Saturday, June 8, 2013

Sangha



Oleh: Ifa Nur Rofiqoh 
Jurusan Perbandingan Agama-B 
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat 
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 

Dosen Pembimbing: Ibu Siti Nadroh 

A.      PENDAHULUAN
 “Agama Buddha adalah agama Missionari yang pertama dalam sejarah kemanusiaan dengan suatu pesan keselamatan yang universal bagi semua umat manusia. Sang Budha setelah mencapai pencerahan/penerangan sempurna, mengutus 61 siswanya ke berbagai arah yang berlainan dan meminta mereka untuk membabarkan dhamma demi kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia”.
Dr. K. N. Jatatilleke, “Budhism and Peace” [1]
Ajaran Buddha setelah Mahaparinibbana Sang Buddha, dilanjutkan oleh para siswa-siswa utama melalui konsili-konsili yang menghasilkan kumpulan ajaran Buddha berdasarkan khotbah, aturan dan peristiwa yang terjadi pada waktu kehidupan Sang Buddha. Penyebaran ajaran Buddha memberikan banyak kontribusi kemakmuran pada berbagai negara. Raja Asoka yang terkenal dengan pedangnya dan selalu ingin menguasai negara-negara yang sebelahnya, namun setelah mendengarkan ajaran Sang Buddha, kemudia menjadi pengikut Buddha dan berperang bukan dengan senjata tajam melainkan dengan kebenaran Dhamma.
Sangha berperan sebagai perubah nilai psikologis pada manusia. Orang yang melihat kehidupan dan perbuatan para Bhikkhu yang terlatih dalam sila, memberikan kesejukan hati dan rasa damai. Kegembiraan ini muncul dalam diri manusia yang selalu memberikan penghormatan dan keyakinan terhadap Sangha. Dimana para bhikkhu-bhikkhuni yang selalu memberikan dampak yang baik dalam bertindak.
Dalam memahami agama Buddha, tentunya akan kita temukan perbedaan-perbedaan dengan agama lain. Para penganut agama Buddha tidak memerlukan upacara-upacara keagamaan seperti pemujaan terhadap sang dewa, namun agama buddha lebih mengutamakan penganutnya untuk berbuat (karma) membebaskan diri dari pederitaan (dukkha). Penyebab dari dukkha itu sendiri adalah keinginan (tanha) dan ketidaktahuan (avijja). Untuk dapat terbebas dari dukkha tersebut maka sesorang harus bisa melenyapkan/memadamkan keinginan yang terbelunggu didalam dirinya dengan melaksanakan Salah satu dari delapan jalan untuk melenyapkan penderitaan yaitu dengan melaksanakan sila (salah satunya dengan cara menjadi anggota sangha). Untuk dapat menjadi seorang sangha harus melalui beberapa tahapan-tahapan dan mematuhi dasa sila agama Buddha, selain itu juga terdapat beberapa tingkat kesucian yang harus dicapai bagi kelompok buddha sangha.
Memang untuk memahami ajaran tentang sangha kita perlu mempelajari terlebih dahulu mengenai sejarah awal dan perkembangannya, sebelum kita masuk kedalam pembahasan yang lebih rinci seperti tingkat kesucian, kedudukan, serta tahapan-tahapan dalam memasuki kelompok sangha. Untuk itulah penulis akan memaparkan sedikit pemahamannya mengenai hal tersebut.

B.       SEJARAH TERBENTUKNYA SANGHA
Pada waktu Sang Budha menyebarkan Dhamma, semua persoalan dan ketidak jelasan yang timbul baik yang berasal dari lingkungan biksu maupun upasaka, apabila tidak dapat dipecahkan sendiri maka ditanyakan kepada Sang Budha. Sesuai dengan sabda Sang Budha sebelum wafat kepada Bikkhu Ananda untuk berpedoman pada Dhamma-Vinaya, maka dalam pelaksanaannya tidak mudah karena dalam agama Budha tidak dikenal adanya lembaga keagamaan yang diberikan wewenang tertinggi yang memutuskan dan memberikan ketetapan atas suatu masalah. Untuk memastikan Dhamma Vinaya yang dimaksud dalam suatu permasalahan prosedurnya tidaklah mudah.[2]
Menurut sejarah agama Buddha beberapa minggu setelah Sidharta Gautama mencapai pencerahan maka ia membentuk Sangha yang pertama yang anggota-anggotanya terdiri dari Kondana, Badiya, Wappa, Mahanama, dan Asaji. Diantara kelima murid buddha tersebut yang mencapai tingkat Arahat adalah Kondana. Mereka merupakan contoh masyarakat buddha yang dapat menciptakan suasana yang diperlukan untuk mencapai hidup tertinggi atau Nirwana.[3]
Pasamuan-pasamuan sangha yang terjadi pada awal sejarah agama Budha telah melahirkan tradisi bagaimana Dhamma-Vinaya itu ditetapkan. Sekalipun pasamuan sangha itu bukan lembaga tertinggi, namun ketetapan yang diambil telah memberikan garis dalam sejarah agama Budha.[4]

a.        Pasamuan Sangha Pertama
Pada pasamuan sangha di Rajagaha yang diselenggarakan tidak lama setelah Sang Budha wafat, berdasarkan sumber-sumber Theravada dikemukkan bahwa pasamuan ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran Bikkhu Kassapa setelah mendengar pernyataan Bikkhu Sabhada “janganlah bersedih kawan-kawan, janganlah meratap, sekarang kita terbebas dari pertapa agung yang tidak akan lagi memberi tahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang membuat hidup kita menderita; tetapi sekarang kita dapat berbuat apapun yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi”, dengan kata lain para Bikkhu dapat melakukan apa yang diinginkan karena Sang Buddha sudah tiada. Bikkhu Kassapa, setelah mendengar kata-kata itu memimpin pasamuan agung (konsili). [5]
Dengan bantuan Raja Ajatasattu Magaddha, 500 orang arahat berkumpul di goa Sattapanni dekat Rajagaha untuk mengumpulkan ajaran Sang Budha yang telah diwedarkan selama ini dan menyusunnya secara sistematis. Y. A Ananda, siswa terdekat Sang Budha, mendapat kehormatan untuk mengulang kembali khotbah-khotbah Sang Budha dan Y. A Upali mengulang Vinaya (peraturan-peraturan). Dalam pasamuan agung yang pertama inilah mereka mengikuti ajaran Sang Budha seperti tersebut dalam kitab Vinaya-Pitaka, sebagaimana sabda Sang Budha yang terakhir: “Jadikanlah Dhamma dan Vinaya sebagai pelita dan pelindung bagi dirimu”.[6]

