agama Budha Indonesia membina umatnya,
berpartisipasi secara aktif dalam membangun manusia seutuhnya dan menyesuaikan
perkembangannya dengan kondisi dan tradisi di Indonesia.
Usaha-usaha yang dilakukan MBI sebagaimana dijabarkan dalam anggaran
dasar MBI bab V pasal 9 adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan penghayatan dan pengalaman
ajaran-ajaran Sang Budha Gautama Sakyamuni.
2. Mendirikan Vihara dan cetiya serta
sarana-sarana pendidikan agama Budha Indonesia
3. Membantu menberikan pendidikan agama
Buddha di sekolah-sekolah dasar, menengah dan perguruan tinggi serta kejuruan,
vihara dan cetiya.
4. Usaha-usaha lain yang tidak bertentangan
dengan AD/ART.[13]
e.
Struktur Organisasi Sangha Indonesia
Keterangan :[14]
- P.N.
- UPN.
- KBP Kab = Padesanayaka (Ketua Bhikkhu Pembina Propinsi).
= Upa-Padesanayaka (Wakil Ketua Bhikkhu Pembina Propinsi).
= Ketua Bhikkhu Pembina Kabupaten.
- UPN.
- KBP Kab = Padesanayaka (Ketua Bhikkhu Pembina Propinsi).
= Upa-Padesanayaka (Wakil Ketua Bhikkhu Pembina Propinsi).
= Ketua Bhikkhu Pembina Kabupaten.
Sangha Mahayana Indonesia
DEWAN PIMPINAN PUSAT[15]
Ketua
Umum :
Mahabhiksu Dhyanavira Sthavira
Wakil ketua umum : Bhiksu Gunabhadra, S.Ag. Mahasthavira
Ketua I : Bhiksu Dr. Dharma Suryo ,MA.M.Si.,Mahasthavira
Ketua II : Bhiksuni Dhyana Mudita
Ketua III : Bhiksu Tadisa Paramitha
Sekretaris Jenderal : Bhiksu Dr. HC. Mitra Sm, Hk., Mahasthavira
Bendahara : Bhiksuni Ru San
Wakil Bendahara : Bhiksuni Kusala Vidya
Bidang Diklat : Bhiksu Tek Sien
Bidang Pelayanan Umat : Bhiksuni Tamsaka Vaidurya
Bidang Kemasy. & Sosial : Badra Sila
Staf ahli dewan pimpinan pusat sangha mayana indonesia:
1. Dr. Rusli, SE, SH, MM
2. Dr. Yuriani, M. Pd.
3. Chandra Gunawan, SE.
4. Sunarjo Sumargono
Sekretariat:
1. Alih Budhi K.
2. Adhijayo
3. Rikhi Dharmadi
Wakil ketua umum : Bhiksu Gunabhadra, S.Ag. Mahasthavira
Ketua I : Bhiksu Dr. Dharma Suryo ,MA.M.Si.,Mahasthavira
Ketua II : Bhiksuni Dhyana Mudita
Ketua III : Bhiksu Tadisa Paramitha
Sekretaris Jenderal : Bhiksu Dr. HC. Mitra Sm, Hk., Mahasthavira
Bendahara : Bhiksuni Ru San
Wakil Bendahara : Bhiksuni Kusala Vidya
Bidang Diklat : Bhiksu Tek Sien
Bidang Pelayanan Umat : Bhiksuni Tamsaka Vaidurya
Bidang Kemasy. & Sosial : Badra Sila
Staf ahli dewan pimpinan pusat sangha mayana indonesia:
1. Dr. Rusli, SE, SH, MM
2. Dr. Yuriani, M. Pd.
3. Chandra Gunawan, SE.
4. Sunarjo Sumargono
Sekretariat:
1. Alih Budhi K.
2. Adhijayo
3. Rikhi Dharmadi
C.
AJARAN TENTANG SANGHA
Aturan organisasi agama Buddha membagi
para penganut agama buddha kedalam dua kelompok, yaitu kelompok Sangha dan
kelompok awam. Kelompok Sangha adalah terdiri dari para Bikkhu, Bikkhuni,
Samanera dan Samaneri. Sedangkan kelompok awam terdiri dari Upasaka dan Upasaki
yang telah menyatakan diri berlindung kepada Buddha, Dharma dan Sangha serta
melaksanakan hidup berumah tangga sebagai
orang biasa.[16]
Sangha berarti pesamuan atau persaudaraan para Bhikkhu. Kata Sangha pada
umumnya ditujukan untuk sekelompok Bhikkhu. Ada 2 jenis Sangha (persaudaraan
para Bhikkhu), yaitu:
-
Sammuti Sangha = persaudaraan para Bhikkhu biasa, artinya yang belum
mencapai tingkat-tingkat kesucian.
