Saturday, June 8, 2013

Buddhisme di Korea, Thailand, dan Jepang



MAKALAH REVISI

BUDDHISME DI KOREA DAN THAILAND

Diajukan guna memenuhi salah satu syarat tugas mata kuliah Budhisme Semester 4

Dosen pengajar: Hj. Siti Nadroh, MA





Oleh

LAILATUL FAWAIDAH

NIM : 1111032100053






PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2013
I.          Pendahuluan
Pada awalnya agama Buddha tidak pernah mengembangkan suatu gerakan pengutusan, dimana ajaran Buddha menyebar jauh dan luas di subbenua India dan dari sana  agama Budha menyebar ke seluruh Asia. Di tiap budaya yang ditemuinya, cara-cara dan gaya-gaya Buddha disesuaikan dengan watak setempat, tanpa mengubah pokok-pokok penting tentang kebijaksanaan dan welas asih. Namun, agama Buddha tidak pernah mengembangkan hierarki kekuasaan agama dengan seorang pimpinan penguasa.
Di setiap negara yang menerima ajaran Buddha, mengembangkan bentuknya sendiri, struktur agamanya sendiri, dan pimpinan rohaninya sendiri.[1]
Akibat adanya penyebaran ajaran Buddha, maka terjadilah akulturasi. Akulturasi ini sendiri merupakan hal yang sudah wajar terjadi selain karena ajaran Buddha yang memiliki nilai toleransi tinggi, juga karena tidak ada satu agama pun yang memiliki hak untuk memaksakan ajaran maupun tradisinya kepada masyarakat dengan tradisi setempat. Penyebab kedua terbentuknya aliran-aliran yang berbeda dalam agama Buddha adalah karena adanya perbedaan persepsi, dan ini pun juga adalah hal yang wajar. Sebagai sebuah ajaran yang bersumber pada pengalaman manusianya sendiri, sudah tentu banyak persepsi yang muncul selama kurang lebih 2500 tahun. Saat ini terdapat 3 aliran utama dalam Buddhisme di dunia, yaitu:
1.      Theravada (baca: The-ra-wa-da) Sebagai aliran yang memegang teguh Dharma Winaya sesuai kitab Tripitaka Pali. Oleh karena itu disebut juga sebagai ajaran para sesepuh atau juga Early Buddhism (Buddhisme Awal). Theravada berkembang di Asia bagian selatan (Sri Lanka) dan Asia Tenggara.

2.      Mahayana Sebagai ajaran yang berkembang pesat di Asia bagian timur (khususnya) dan seluruh Asia (umumnya).

3.      Vajrayana atau Tantrayana Sebenarnya merupakan bagian dari Mahayana namun memiliki perbedaan doktrin maka terbentuklah aliran ini. Pada mulanya merupakan akulturasi antara ajaran Buddha dengan kebudayaan dan tradisi Tibet.[2]

II.          Peta penyebaran ke-luar India                                                            
Dalam sejarah agama buddha, peristiwa yang paling penting terjadi selama masa ini adalah penyebaran Buddha-dharma oleh Raja Asoka di negara-negara di luar India. Sebelum Asoka, agama Buddha hanya ada terbatas di Lembah Ganggah di India Tengah. Namun berkat usaha Asoka, agama Buddha tidak hanya tersebar hingga lebih dari lima (5)  bagian India (timur, barat, selatan, utara, dan tengah), tetapi juga tersebar ke Asia, afrika Utara, Yunani, dan lain-lain. Agama Buddha tiba-tiba menjadi agama internasional.[3]      
                                                       