b.        Pasamuan Sangha kedua
Pasamuan sangha yang kedua dilaksanakan di Vesali kira-kira seratus tahun setelah Sang Budha wafat dengan bantuan Raja Kalasoka. bermula dari adanya sekelompok Bikkhu yang hendak mengubah Vinaya. Pada konsili yang kedua ini kitab suci Tipitaka (Pali) diucapkan ulang oleh 700 orang arahat. Kelompok bikkhu yang memegang teguh kemurnian Dhamma Vinaya ini menamakan diri Sthaviravada, yang kelak disebut Theravada; sedangkan kelompok bikkhu yang ingin mengubah Vinaya menamakan diri Mahasanghika, yang kelak menjadi madzhab Mahayana.[7]
 Pasamuan sangha yang kedua ini mempunyai makna yang berbeda dari pasamuan sangha yang pertama. Pada pasamuan rajagaha tidak lain hanya pasamuan sangha belaka, tanpa pengambilan keputusan dalam bidang ajaran, melainkan menyatakan Dhamma Vinaya yang diajarkan Sang Buddha. Sedang pasamuan Vesali pada dasarnya merupakan suatu “vivadadhikarana”, yaitu penyelesaian perselisihan dalam lingkungan sangha.[8]

c.         Pasamuan Sangha Ketiga
Pasamuan Agung Ketiga diadakan di Pattaliputta (Patna) pada abad ke-3 setelah Sang Budha wafat (249 SM) pada masa pemerintahan Kaisar Asoka Wardana. Kaisar memeluk agama Budha dan dengan pengaruhnya banyak membantu penyebaran Dhamma ke seluruh wilayah kerajaan. Dalam pasamuan agung ketiga ini 100 orang arahat mengulang kembali bacaan kitab suci Tipitaka selama sembilan bulan. Dari titik tolak pasamuan inilah agama Budha dapat tersebar ke seluruh penjuru dunia dan terhindar lenyap dari bumi asalnya.[9]

d.        Organisasi umat Buddha di Indonesia
Awal kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia ditandai adanya orang-orang Indonesia yang sudah mengenal ajaran agama Budha dan menjadi Bikkhu. Sangha yang mula-mula ada adalah sangha berdasarkan tradisi Theravada, kemudian lahir sangha berdasarkan tradisi Mahayana. Umat awam yang telah mengerti agama Budha diwisuda sebagai upasaka dan upasaki, setelah jumlahnya bertambah maka melahirkan suatu organisasi sebagai wadah untuk mereka.
Organisasi pengabdi umat Buddha yang tertua di Indonesia adalah Persaudaraan Upasaka-Upasaki Indonesia (PUUI) yang didirikan pada hari Asadha tahun 1954 di Watugong, Ungaran untuk membantu Y. A. Bikkhu Asin Jinarakkhita yang pada permulaan kebangkitan agama Budha di Indonesia itu bekerja seorang diri dalam menyebarkan Dhamma. Sebagai ketua umum yang pertama adalah maha Upasaka Sariputra Sadono, yang kemudian diteruskan oleh Majlis Buddhayana Indonesia (MBI).[10]
Sangha dan PUUI di Indonesia pada mulanya lebih banyak memberikan perhatian pada kehidupan keagamaan dan bagaimana mengembangkan umat. Masalah-maslah sosial dan kemasyarakatan belum banyak mendapat perhatian.
Mengingat fungsinya yang makin meluas, dalam maha Samaya III PUUI tanggal 3-5 Maret 1972 di Sukabumi, nama PUUI diubah menjadi Majelis Ulama Agama Budha Indonesia (MUABI). Dalam maha Samaya IV tanggal 23-25 Januari 1976 yang juga diadakan di Sukabumi kepanjangan MUABI diserasikan dengan istilah Buddhis menjadi Majelis Upasaka-Pandita Agama Buddha Indonesia. Pada tanggal 23 Juli 1975 MUABI mendirikan Lembaga Pendidikan Dharma Duta Kasogatan.[11]
Setelah kongres umat Buddha Indonesia pada tahun 1979 di Yogyakarta yang menghasilkan wadah Perwakilan Umat Budha Indonesia (WALUBI), MUABI kembali diubah namanya mnjadi Majelis Budhayana Indonesia (MBI). Perubahan dari MUABI menjadi MBI ternyata sempat menimbulkan pergolakan dalam tubuh MBI. Ada pendapat keliru yang menyatakan Budhayana sebagai sekte. Melalui kongres V MBI tanggal 7-9 Juni 1987 di Pacet akhirnya kekeliruan yang ada diperbaiki dan MBI kembali menjadi pembantu utama Sangha Agung Indonesia.[12]
Dalam agama Budha sangha mempunyi kedudukan yang khusus, sehingga sangha senantiasa perlu ditegakkan untuk menjawab perubahan-perubahan yang ada dalam lingkungan masyarakat. Sangha-sangha yang ada di indonesia memberikan gambaran yang beraneka ragam, tidak homogen sebagaimana yang telah berkembang di selatan, utara maupun Tibet.
Didalam anggaran dasar Majelis Budhayana Indonesia yang disahkan kongres V MBI, dinyatakan bahwa:
1.      Pada bab II pasal 4 MBI (Majelis Budhayana Indonesia) berasaskan Pancasila.
2.      Pada bab III tantang dasar dan tujuan dinyatakan bahwa MBI merupakan organisasi wadah dari umat Budhayana yang bernaung dibawah Sangha Agung Indonesia.Sebagai pembantu utama Sangha Agung Indonesia pasal 6 menyatakan bahwa MBI mempunyai dasar dan landasan yang sama dengan Sangha Agung Indonesia, yang memakai kitab suci Tripitaka yang terdiri dari Pali Pitaka, Sankrit Pitaka dan Kawi Pitaka. Pasal 6 juga menyatakan bahwa MBI bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa/Sanghyang Adi Buddha dan mengawali do’anya dengan ‘NAMO SANGHYANG ADI BUDHA’.
3.      Dalam bab III pasal 7 MBI bertujuan mengembangkan dan melestarikan agama Budha Indonesia membina umatnya, berpartisipasi secara aktif dalam membangun manusia seutuhnya dan menyesuaikan perkembangannya dengan kondisi dan tradisi di Indonesia.
Usaha-usaha yang dilakukan MBI sebagaimana dijabarkan dalam anggaran dasar MBI bab V pasal 9 adalah sebagai berikut:
1.      Meningkatkan penghayatan dan pengalaman ajaran-ajaran Sang Budha Gautama Sakyamuni.
2.      Mendirikan Vihara dan cetiya serta sarana-sarana pendidikan agama Budha Indonesia
3.      Membantu menberikan pendidikan agama Buddha di sekolah-sekolah dasar, menengah dan perguruan tinggi serta kejuruan, vihara dan cetiya.
4.      Usaha-usaha lain yang tidak bertentangan dengan AD/ART.[13]