-
Ariya Sangha = persaudaraan para Bhikkhu suci, artinya yang telah
mencapai salah satu dari tingkat-tingkat kesucian.
a.
Pengertian Sangha
Kelompok Sangha adalah terdiri dari para
Bikkhu, Bikkhuni, Samanera dan Samaneri. Mereka menjalani kehidupan suci untuk
meningatkan nilai-nilai kerohanian serta tidak melaksanakan hidup
berkeluarga. Mereka adalah seorang yang mempunyai tugas untuk membabarkan
Dhamma.
Sangha pada masa sekarang mengalami
perluasan makna yakni tidak hanya sebagai penyebar agama Buddha tetapi juga
sebagai tempat belajar upasak-upasaki dalam mencapai tingkat arahat.
Para biksu atau biksuni (kelompok sangha)
hanya memiliki sedikit barang, seperti jubah, mangkuk (patta), dan pisau
untuk mencukur rambut.[17]
-
Kepala dicukur
ketika orang ingin mempunyai rambut yang
bagus dan menghabiskan banyak uang untuk menata rambutnya, para biksu atau
biksuni mencukur rambut mereka. Tujuan mencukur rambut adalah agar seorang
biksu melepaskan segala macam perhiasan dan menjalankan kehidupan yang
sederhana. Bahkan biasanya, para biksu tidak memelihara janggut dan kumis.[18]
-
Mangkuk (patta)
berdana makanan kepada para biksu dan biksuni merupakan bagian dari praktik dan tradisi
Buddhis. Para biksu dan biksuni berjalan dari rumah kerumah untuk memperoleh
makanan dengan tanpa memilah-milah makanan yang mereka terima. Praktik ini
berguna untuk mengurangi keserakahan dan mngembangkan rasa syukur (bagi para
biksu/biksuni), serta latihan memberi dan ketulusan (bagi umat yang berdana).[19]
Perlu digaris bawahi bahwa mereka meminta-minta dari rumah ke rumah bukan
untuk mengumpulkan harta melain hanya sekedar menyambung hidup di dunia.
-
Jubah
Jubah para biksu dan biksuni
didesain lebih simpel dan terbuat dari kain katun atau linen. Warna jubah para
biksu atau biksuni berbeda dimasing-masing negara dan tergantung pula dari
tradisi yang mereka anut. Di Sri Lanka dan Thailand warna kining kecoklatan, di
Jepang berwarna hitam, di Cina dan Korea berwarna abu-abu dan coklat, dan di
tibet berwarna merah kehitam-hitaman.
b.
Tingkat Kesucian
Dalam naskah-naskah Buddhis dijelaskan
bahwa Sangha adalah arya-puggala. Mereka adalah makhluk-makhluk suci yang telah
mencapai buah kehidupan beragama yang ditandai oleh kesatuan dari pandangan
yang bersih dan sila yang sempurna. Tingkatan kesucian yang telah mereka capai
terdiri dari sottapati, sakadagami, anagami dan arahat.[20]
Sotapatti ialah orang suci tingkat pertama, dimana
seseorang masih harus menjelma tujuh kali lagi sebelum mencapai Nirwana, pada
tingakatan ini orang harus berusaha membasmi/mematahkan sebanyak tiga belenggu
yaitu:
1.
sakkayadithi (kemayaan akunya)
Menurut kepercayaan Buddha, timbulnya rasa aku dapat
digambarkan sebagai berikut:
Jika seseorang mengatakan “aku lapar”, maka yang
merasa lapar sebenarnya jasmani orang itu. Jadi jasmani (rupa) lah yang mengaku
sebagai aku. Jika seseorang mengatakan “aku cinta”, maka sebenarnya perasaanlah
yang mengaku sebagai aku. Jika orang mengatakan “aku pandai”, maka sebenarnya
pikiranlah yang mengaku sebagai aku. Demikian seterusnya.[21]
Jadi unsur-unsur (skandha) yang menimbulkan rasa
“aku”. “aku” yang demikian adalah aku yang maya (tidak sesungguhnya). Adapun
“aku” yang sejati adalah aku semesta alam yang kekal dan abadi, diluar waktu
dan ruang, satu dengan semua yang ada, tak ada yang mencipta, dan bersemayam di
para Nirwana.
2.
vicikiccha (keragu-raguan),
Pada tingkat sotapatti atau ada juga yang menyebutnya dengan sotapanna
yang telah dicapai, maka seseorang tersebut sudah dapat disebut sebagai ariya punggala yang berarti
orang suci/orang kudus atau orang keramat.[23]
Sakadagami ialah orang suci tingkat kedua yang
telah membasmi atau mematahkan sebanyak tiga belenggu pada tingkatan sotapanna
ditambah dua belenggu, yaitu kamaraga (kecintaan indrawi) dan patiggha
(kemarahan atau kebencian).[24]
Pada tingakatan ini orang harus menjelma sekali lagi sebelum mencapai Nirwana,
ia juga harus dapat membangkitkan ‘kundalini’ sebelum nak ke tingkat ketiga,
Anagami.
Anagami ialah orang suci tingkat ketiga, yang
telah membasmi atau mematahkan sebanyak tiga belenggu pada tingkatan sotapanna
dan dua belenggu pada tingkat sakadagami. Pada tingkatan ini seseorang tidak
perlu lagi menjelma untuk mencapai Nirwana. Setelah ia berhasil mematahkan
belenggu tersebut barulah ia naik ke tingkat ‘Arahat’ dan dapat langsung
mencapai Nirwana di dunia atau setelah wafatnya.[25]
Setelah mencapai tingkat ini jika ia
melihat, mendengar, mencium, makan, minum, meraba dan sebagainya, tidak ada
lagi rasa senang atau benci, hatinya diliputi oleh kedamaian. Pada tingkatan
inilah menurut kepercayaan agama Budha orang dapat mengetahui kebenaran yang
hakiki dari segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Ia dapat melihat
makhluk-makhluk halus dan alam kedewaan, yang tidak dapat diketahui oleh
orang-orang biasa. Untuk menjelaskan masalah ini kita dapat mengambil contoh
orang yang melihat air dalam gelas dengan menggunakan mikroskop dan orang yang
melihatnya dengan mata kepala belaka. Orang yang pertama tersebut akan melihat
bakteri-bakteri atau basil-basil dalam air itu, sedangkan orang yang kedua
tidak akan melihatnya.[26]
Arahat yaitu orang suci tingkat keempat, mereka
adalah yang telah membasmi/mematahkan sebanyak lima belenggu pada tingkatan
anagami ditambah lima belenggu lagi yakni:
-
Ruparaga (keinginan untuk hidup dalam bentuk);
-
Aruparaga (keinginan untuk hidup tanpa bentuk);
-
Mana (kecongkakan);
-
Uddhacca (kegoncangan batin);
-
Avijja (kekurangan kebijaksanaan).[27]
Pada tingkatan ini seseorang terbebas dari kelahiran dan kematian di alam
manapun juga, inilah yang dinamakan orang keramat yang telah bersatu dengan
Sang Hyang Adi Buddha.[28]
Seorang Arahat adalah seseorang yang telah melenyapkan segala hawa nafsu dan keinginannya, sehingga
ia tidak teringat dengan apapun. Mungkin akan timbul pertanyaan, apa mungkin
seseorang yang tidak mempunyai keinginan apapun masih bisa meneruskan hidupnya,
sedangkan untuk hidup orang terikat pada banyak hal. Hal ini bisa dibandingkan
dengan kipas angin yang meskipun angin sudah tidak bertiup, tetapi ia masih
berputar karena didorong oleh sisa-sisa kekuatan sebelumya. Begitu juga Arahat,
sebetulnya ia telah melenyapkan segala nafsu dan keinginannya termasuk
keinginan untuk hidup, tetapi ia masih hidup sekedar meneruskan pelaksanaan
hukum karma sebelumnya. Ibarat lampu yang sudah habis minyaknya, maka nyala
yang masih ada merupakan sisa terakhir dan akhirnya padam.[29]
Proses hidup terus berlangsung selama masih ada tanha. Jika tanha telah
padam, maka berhentilah proses hidup dan sampailah ia pada Nirwana. Apakah
nirwana itu berarti lenyapnya pribadi? Mungkinkah pribadi dienyapkan? Segala
sesuatu yang maujud tidak mungkin dilenyapkan. Istilah melenyapkan pribadi
ialah suatu kekeliruan, sebab Budha Gautama sendiri tidak menyatakan bahwa
pribadi itu ada. Jika kita melihat kipas angin sudah tidak bertiup, hal itu
tidak berarti bahwa gerakan kipas itu ditiadakan atau dilenyapkan. Satu-satunya
ungkapan yang tepat ialah: tidak ada sebab, tidak ada akibat.[30]
Selain dari empat tingkat kesucian diatas, dalam
kepercayaan buddha juga dikenal adanya asekha, yaitu orang yang sempurna
(sabbanu) yang tidak perlu belajar lagi di bumi ini. Diantara para asheka
tersebut adalah Siddharta Gautama yang telah mencapai tingkat kebuddhaan tanpa
harus belajar dan berguru kepada orang lain.[31]
Dalam konsep agama Hindu, orang yang belum mencapai
Nirwana berarti masih terikat dengan samsara, yaitu kelahiran kembali ke dunia.