e.         Struktur Organisasi Sangha Indonesia
Keterangan :[14]
- P.N.
- UPN.
- KBP Kab = Padesanayaka (Ketua Bhikkhu Pembina Propinsi).
= Upa-Padesanayaka (Wakil Ketua Bhikkhu Pembina Propinsi).
= Ketua Bhikkhu Pembina Kabupaten.

Sangha Mahayana Indonesia

DEWAN PIMPINAN PUSAT[15]

Ketua Umum                           : Mahabhiksu Dhyanavira Sthavira
Wakil ketua umum                  : Bhiksu Gunabhadra, S.Ag. Mahasthavira
Ketua I                                    : Bhiksu Dr. Dharma Suryo ,MA.M.Si.,Mahasthavira
Ketua II                                   : Bhiksuni Dhyana Mudita
Ketua III                                 : Bhiksu Tadisa Paramitha
Sekretaris Jenderal                  : Bhiksu Dr. HC. Mitra Sm, Hk., Mahasthavira
Bendahara                               : Bhiksuni Ru San
Wakil Bendahara                     : Bhiksuni Kusala Vidya
Bidang Diklat                          : Bhiksu Tek Sien
Bidang Pelayanan Umat         : Bhiksuni Tamsaka Vaidurya
Bidang Kemasy. & Sosial       : Badra Sila
Staf ahli dewan pimpinan pusat sangha mayana indonesia:
1. Dr. Rusli, SE, SH, MM
2. Dr. Yuriani, M. Pd.
3. Chandra Gunawan, SE.
4. Sunarjo Sumargono
Sekretariat:
1. Alih Budhi K.
2. Adhijayo
3. Rikhi Dharmadi

C.      AJARAN TENTANG SANGHA
Aturan organisasi agama Buddha membagi para penganut agama buddha kedalam dua kelompok, yaitu kelompok Sangha dan kelompok awam. Kelompok Sangha adalah terdiri dari para Bikkhu, Bikkhuni, Samanera dan Samaneri. Sedangkan kelompok awam terdiri dari Upasaka dan Upasaki yang telah menyatakan diri berlindung kepada Buddha, Dharma dan Sangha serta melaksanakan hidup berumah  tangga sebagai orang biasa.[16]
Sangha berarti pesamuan atau persaudaraan para Bhikkhu. Kata Sangha pada umumnya ditujukan untuk sekelompok Bhikkhu. Ada 2 jenis Sangha (persaudaraan para Bhikkhu), yaitu:
-       Sammuti Sangha = persaudaraan para Bhikkhu biasa, artinya yang belum mencapai tingkat-tingkat kesucian.
-       Ariya Sangha = persaudaraan para Bhikkhu suci, artinya yang telah mencapai salah satu dari tingkat-tingkat kesucian.

a.        Pengertian Sangha
Kelompok Sangha adalah terdiri dari para Bikkhu, Bikkhuni, Samanera dan Samaneri. Mereka menjalani kehidupan suci untuk meningatkan nilai-nilai kerohanian serta tidak melaksanakan hidup berkeluarga. Mereka adalah seorang yang mempunyai tugas untuk membabarkan Dhamma.
Sangha pada masa sekarang mengalami perluasan makna yakni tidak hanya sebagai penyebar agama Buddha tetapi juga sebagai tempat belajar upasak-upasaki dalam mencapai tingkat arahat.
Para biksu atau biksuni (kelompok sangha) hanya memiliki sedikit barang, seperti jubah, mangkuk (patta), dan pisau untuk mencukur rambut.[17]
-       Kepala dicukur
ketika orang ingin mempunyai rambut yang bagus dan menghabiskan banyak uang untuk menata rambutnya, para biksu atau biksuni mencukur rambut mereka. Tujuan mencukur rambut adalah agar seorang biksu melepaskan segala macam perhiasan dan menjalankan kehidupan yang sederhana. Bahkan biasanya, para biksu tidak memelihara janggut dan kumis.[18]
-       Mangkuk (patta)
berdana makanan kepada para biksu dan biksuni  merupakan bagian dari praktik dan tradisi Buddhis. Para biksu dan biksuni berjalan dari rumah kerumah untuk memperoleh makanan dengan tanpa memilah-milah makanan yang mereka terima. Praktik ini berguna untuk mengurangi keserakahan dan mngembangkan rasa syukur (bagi para biksu/biksuni), serta latihan memberi dan ketulusan (bagi umat yang berdana).[19]
Perlu digaris bawahi bahwa mereka meminta-minta dari rumah ke rumah bukan untuk mengumpulkan harta melain hanya sekedar menyambung hidup di dunia.
-       Jubah
   Jubah para biksu dan biksuni didesain lebih simpel dan terbuat dari kain katun atau linen. Warna jubah para biksu atau biksuni berbeda dimasing-masing negara dan tergantung pula dari tradisi yang mereka anut. Di Sri Lanka dan Thailand warna kining kecoklatan, di Jepang berwarna hitam, di Cina dan Korea berwarna abu-abu dan coklat, dan di tibet berwarna merah kehitam-hitaman.