Yang dilahirkan kembali adalah roh perseorangan (Atman). Agama Buddha tidak
mempercayai adanya roh perseorangan. Ajaran ini disebut Anatman (Anatta).
Menurut ajaran agama Buddha, yang dilahirkan kembali
sebenarnya watak yang terbentuk oleh karma (amal) tiap-tiap orang ketika masih
hidup di dunia. Pada umumnya orang mengakui adanya “aku” yang menguasai jasmani
dan rohaninya. “aku” ini manifestasi dari pengakuan adanya roh perseorangan.
Sebenarnya “aku” ini tidak ada menurut Buddha Gautama.
Apa yang manusia rasakan sebagai aku, sebenarnya
hanya perpaduan dari lima unsur atau skandha yaitu:
1.
Tubuh (rupa).
2.
Perasaan (Vedana).
3.
Pengamatan (samya).
4.
Pikiran (samskara).
5.
Kesadaran (vijnana).[32]
Jika kelima skandha tersebut menjadi satu, maka
manusia merasakan ada “aku”, yang berarti ada individu tertentu. Padahal
perpaduan lima skandha itu bukan kesatuan yang permanen. Kelima skandha itu
dapat diibaratkan sebagai spare-part (suku cadang) yang setiap saat bisa
berpisah atau bertemu.
Roh yang menjelma dalam nyala api dari suatu lilin
yang dapat dipindahkan ke lilin yang lain. Nyala api pada lilin yang kedua ini
bukan nyala api pada lilin yang pertama, melainkan nyala api pada lilin yang
kedua itu sendiri.[33]
Untuk itulah supaya seseorang tidak dilahirkan
kembali, ia harus dapat mematahkan tanha pada dirinya, yaitu dengan cara
menempuh delapan jalan yang mulia, yang disebut Astha Arya Margha, yaitu:
1.
Kepercayaan yang
benar.
2.
Niat dan pikiran yang
benar.
3.
Perkataan yang benar.
4.
Perbuatan yang benar.
5.
Mata pencaharian yang
benar.
6.
Usaha yang benar.
7.
Kesadaran yang benar.
8.
Samadhi yang benar.[34]
Setelah ia dapat mematahkan tanha dalam dirinya, dan
telah mencapai kesucian yang sempurna pada tingkat Arahat, maka seseorang
tersebut akan terbebas dari kelahiran kembali dan dapat mencapai Nirwana.
c.
Kedududan Sangha
Anggota Sangha adalah teladan dari cara
hidup yang suci, menyampaikan Dharma atas permintaan umat dan membantu mereka
dengan nasihat maupun penerangan batin dalam suka dan duka. Dari umat buddha Sangha
patut menerima pemberian (ahu-neyyo), tempat berteduh (pahuneyyo), persembahan
(dakkhineyyo), penghormatan (anjali karananiyo) dan merupakan lapangan untuk
menanam jasa yang tidak ada taranya di dunia (anuttaram pannakhettam lokassa).[35]
Menurut kepercayaan Buddha, sangha tidak
dapat dipisahkan dari Buddha dan Dharma karena ketiganya adalah kesatuan
tunggal dan merupakan manifestasi berasas tiga dari yang muthlak di dunia.
Hubungan ketiganya dapat digambarkan sebagai berikut:
-
Buddha adalah bulan purnama,
-
Dharma adalah sinar yang menerangi dunia,
-
Sangha adalah dunia yang menerima sinar tersebut.
Dengan istilah lain:
-
Buddha bagaikan orang yang membakar hutan,
-
Dharma bagaikan api yang membakar hutan (kekotoran
batin),
-
Sangha bagaikan padi atau jasa setelah hutan habis
terbakar.[36]
d.
Cara menjadi Bikkhu
Inti masyarakat Buddhisme dalam arti yang
sebenarnya adalah hanya terdiri dari para Rahib (Bikkhu/Biksu). Sebab hanya
hidup kerahibanlah yang dapat menciptakan suasana yang diperlukan untuk
mencapai tujuan hidup yang tertinggi, yaitu mencapai nirwana. Seluruh
persekutuan para Bikkhu/Biksu disebut Sangha/jemaat.[37]
Sangha adalah bentuk masyarakat keagamaan
yang terbuka Bagi setiap umat untuk masuk dan bergabung ke dalamnya, dengan
melalui tahap-tahap tertentu, baik pria maupun wanita. Sesorang yang masuk dan
bergabung kedalam sangha berarti akan hidup dalam biara tanpa lagi memiliki
rumah dan hidup sebagai petapa.[38]
Seseorang yang memasuki persaudaraan para
Bikkhu atau Bikkhuni, untuk pertama kalinya akan menerima ‘jubah kuning’.