b.        Tingkat Kesucian
Dalam naskah-naskah Buddhis dijelaskan bahwa Sangha adalah arya-puggala. Mereka adalah makhluk-makhluk suci yang telah mencapai buah kehidupan beragama yang ditandai oleh kesatuan dari pandangan yang bersih dan sila yang sempurna. Tingkatan kesucian yang telah mereka capai terdiri dari sottapati, sakadagami, anagami dan arahat.[20]
Sotapatti ialah orang suci tingkat pertama, dimana seseorang masih harus menjelma tujuh kali lagi sebelum mencapai Nirwana, pada tingakatan ini orang harus berusaha membasmi/mematahkan sebanyak tiga belenggu yaitu:
1.        sakkayadithi (kemayaan akunya)
Menurut kepercayaan Buddha, timbulnya rasa aku dapat digambarkan sebagai berikut:
Jika seseorang mengatakan “aku lapar”, maka yang merasa lapar sebenarnya jasmani orang itu. Jadi jasmani (rupa) lah yang mengaku sebagai aku. Jika seseorang mengatakan “aku cinta”, maka sebenarnya perasaanlah yang mengaku sebagai aku. Jika orang mengatakan “aku pandai”, maka sebenarnya pikiranlah yang mengaku sebagai aku. Demikian seterusnya.[21]
Jadi unsur-unsur (skandha) yang menimbulkan rasa “aku”. “aku” yang demikian adalah aku yang maya (tidak sesungguhnya). Adapun “aku” yang sejati adalah aku semesta alam yang kekal dan abadi, diluar waktu dan ruang, satu dengan semua yang ada, tak ada yang mencipta, dan bersemayam di para Nirwana.
2.        vicikiccha (keragu-raguan),
3.        silabbataparamasa (ketahayulan).[22]
Pada tingkat sotapatti atau ada juga yang menyebutnya dengan sotapanna yang telah dicapai, maka seseorang tersebut sudah dapat  disebut sebagai ariya punggala yang berarti orang suci/orang kudus atau orang keramat.[23]
Sakadagami ialah orang suci tingkat kedua yang telah membasmi atau mematahkan sebanyak tiga belenggu pada tingkatan sotapanna ditambah dua belenggu, yaitu kamaraga (kecintaan indrawi) dan patiggha (kemarahan atau kebencian).[24] Pada tingakatan ini orang harus menjelma sekali lagi sebelum mencapai Nirwana, ia juga harus dapat membangkitkan ‘kundalini’ sebelum nak ke tingkat ketiga, Anagami.
Anagami ialah orang suci tingkat ketiga, yang telah membasmi atau mematahkan sebanyak tiga belenggu pada tingkatan sotapanna dan dua belenggu pada tingkat sakadagami. Pada tingkatan ini seseorang tidak perlu lagi menjelma untuk mencapai Nirwana. Setelah ia berhasil mematahkan belenggu tersebut barulah ia naik ke tingkat ‘Arahat’ dan dapat langsung mencapai Nirwana di dunia atau setelah wafatnya.[25]
Setelah mencapai tingkat ini jika ia melihat, mendengar, mencium, makan, minum, meraba dan sebagainya, tidak ada lagi rasa senang atau benci, hatinya diliputi oleh kedamaian. Pada tingkatan inilah menurut kepercayaan agama Budha orang dapat mengetahui kebenaran yang hakiki dari segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Ia dapat melihat makhluk-makhluk halus dan alam kedewaan, yang tidak dapat diketahui oleh orang-orang biasa. Untuk menjelaskan masalah ini kita dapat mengambil contoh orang yang melihat air dalam gelas dengan menggunakan mikroskop dan orang yang melihatnya dengan mata kepala belaka. Orang yang pertama tersebut akan melihat bakteri-bakteri atau basil-basil dalam air itu, sedangkan orang yang kedua tidak akan melihatnya.[26]
Arahat yaitu orang suci tingkat keempat, mereka adalah yang telah membasmi/mematahkan sebanyak lima belenggu pada tingkatan anagami ditambah lima belenggu lagi yakni:
-       Ruparaga (keinginan untuk hidup dalam bentuk);
-       Aruparaga (keinginan untuk hidup tanpa bentuk);
-       Mana (kecongkakan);
-       Uddhacca (kegoncangan batin);
-       Avijja (kekurangan kebijaksanaan).[27]
Pada tingkatan ini seseorang terbebas dari kelahiran dan kematian di alam manapun juga, inilah yang dinamakan orang keramat yang telah bersatu dengan Sang Hyang Adi Buddha.[28]
Seorang Arahat adalah seseorang yang telah melenyapkan  segala hawa nafsu dan keinginannya, sehingga ia tidak teringat dengan apapun. Mungkin akan timbul pertanyaan, apa mungkin seseorang yang tidak mempunyai keinginan apapun masih bisa meneruskan hidupnya, sedangkan untuk hidup orang terikat pada banyak hal. Hal ini bisa dibandingkan dengan kipas angin yang meskipun angin sudah tidak bertiup, tetapi ia masih berputar karena didorong oleh sisa-sisa kekuatan sebelumya. Begitu juga Arahat, sebetulnya ia telah melenyapkan segala nafsu dan keinginannya termasuk keinginan untuk hidup, tetapi ia masih hidup sekedar meneruskan pelaksanaan hukum karma sebelumnya. Ibarat lampu yang sudah habis minyaknya, maka nyala yang masih ada merupakan sisa terakhir dan akhirnya padam.[29]
Proses hidup terus berlangsung selama masih ada tanha. Jika tanha telah padam, maka berhentilah proses hidup dan sampailah ia pada Nirwana. Apakah nirwana itu berarti lenyapnya pribadi? Mungkinkah pribadi dienyapkan? Segala sesuatu yang maujud tidak mungkin dilenyapkan. Istilah melenyapkan pribadi ialah suatu kekeliruan, sebab Budha Gautama sendiri tidak menyatakan bahwa pribadi itu ada. Jika kita melihat kipas angin sudah tidak bertiup, hal itu tidak berarti bahwa gerakan kipas itu ditiadakan atau dilenyapkan. Satu-satunya ungkapan yang tepat ialah: tidak ada sebab, tidak ada akibat.[30]
Selain dari empat tingkat kesucian diatas, dalam kepercayaan buddha juga dikenal adanya asekha, yaitu orang yang sempurna (sabbanu) yang tidak perlu belajar lagi di bumi ini. Diantara para asheka tersebut adalah Siddharta Gautama yang telah mencapai tingkat kebuddhaan tanpa harus belajar dan berguru kepada orang lain.[31]
Dalam konsep agama Hindu, orang yang belum mencapai Nirwana berarti masih terikat dengan samsara, yaitu kelahiran kembali ke dunia. Yang dilahirkan kembali adalah roh perseorangan (Atman). Agama Buddha tidak mempercayai adanya roh perseorangan. Ajaran ini disebut Anatman (Anatta).
Menurut ajaran agama Buddha, yang dilahirkan kembali sebenarnya watak yang terbentuk oleh karma (amal) tiap-tiap orang ketika masih hidup di dunia. Pada umumnya orang mengakui adanya “aku” yang menguasai jasmani dan rohaninya. “aku” ini manifestasi dari pengakuan adanya roh perseorangan. Sebenarnya “aku” ini tidak ada menurut Buddha Gautama.
Apa yang manusia rasakan sebagai aku, sebenarnya hanya perpaduan dari lima unsur atau skandha yaitu:
1.        Tubuh (rupa).
2.        Perasaan (Vedana).
3.        Pengamatan (samya).
4.        Pikiran (samskara).
5.        Kesadaran (vijnana).[32]
Jika kelima skandha tersebut menjadi satu, maka manusia merasakan ada “aku”, yang berarti ada individu tertentu. Padahal perpaduan lima skandha itu bukan kesatuan yang permanen. Kelima skandha itu dapat diibaratkan sebagai spare-part (suku cadang) yang setiap saat bisa berpisah atau bertemu.
Roh yang menjelma dalam nyala api dari suatu lilin yang dapat dipindahkan ke lilin yang lain. Nyala api pada lilin yang kedua ini bukan nyala api pada lilin yang pertama, melainkan nyala api pada lilin yang kedua itu sendiri.[33]
Untuk itulah supaya seseorang tidak dilahirkan kembali, ia harus dapat mematahkan tanha pada dirinya, yaitu dengan cara menempuh delapan jalan yang mulia, yang disebut Astha Arya Margha, yaitu:
1.     Kepercayaan yang benar.
2.     Niat dan pikiran yang benar.
3.     Perkataan yang benar.
4.     Perbuatan yang benar.
5.     Mata pencaharian yang benar.
6.     Usaha yang benar.
7.     Kesadaran yang benar.
8.     Samadhi yang benar.[34]
Setelah ia dapat mematahkan tanha dalam dirinya, dan telah mencapai kesucian yang sempurna pada tingkat Arahat, maka seseorang tersebut akan terbebas dari kelahiran kembali dan dapat mencapai Nirwana.