Sebelum secara penuh diterima sebagai
seorang bikkhu, seseorang harus menjalan hidup sebagai calon bikkhu atau
disebut dengan Samanera dengan mengucapkan dan menepati “dasa sila”, tekun
mempelajari dharma, menggunakan waktu luangnya untuk perenungan suci dibawah
asuhan bikkhu atau guru (acarya) yang dipilihnya sendiri. Setelah dapat
melakukan semua itu, maka ia diterima secara penuh sebagai bikkhu dalam suatu
upacara penahbisan (upasampada) yang dihadiri para sesepuh.[39]
Penahbisan bikkhuni pertama kalinya dilakukan oleh sang buddha baru
kemudian dilakukan oleh sangha. Seorang bikkhuni harus ditahbiskan dua kali,
yaitu oleh bikkhuni sangha dan kedua kalinya oleh bikkhu sangha. Sesudah itu
barulah ia menjadi bikkhuni.
Hidup menjadi Seorang Bikkhu diatur
didalam kitab Vinaya Pitaka. Dari kitab ini dapat kita ketahui bahwa hidup para
Bikkhu ditandai oleh 3 hal, yaitu: kemiskinan, hidup membujang, dan ahimsa.[40]
Yang pertama seorang rahib harus hidup
dengan kemiskinan. Ia tidak diperkenankan memiliki sesuatu kecuali jubahnya[41],
termasuk rumah dan tempat berlindung yang tetap, mereka harus terbiasa hidup
mengembara ke hutan-hutan dan berlindung di bawah pohon, hanya ketika musim
hujan saja ia di perkenankan berteduh di rumah yang dibuatnya sendiri, dengan
kata lain ia harus hidup dengan iman saja. Begitu pula dengan makanan, ia harus
memperoleh dengan cara mengemis. Itulah sebabnya mereka harus memiliki
tempurung sebagai alat untuk mengemis. Didalam sistem ajaran buddha mengemis
merupakan suatu kebajikan, karena dengan mengemis dapat mengajarkan kelompok
awam untuk senantiasa bersedekah. Dan juga merupakan suatu kebajikan bagi
dirinya sendiri karena dapat mengajarkan sikap rendah hati, sabar dan tidak
lekas putus asa. Dengan itu mereka dapat mengendalikan hawa nafsunya.[42]
Selanjutnya seorang Bikkhu diharuskan
hidup membujang. Ia tidak diperkenankan berhubungan seks dengan seorang wanita,
karena hubungan tersebut dipandang sebagai dosa yang paling besar. Dan jika
memungkinkan memandang wanitapun tidak diperkenankan.
Yang terakhir seorang Bikkhu harus hidup
dengan ahimsa (tanpa kekerasan), artinya ia dilarang membunuh dan melukai
makhluk lainnya. Empat dosa yang harus dijauhi para bikkhu adalah: hidup mesum,
mencuri, membunuh makhluk yang lain, dan meninggikan diri karena kecakapannya
membuat mu’jizat.[43]
Setelah menjadi bikkhu seseorang harus
menjalani hidup bersih dan suci seperti yang tertulis dalam kitab vinaya
pitaka, menjalani 227 peraturan yang garis besarnya adalah:
1.
Peraturan yang berhubungan dengan tata tertib
lahiriyah.
2.
Peraturan yang berhubungan dengan cara penggunaan
makanan dan pakaian, serta kebutuhan hidup yang lain.
3.
Cara menanggulangi nafsu keinginan dan rangsangan
batin.
4.
Cara untuk memperoleh pengetahuan batin yang luhur
untuk penyempurnaan diri.[44]
Pada prinsipnya ada sepuluh larangan yang disebut Dasasila, yang
merupakan pokok etika Buddha. Sepuluh larangan itu ialah:
1.
Dilarang membunuh ataupun melukai sesama makhluk
hidup.
2.
Dilarang mencuri/merampok.
3.
Dilarang melakukan perzinaan/hidup mesum.
4.
Dilarang berdusta/menipu orang lain.
5.
Dilarang meminum minuman yang memabukkan.
6.
Dilarang makan dan minum pada waktu yang terlarang
(misalnya pada waktu berpuasa).
7.