c.         Kedududan Sangha
Anggota Sangha adalah teladan dari cara hidup yang suci, menyampaikan Dharma atas permintaan umat dan membantu mereka dengan nasihat maupun penerangan batin dalam suka dan duka. Dari umat buddha Sangha patut menerima pemberian (ahu-neyyo), tempat berteduh (pahuneyyo), persembahan (dakkhineyyo), penghormatan (anjali karananiyo) dan merupakan lapangan untuk menanam jasa yang tidak ada taranya di dunia (anuttaram pannakhettam lokassa).[35]
Menurut kepercayaan Buddha, sangha tidak dapat dipisahkan dari Buddha dan Dharma karena ketiganya adalah kesatuan tunggal dan merupakan manifestasi berasas tiga dari yang muthlak di dunia. Hubungan ketiganya dapat digambarkan sebagai berikut:
-       Buddha adalah bulan purnama,
-       Dharma adalah sinar yang menerangi dunia,
-       Sangha adalah dunia yang menerima sinar tersebut.
Dengan istilah lain:
-       Buddha bagaikan orang yang membakar hutan,
-       Dharma bagaikan api yang membakar hutan (kekotoran batin),
-       Sangha bagaikan padi atau jasa setelah hutan habis terbakar.[36]



d.        Cara menjadi Bikkhu
Inti masyarakat Buddhisme dalam arti yang sebenarnya adalah hanya terdiri dari para Rahib (Bikkhu/Biksu). Sebab hanya hidup kerahibanlah yang dapat menciptakan suasana yang diperlukan untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi, yaitu mencapai nirwana. Seluruh persekutuan para Bikkhu/Biksu disebut Sangha/jemaat.[37] 
Sangha adalah bentuk masyarakat keagamaan yang terbuka Bagi setiap umat untuk masuk dan bergabung ke dalamnya, dengan melalui tahap-tahap tertentu, baik pria maupun wanita. Sesorang yang masuk dan bergabung kedalam sangha berarti akan hidup dalam biara tanpa lagi memiliki rumah dan hidup sebagai petapa.[38]
Seseorang yang memasuki persaudaraan para Bikkhu atau Bikkhuni, untuk pertama kalinya akan menerima ‘jubah kuning’.
Sebelum secara penuh diterima sebagai seorang bikkhu, seseorang harus menjalan hidup sebagai calon bikkhu atau disebut dengan Samanera dengan mengucapkan dan menepati “dasa sila”, tekun mempelajari dharma, menggunakan waktu luangnya untuk perenungan suci dibawah asuhan bikkhu atau guru (acarya) yang dipilihnya sendiri. Setelah dapat melakukan semua itu, maka ia diterima secara penuh sebagai bikkhu dalam suatu upacara penahbisan (upasampada) yang dihadiri para sesepuh.[39]
Penahbisan bikkhuni pertama kalinya dilakukan oleh sang buddha baru kemudian dilakukan oleh sangha. Seorang bikkhuni harus ditahbiskan dua kali, yaitu oleh bikkhuni sangha dan kedua kalinya oleh bikkhu sangha. Sesudah itu barulah ia menjadi bikkhuni.
Hidup menjadi Seorang Bikkhu diatur didalam kitab Vinaya Pitaka. Dari kitab ini dapat kita ketahui bahwa hidup para Bikkhu ditandai oleh 3 hal, yaitu: kemiskinan, hidup membujang, dan ahimsa.[40]
Yang pertama seorang rahib harus hidup dengan kemiskinan. Ia tidak diperkenankan memiliki sesuatu kecuali jubahnya[41], termasuk rumah dan tempat berlindung yang tetap, mereka harus terbiasa hidup mengembara ke hutan-hutan dan berlindung di bawah pohon, hanya ketika musim hujan saja ia di perkenankan berteduh di rumah yang dibuatnya sendiri, dengan kata lain ia harus hidup dengan iman saja. Begitu pula dengan makanan, ia harus memperoleh dengan cara mengemis. Itulah sebabnya mereka harus memiliki tempurung sebagai alat untuk mengemis. Didalam sistem ajaran buddha mengemis merupakan suatu kebajikan, karena dengan mengemis dapat mengajarkan kelompok awam untuk senantiasa bersedekah. Dan juga merupakan suatu kebajikan bagi dirinya sendiri karena dapat mengajarkan sikap rendah hati, sabar dan tidak lekas putus asa. Dengan itu mereka dapat mengendalikan hawa nafsunya.[42]
Selanjutnya seorang Bikkhu diharuskan hidup membujang. Ia tidak diperkenankan berhubungan seks dengan seorang wanita, karena hubungan tersebut dipandang sebagai dosa yang paling besar. Dan jika memungkinkan memandang wanitapun tidak diperkenankan.
Yang terakhir seorang Bikkhu harus hidup dengan ahimsa (tanpa kekerasan), artinya ia dilarang membunuh dan melukai makhluk lainnya. Empat dosa yang harus dijauhi para bikkhu adalah: hidup mesum, mencuri, membunuh makhluk yang lain, dan meninggikan diri karena kecakapannya membuat mu’jizat.[43]
Setelah menjadi bikkhu seseorang harus menjalani hidup bersih dan suci seperti yang tertulis dalam kitab vinaya pitaka, menjalani 227 peraturan yang garis besarnya adalah:
1.        Peraturan yang berhubungan dengan tata tertib lahiriyah.
2.        Peraturan yang berhubungan dengan cara penggunaan makanan dan pakaian, serta kebutuhan hidup yang lain.
3.        Cara menanggulangi nafsu keinginan dan rangsangan batin.
4.        Cara untuk memperoleh pengetahuan batin yang luhur untuk penyempurnaan diri.[44]
Pada prinsipnya ada sepuluh larangan yang disebut Dasasila, yang merupakan pokok etika Buddha. Sepuluh larangan itu ialah:
1.        Dilarang membunuh ataupun melukai sesama makhluk hidup.
2.        Dilarang mencuri/merampok.
3.        Dilarang melakukan perzinaan/hidup mesum.
4.        Dilarang berdusta/menipu orang lain.
5.        Dilarang meminum minuman yang memabukkan.
6.        Dilarang makan dan minum pada waktu yang terlarang (misalnya pada waktu berpuasa).
7.        Dilarang mendatangi tempat yang berhubungan dengan kesenangan duniawi.
8.        Dilarang menghias diri/bersolek.
9.        Dlarang tidur pada tempat yang yang nyaman dan enak.
10.    Dilarang menerima hadiah yang berharga maupun uang.[45]