Dilarang mendatangi tempat yang berhubungan dengan
kesenangan duniawi.
8.
Dilarang menghias diri/bersolek.
9.
Dlarang tidur pada tempat yang yang nyaman dan enak.
10. Dilarang menerima hadiah yang berharga
maupun uang.[45]
e.
Kelompok Buddha Awam
Secara kelembagaan/aturan organisasi
kelompok Buddha dapat dibagi menjadi dua yaitu kelompok Buddha Sangha dan kelompok Buddha Awam. Telah disinggung di
atas bahwa yang disebut dengan Buddha Sangha adalah kelompok Buddha yang
terdiri dari Bikkhu (sebutan untuk lelaki) dan Bikkhuni (sebutan untuk
perempuan), yaitu seorang yang menjalani kehidupan suci, meningkatkan
nilai-nilai kerohanian dan meninggalkan kehidupan duniawi serta tidak menjalani
hidup keluarga. Dan juga patuh serta setia menghayati dan mengamalkan Buddha
Dharma, patuh menjalankan Pratimoksa (sila-sila untuk para Bhikkhu dan
Bikkhuni) terdapat didalam buku buddha
Mahayana yakni Pacchimovada Pari Nirvana Sutra terjemahan oleh Kumarajiva.[46]
Sedangkan kelompok Buddha awam adalah
kelompok Buddha yang terdiri dari upasaka dan upasaki, yaitu kelompok Buddha
yang termasuk masyarakat biasa yang mematuhi sang Buddha sebagai pemimpin dan
gurunya, mengakui kebenaran ajaran-ajarannya (Dharma),[47]
serta melaksanakan prinsip-prinsip moral sebagai masyarakat biasa yang
kehidupannya masih terikat dengan kehidupan duniawi dan juga menjalani
kehidupan berkeluarga.[48]
Dilihat dari tingkatan pemahaman
seseorang terhadap ajaran Buddha dan tanggung jawab keagamaannya, maka kelompok
masyrakat buddha awam ini dapat dibedakan sebagai berikut:
-
Upasaka dan Upasaki yang benar-benar awam
keagamaannya,
-
Yang disebut Bala Anupandita, Anu Pandita dan
Pandita adalah mereka yang menjalankan tugas sebagai penyebar dharma dan
bergabung dalam organisasi umat Buddha.
-
Maha Upasaka, ialah para pandita yang mengurus
administrasi dan soal-soal teknis.
-
Maha Pandita adalah para Pandita yang mengurus
khusus masalah keagamaan.
-
Anagarika adalah orang awam buddha yang diakui
memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam mengamalkan ajaran Budha Gautama.[49]
Pengakuan terhadap agama Buddha tersebut
dinyatakan dengan niat dan tekad untuk berlindung kepada Buddha, Dharma dan
Sangha dengan mengucapkan ‘tri sarana’ yang berbunyi:
-
Buddhang Saranang Gacchani,
-
Dhammang Saranang Gacchani,
-
Sanghang Saranang Gacchani.
Artinya :
-
Saya berlindung kepada Buddha,
-
Saya berlindung kepada Dharma,
-
Saya berlindung kepada Sangha.
Tiga perlindungan tersebut merupakan doa yang dapat dilaksanakan kapan
saja dan di manapun, tetapi dalam dunia Buddha diyakini bahwa hari yang Paling
baik untuk memulainya yaitu dengan mengikat tiga permata atau tiga
perlindungan, dan yang dapat menjadikannya sebagai penutup hari sebagai umat
Buddha sebelum tidur.
Meskipun doa tersebut sangat singkat namun perlu diingat bahwa kalimat
tersebut meliputi seluruh ajaran Buddhis, Buddha guru agung dan penunjuk jalan
kehidupan bagi umat Buddha, dhamma merupakan ajaran yang diwariskannya kepada
umat Buddha sebagai pedoman dalam menempuh kehidupan ini, sedangkan Sangha atau
persaudaraan para bikshu melambangkan panjang dhamma.
Sesuai dengan arti katanya, yaitu Tiga Mustika atau Tiga Permata, maka
isi Tiratana memang terdiri dari 3 permata atau tiga ratana, yaitu: Buddha
Ratana; Dhamma Ratana; dan Sangha Ratana.
Buddha Ratana:
ü Sang Buddha adalah guru suci junjungan kita
ü Yang telah memberikan ajarannya kepada umat
manusia dan para dewa
ü Untuk mencapai kebebasan mutlak (Nibbãna)
Dhamma Ratana:
ü Dhamma adalah kebenaran mutlak, dan juga
merupakan ajaran Buddha
ü Yang menunjukkan umat manusia dan para dewa ke
jalan yang benar, yaitu yang terbebas dari kejahatan, dan
ü Membimbing mereka mencapai kebebasan mutlak
(Nibbãna)
Sangha Ratana:
ü Sangha adalah persaudaraan Bhikkhu suci, yang
telah mencapai tingkat-tingkat kesucian (Sotapana, Sakadagami, Anagami, Arahat)
ü Sebagai pengawal dan pelindung Dhamma
ü Mengajarkan Dhamma kepada orang lain untuk ikut
melaksanakannya sehingga bisa mencapai kebebasan mutlak (Nibbãna)
Setelah mengucapkan trisarana tersebut seorang
Upasaka atau Upasaki terikat secara rohaniah untuk melaksanakan dan mengamalkan
ajaran Sang Buddha dalam kehidupannya sehari-hari.[50]
Pada hakikatnya para kelompok Buddha awam
ini tidak dapat mencapai nirwana didalam hidupnya, namun kedudukan mereka
penting sekali. Mereka sudah berada pada awal jalan menuju kelepasan sebab
mereka sudah percaya kepada Buddha dan menjalankan ajaran-ajarannya (Dharma).
Bagaimanapun juga mereka tetap mendapatkan pahala, meskipun belum pahala yang
tertinggi. Pahala tersebut dapat di peroleh melalui sedekah baik terhadap
sesama maupun terhadap Rahib (Bikkhu), yaitu dengan memberikan segala kebutuhan
yang di perlukan Bikkhu. Mereka harus menetapi pancasila atau lima larangan
yang pertama dari dasasila yang harus dipatuhi oleh Rahib (Bikkhu).[51]
Berbeda dengan kelompok buddha sangha
yang harus mematuhi dasa sila (sepuluh larangan), kelompok buddha awam hanya
diwajibkan menegakkan Pancasila (lima larangan). Pancasila untuk menegakkan
Dharma bagi para kelompok Buddha awam adalah sebagai berikut:
a.
Dilarang membunuh terhadap semua makhluk (misalnya
peperangan dan sebagainya).
b.
Dilarang mencuri/merampok dan sebagainya.
c.
Tidak hidup mesum, misalnya perzinaan.
d.
Dilarang berdusta/berbohong terhadap orang lain.
e.
Dilarang minum-minuman yang memabukkan.[52]
Tugas kelompok Buddha awam selanjutnya
adalah dapat diuraikan misalnya seorang orang tua harus dapat mengendalikan
sikap dan akhlak anak-anaknya, mengajarkan kepada anaknya terhadap hal-hal yang
baik dan melarang melakukan perbuatan yang jahat, mengajarkan ilmu pengetahuan
serta mencarikan jodoh yang baik. Para anak harus mematuhi segala apa yang
diperintahkan orang tuanya, merawat sesuatu yang menjadi miliknya, melayakkan
diri untuk menjadi ahli waris, dan seterusnya. Para guru harus memberikan
pelajaran yang berhubungan dengan pengetahuan kepada muridnya, sedang seorang
murid harus menghormati gurunya dan lain sebagainya.[53]
Meskipun semuanya itu belum dapat membawa
orang kepada nirwana, namun dapat menjadikan mereka dilahirkan kembali didalam
dunia yang lebih baik daripada yang sekarang mereka alami.
D.
KESIMPULAN
Walaupun Buddha dan Yesus menemukan cara hidup kebiaraan, namun tidak
berarti semua orang bisa menjadi biksu atau biksuni, begitu juga umat biasa
bisa mempraktikkan ajaran dengan baik, namun ini tidak berarti semua umat bisa
mempraktikkan ajaran dengan baik; bahkan sebagian besar umat merasa kesulitan
dalam praktik dharma. Tidak semua orang
bisa menjadi angota sangha. Hanya orang tertentu saja bisa menjadi anggota
sangha, karena membutuhkan kebajikan yang sungguh besar dan terbebas dari aral
rintangan yang berasal dari batin, dan juga aral rintangan yang berasal dari
eksternal.
DAFTAR PUSTAKA
Abddul Manaf, Mudjahid. Sejarah Agama-Agama. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, cet. II, 1996.
Ali, Mukti. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga
Press, 1988.
“Belajar Agama
Budha: Struktur Organisasi Sangha di Indonesia” diakses pada 06 Mei 2013 dari http://belajarbuddha.blogspot.com/2012/05/struktur-sangha-di-indonesia.html
Hadikusuma, Hilman. Antropologi Agama I. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1993.
Hadiwijono, Harun. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: Gunung Mulia,
cet. X, 2010.