e.         Kelompok Buddha Awam
Secara kelembagaan/aturan organisasi kelompok Buddha dapat dibagi menjadi dua yaitu kelompok Buddha Sangha  dan kelompok Buddha Awam. Telah disinggung di atas bahwa yang disebut dengan Buddha Sangha adalah kelompok Buddha yang terdiri dari Bikkhu (sebutan untuk lelaki) dan Bikkhuni (sebutan untuk perempuan), yaitu seorang yang menjalani kehidupan suci, meningkatkan nilai-nilai kerohanian dan meninggalkan kehidupan duniawi serta tidak menjalani hidup keluarga. Dan juga patuh serta setia menghayati dan mengamalkan Buddha Dharma, patuh menjalankan Pratimoksa (sila-sila untuk para Bhikkhu dan Bikkhuni) terdapat didalam buku  buddha Mahayana yakni Pacchimovada Pari Nirvana Sutra terjemahan oleh Kumarajiva.[46]
Sedangkan kelompok Buddha awam adalah kelompok Buddha yang terdiri dari upasaka dan upasaki, yaitu kelompok Buddha yang termasuk masyarakat biasa yang mematuhi sang Buddha sebagai pemimpin dan gurunya, mengakui kebenaran ajaran-ajarannya (Dharma),[47] serta melaksanakan prinsip-prinsip moral sebagai masyarakat biasa yang kehidupannya masih terikat dengan kehidupan duniawi dan juga menjalani kehidupan berkeluarga.[48]
Dilihat dari tingkatan pemahaman seseorang terhadap ajaran Buddha dan tanggung jawab keagamaannya, maka kelompok masyrakat buddha awam ini dapat dibedakan sebagai berikut:
-            Upasaka dan Upasaki yang benar-benar awam keagamaannya,
-            Yang disebut Bala Anupandita, Anu Pandita dan Pandita adalah mereka yang menjalankan tugas sebagai penyebar dharma dan bergabung dalam organisasi umat Buddha.
-            Maha Upasaka, ialah para pandita yang mengurus administrasi dan soal-soal teknis.
-            Maha Pandita adalah para Pandita yang mengurus khusus masalah keagamaan.
-            Anagarika adalah orang awam buddha yang diakui memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam mengamalkan ajaran Budha Gautama.[49]
Pengakuan terhadap agama Buddha tersebut dinyatakan dengan niat dan tekad untuk berlindung kepada Buddha, Dharma dan Sangha dengan mengucapkan ‘tri sarana’ yang berbunyi:
-        Buddhang Saranang Gacchani,
-        Dhammang Saranang Gacchani,
-        Sanghang Saranang Gacchani.
     Artinya :         
-        Saya berlindung kepada Buddha,
-        Saya berlindung kepada Dharma,
-        Saya berlindung kepada Sangha.
Tiga perlindungan tersebut merupakan doa yang dapat dilaksanakan kapan saja dan di manapun, tetapi dalam dunia Buddha diyakini bahwa hari yang Paling baik untuk memulainya yaitu dengan mengikat tiga permata atau tiga perlindungan, dan yang dapat menjadikannya sebagai penutup hari sebagai umat Buddha sebelum tidur.
Meskipun doa tersebut sangat singkat namun perlu diingat bahwa kalimat tersebut meliputi seluruh ajaran Buddhis, Buddha guru agung dan penunjuk jalan kehidupan bagi umat Buddha, dhamma merupakan ajaran yang diwariskannya kepada umat Buddha sebagai pedoman dalam menempuh kehidupan ini, sedangkan Sangha atau persaudaraan para bikshu melambangkan panjang dhamma.
Sesuai dengan arti katanya, yaitu Tiga Mustika atau Tiga Permata, maka isi Tiratana memang terdiri dari 3 permata atau tiga ratana, yaitu: Buddha Ratana; Dhamma Ratana; dan Sangha Ratana.
Buddha Ratana:
ü  Sang Buddha adalah guru suci junjungan kita
ü  Yang telah memberikan ajarannya kepada umat manusia dan para dewa
ü  Untuk mencapai kebebasan mutlak (Nibbãna)
Dhamma Ratana:
ü  Dhamma adalah kebenaran mutlak, dan juga merupakan ajaran Buddha
ü  Yang menunjukkan umat manusia dan para dewa ke jalan yang benar, yaitu yang terbebas dari kejahatan, dan
ü  Membimbing mereka mencapai kebebasan mutlak (Nibbãna)


Sangha Ratana:
ü  Sangha adalah persaudaraan Bhikkhu suci, yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian (Sotapana, Sakadagami, Anagami, Arahat)
ü  Sebagai pengawal dan pelindung Dhamma
ü  Mengajarkan Dhamma kepada orang lain untuk ikut melaksanakannya sehingga bisa mencapai kebebasan mutlak (Nibbãna)
Setelah mengucapkan trisarana tersebut seorang Upasaka atau Upasaki terikat secara rohaniah untuk melaksanakan dan mengamalkan ajaran Sang Buddha dalam kehidupannya sehari-hari.[50]
Pada hakikatnya para kelompok Buddha awam ini tidak dapat mencapai nirwana didalam hidupnya, namun kedudukan mereka penting sekali. Mereka sudah berada pada awal jalan menuju kelepasan sebab mereka sudah percaya kepada Buddha dan menjalankan ajaran-ajarannya (Dharma). Bagaimanapun juga mereka tetap mendapatkan pahala, meskipun belum pahala yang tertinggi. Pahala tersebut dapat di peroleh melalui sedekah baik terhadap sesama maupun terhadap Rahib (Bikkhu), yaitu dengan memberikan segala kebutuhan yang di perlukan Bikkhu. Mereka harus menetapi pancasila atau lima larangan yang pertama dari dasasila yang harus dipatuhi oleh Rahib (Bikkhu).[51]
Berbeda dengan kelompok buddha sangha yang harus mematuhi dasa sila (sepuluh larangan), kelompok buddha awam hanya diwajibkan menegakkan Pancasila (lima larangan). Pancasila untuk menegakkan Dharma bagi para kelompok Buddha awam adalah sebagai berikut:
a.         Dilarang membunuh terhadap semua makhluk (misalnya peperangan dan sebagainya).
b.        Dilarang mencuri/merampok dan sebagainya.
c.         Tidak hidup mesum, misalnya perzinaan.
d.        Dilarang berdusta/berbohong terhadap orang lain.
e.         Dilarang minum-minuman yang memabukkan.[52]
Tugas kelompok Buddha awam selanjutnya adalah dapat diuraikan misalnya seorang orang tua harus dapat mengendalikan sikap dan akhlak anak-anaknya, mengajarkan kepada anaknya terhadap hal-hal yang baik dan melarang melakukan perbuatan yang jahat, mengajarkan ilmu pengetahuan serta mencarikan jodoh yang baik. Para anak harus mematuhi segala apa yang diperintahkan orang tuanya, merawat sesuatu yang menjadi miliknya, melayakkan diri untuk menjadi ahli waris, dan seterusnya. Para guru harus memberikan pelajaran yang berhubungan dengan pengetahuan kepada muridnya, sedang seorang murid harus menghormati gurunya dan lain sebagainya.[53]
Meskipun semuanya itu belum dapat membawa orang kepada nirwana, namun dapat menjadikan mereka dilahirkan kembali didalam dunia yang lebih baik daripada yang sekarang mereka alami.