H. M. Arifin. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. Jakarta:
PT. Golden Terayon Press, 1995.
Samaggi-Phala:
Budhist Information Network. Diakses pada 06 Mei 2013 dari http://www.samaggi-phala.or.id/sangha-theravada-indonesia/struktur-organisasi/
Suwarto. Buddha Dharma Mahayana. Palembang:
Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995.
Upa. Sasanasena Seng Hansen. Ikhtisar Ajaran Buddha. Yogyakarta:
Vihara Vidyaloka, cet. II, 2008.
Zhao Pu Chu. Questions and Answers on
The General Knowledge of Budhism. Diterjemahkan oleh Krishnanda
Wijayamukti. _____: Pustaka Karaniya, 2007.
_______. Kapita Selekta Agama Budha. Jakarta:
CV. Dewi Kayana Abadi, 2003.
________. Kebahagiaan dalam Dhamma. Jakarta: Majlis Buddhayana
Indonesia, 1980.
[1] Upa. Sasanasena Seng Hansen. Ikhtisar
Ajaran Buddha, (Yogyakarta: Vihara Vidyaloka, cet. II, 2008), h. 38
[3]
Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1993), h. 236
[4] _______.
Kapita Selekta Agama Budha, h. 1
[6] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Samaggi-Phala: Budhist
Information Network. Diakses pada 06 Mei dari http://www.samaggi-phala.or.id/sangha-theravada-indonesia/struktur-organisasi/
[15] “Belajar
Agama Budha: Struktur Organisasi Sangha di Indonesia” diakses pada 06 Mei 2013
dari http://belajarbuddha.blogspot.com/2012/05/struktur-sangha-di-indonesia.html
[16]
Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, h. 234
[18] Zhao Pu Chu.
Questions and Answers on The General Knowledge of Budhism. Diterjemahkan
oleh Krishnanda Wijayamukti, (_____: Pustaka Karaniya, 2007), h. 109
[20]
Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia, (Yogykarta:
IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998), h. 129
[21]
Mudjahid Abdul Manaf. Sejarah Agama-Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1996), h. 34
[22]
Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, h. 234-235
[23]_____.
Kebahagiaan dalam Dhamma, (jakarta:
Majlis Buddhayana Indonesia, 1980), h. 37
[24]
Majlis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan
dalam Dhamma, h. 38
[25]
Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, h. 235
[26]
Mudjahid Abdul Manaf. Sejarah Agama-Agama, h. 34
[27]
Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, h. 235
[28]
Majlis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan
dalam Dhamma, h. 39
[29]
Mudjahid Abdul Manaf. Sejarah Agama-Agama, h. 33
[30] Ibid.
[31]
Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia, h. 130
[32]
Mudjahid Abdul Manaf. Sejarah Agama-Agama, h. 30
[33] Ibid.
[34] Ibid.
[35]
Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia, h.
130
[36]
Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, h. 237
[37]
Harun Hadiwijono. Agama Hindu dan Buddha,
(Jakarta: Gunung Mulia, cet. X, 2010), h.83
[38]
Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, h. 237
[39]
Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia, h.
131
[40]
Harun Hadiwijono. Agama Hindu dan Buddha,
h. 83
[41]
Jubah harus dibuwat dari kain lampin, yang dibuatnya sendiri, yang kemudian
didapatkan dari sana sini termasuk juga yang dihadiahkan oleh kelompok buddha
awam, selanjutnya seorang bikkhu juga diharuskan mempunyai tempurung untuk
mengemis, sebuah jarum untuk jubahnya, tasbih, alat pencukur rambut, dan
penyaring air. Lihat Harun Hadiwijono. Agama Hindu dan Buddha, h. 84
[42] Ibid.
[43] Ibid.
[44]
Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia, h.
131
[45]
H. M. Arifin. Menguak Misteri Ajaran
Agama-Agama Besar, (Jakarta: PT. Golden Terayon Press, 1995), h. 98-99
[46]
Suwarto. Budha Dharma Mahayana, (Palembang:
Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), h. 51
[47] Pengakuan kepada Dharma berarti mempercayai
atau meyakini kebenaran hukum-hukumnya
dengan kewajiban menjalankan dasar-dasar ajaran kelepasan hidup serta
peraturan-peraturan lainnya.
[48]
Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia, h.
129
[49]
Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, h. 239
[50]
Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, h. 239
[51]
Harun Hadiwijono. Agama Hindu dan Buddha,
h. 85
[52]
H. M. Arifin. Menguak Misteri Ajaran
Agama-Agama Besar, h. 98
[53]
Harun Hadiwijono. Agama Hindu dan Buddha,
h. 85
0 comments:
Post a Comment