D.    KESIMPULAN
Walaupun Buddha dan Yesus menemukan cara hidup kebiaraan, namun tidak berarti semua orang bisa menjadi biksu atau biksuni, begitu juga umat biasa bisa mempraktikkan ajaran dengan baik, namun ini tidak berarti semua umat bisa mempraktikkan ajaran dengan baik; bahkan sebagian besar umat merasa kesulitan dalam  praktik dharma. Tidak semua orang bisa menjadi angota sangha. Hanya orang tertentu saja bisa menjadi anggota sangha, karena membutuhkan kebajikan yang sungguh besar dan terbebas dari aral rintangan yang berasal dari batin, dan juga aral rintangan yang berasal dari eksternal.








DAFTAR PUSTAKA

Abddul Manaf, Mudjahid. Sejarah Agama-Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. II, 1996.
Ali, Mukti. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988.
“Belajar Agama Budha: Struktur Organisasi Sangha di Indonesia” diakses pada 06 Mei 2013 dari http://belajarbuddha.blogspot.com/2012/05/struktur-sangha-di-indonesia.html
Hadikusuma, Hilman. Antropologi Agama I. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993.
Hadiwijono, Harun. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: Gunung Mulia, cet. X, 2010.
H. M. Arifin. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. Jakarta: PT. Golden Terayon Press, 1995.
Samaggi-Phala: Budhist Information Network. Diakses pada 06 Mei 2013 dari http://www.samaggi-phala.or.id/sangha-theravada-indonesia/struktur-organisasi/
Suwarto. Buddha Dharma Mahayana. Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995.
Upa. Sasanasena Seng Hansen. Ikhtisar Ajaran Buddha. Yogyakarta: Vihara Vidyaloka, cet. II, 2008.
Zhao Pu Chu. Questions and Answers on The General Knowledge of Budhism. Diterjemahkan oleh Krishnanda Wijayamukti. _____: Pustaka Karaniya, 2007.
_______. Kapita Selekta Agama Budha. Jakarta: CV. Dewi Kayana Abadi, 2003.
________. Kebahagiaan dalam Dhamma. Jakarta: Majlis Buddhayana Indonesia, 1980.



[1] Upa. Sasanasena Seng Hansen. Ikhtisar Ajaran Buddha, (Yogyakarta: Vihara Vidyaloka, cet. II, 2008), h. 38
[2] _______. Kapita Selekta Agama Budha, ( Jakarta: CV. Dewi Kayana Abadi, 2003), h. 1
[3] Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), h. 236
[4] _______. Kapita Selekta Agama Budha, h. 1
[5] _______. Kapita Selekta Agama Budha, h. 26
[6] Ibid.
[7] _______. Kapita Selekta Agama Budha, h. 27
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] _______. Kapita Selekta Agama Budha, h. 46
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Samaggi-Phala: Budhist Information Network. Diakses pada 06 Mei dari http://www.samaggi-phala.or.id/sangha-theravada-indonesia/struktur-organisasi/
[15] “Belajar Agama Budha: Struktur Organisasi Sangha di Indonesia” diakses pada 06 Mei 2013 dari http://belajarbuddha.blogspot.com/2012/05/struktur-sangha-di-indonesia.html

[16] Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, h. 234
[17] Upa. Sasanasena Seng Hansen. Ikhtisar Ajaran Buddha, h. 38
[18] Zhao Pu Chu. Questions and Answers on The General Knowledge of Budhism. Diterjemahkan oleh Krishnanda Wijayamukti, (_____: Pustaka Karaniya, 2007), h. 109
[19] Upa. Sasanasena Seng Hansen. Ikhtisar Ajaran Buddha, h. 38
[20] Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia, (Yogykarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998), h. 129
[21] Mudjahid Abdul Manaf. Sejarah Agama-Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 34
[22] Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, h. 234-235
[23]_____. Kebahagiaan dalam Dhamma, (jakarta: Majlis Buddhayana Indonesia, 1980), h. 37
[24] Majlis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan dalam Dhamma, h. 38
[25] Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, h. 235
[26] Mudjahid Abdul Manaf. Sejarah Agama-Agama, h. 34
[27] Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, h. 235
[28] Majlis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan dalam Dhamma, h. 39
[29] Mudjahid Abdul Manaf. Sejarah Agama-Agama, h. 33
[30] Ibid.
[31] Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia, h. 130
[32] Mudjahid Abdul Manaf. Sejarah Agama-Agama, h. 30
[33] Ibid.
[34] Ibid.
[35] Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia, h. 130
[36] Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, h. 237
[37] Harun Hadiwijono. Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: Gunung Mulia, cet. X, 2010), h.83
[38] Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, h. 237
[39] Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia, h. 131
[40] Harun Hadiwijono. Agama Hindu dan Buddha, h. 83
[41] Jubah harus dibuwat dari kain lampin, yang dibuatnya sendiri, yang kemudian didapatkan dari sana sini termasuk juga yang dihadiahkan oleh kelompok buddha awam, selanjutnya seorang bikkhu juga diharuskan mempunyai tempurung untuk mengemis, sebuah jarum untuk jubahnya, tasbih, alat pencukur rambut, dan penyaring air. Lihat Harun Hadiwijono. Agama Hindu dan Buddha, h. 84
[42] Ibid.
[43] Ibid.
[44] Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia, h. 131
[45] H. M. Arifin. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: PT. Golden Terayon Press, 1995), h. 98-99
[46] Suwarto. Budha Dharma Mahayana, (Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), h. 51
[47]  Pengakuan kepada Dharma berarti mempercayai atau meyakini  kebenaran hukum-hukumnya dengan kewajiban menjalankan dasar-dasar ajaran kelepasan hidup serta peraturan-peraturan lainnya.
[48] Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia, h. 129
[49] Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, h. 239
[50] Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, h. 239
[51] Harun Hadiwijono. Agama Hindu dan Buddha, h. 85
[52] H. M. Arifin. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, h. 98
[53] Harun Hadiwijono. Agama Hindu dan Buddha, h. 85

0 comments:

Post a Comment