III.          Latar Belakang disebarkan ke luar India
Magadha dulunya merupakan tempat yang utama bagi Buddha sakyamuni berkhotbah. Pada mulannya, agama Buddha memperoleh dukungan dari raja-raja Magadha dan juga raja-raja negara tetangga. Kakek dari Asoka, Chandragupta, juga merupakan penyokong agama Buddha. Fakta ini menunjukkan persaingan antara Ksatria dan Brahmana pada masa itu di India. Lebih lanjut  lagi, menurut pendapat Zhau du Chu menunjukkan konflik antara kekuasaan para tuan tanah atau pengusaha yang baru bermunculan dengan kekuasaan separatis foedal di negara-negara yang baru muncul di Lembah Gangga. Fakta sejarah ini merupakan bukti bahwa raja-raja dari Kerajaan Maurya sendiri merupakan penguasa besar yang hebat dalam hal menejemen. Kaum separatis fodeal yang sangat berkuasa didukung oleh otoritas keagamaan Brahmanisme dan sistem kasta dengan sangat menyedihkan menyebabkan kemunduran konstruksi pekerjaan irigasi dalam bidang pertanian, dan menimbulkan perubahan-perubahan pada perdagangan dan bisnis internasional dan dosmetik. Karean itu agam Buddha yang bertentangan dengan otoritas keagamaan dan sistemkasta, dan berpegangg pada kesetaraan seluruh makhluk hidup mendapatkan ukungan yang luas dari masyarakat pada masa itu, terutama didukung olehkelas tuan tanah dan pengusaha yang muncul sebagai kekuatan baru.
Di lain pihak, bagi penguasa Magadha, doktrin-doktrin agama Buddha mengenai cinta kasih, belas kasih, kedamaian, dan toleransi sangat membantu stabilisasi yang menyebabkan pesatuan domestik dan perkembangan hubungan internasional yang bersahabat. Asoka belajar dari pengalaman mengenai konsekuensi alexander yang dengan ceroboh sesuka hatinya melakukan agresi militer dan ekspansi  wilayah, dan dari pelajaran mengenai perlawanan rakyat yang kokoh selama ekspedisinya yang kejam. Dia menyadari bahwa sia harus mengubah kebijakan militer dan mengmbil kebijakan yang menentramkan, sehingga dia memilih menggunakan Roda Dharma sebagai alat politiknya. Dan pada saat itu.[4]

A.    Agama Buddha di korea
Semua tradisi Buddhis China dibawa ke Korea pada permulaan abad ke-4, tetapi tradisi-tradisi itu menjadi satu kekuatan kultural yang penting hanya dalam abad ke-7, sebagaiannya oleh karena usaha luar biasa hebat dari cendekiawan besar Buddhis Korea, yaitu Wonhyo( 417-686). Tradisi Ch’an yang sangat  berpengaruh mungkin dibawa ke Korea, dimana ia dikenal sebagai Son oleh Pomnang pada pertengahan abad ke-7. Anmun Chinul (1158-1210) yangyang mendirikan sekolah chogye-chong tradisi Son sebagai tradisi Buddhis yang dominan di Korea. [5]                                  
Negeri Korea mulai mengenal agama Buddha pada awal abad ke-4 M. Pada masa itu semenanjung Korea terbagi dalam tiga wilayah, yakni Koguryu (di utara), Pakche (barat daya), dan Silla (tenggara). Sejarah agama Buddha di ketiga wilayah tersebut tidak sama.                           
Agama Buddha untuk pertama kali dibawa ke Koguryo oleh seorang bhikṣu bangsa China pada tahun 372. Dua belas tahun kemudian agama Buddha baru tiba di Pakche dan diperkenalkan oleh Bhikṣu Marananda dari Asia Tengah. Sedangkan Silla adalah wilayah terakhir yang mengenal agama Buddha, yakni sekitar 30 tahun setelah agama Buddha diperkenalkan di Koguryu.                                                 Peranan Korea dalam sejarah agama Buddha terletak pada kedudukannya sebagai jembatan penyeberangan agama Buddha dari China ke Jepang. Meskipun agama Buddha di semenanjung Korea diterima oleh kerajaan-kerajaan setempat, namun sejarah tidak mencatat kemajuan dari ajaran agama Buddha.[6]

a)      Koguryu (Utara)
Sejarah dan tokoh-tokohnya :
Goguryeo adalah sebuah kerajaan kuno yang menduduki wilayah Manchuria dan sebelah utara Semenanjung Korea. Goguryeo termasuk ke dalam Tiga Kerajaan Korea bersama Kerajaan Baekje dan Silla dan merupakan kerajaan yang terbesar. Goguryeo berdiri tahun 37 SM dan berakhir pada tahun 668 Masehi.[7]                                                                                   Agama Buddha disebarkan Oleh Bikhu Ado dari Goguryeo pada Pertengahan abad ke 5. Karena sesuai sebagai alat spiritual demi menciptakan struktur pemerintahan berdasarkan Buddha, agama Buddha mendapat dukungan penuh dari penguasa tiga kerajaan seperti raja yang berfungsi sebagai symbol kekuasaan yang diagungkanPeranan Korea pada sejarah agama Budda terletak pada kedudukannya sebagai jembatan penyebrangan agama Buddha dari China ke Jepang. Meskipun agama Buddha diteriama oleh kerajaan- kerajaan di berbagai tempat, namun sejarah tidak mencatat kemajuan yang di bawa dari ajaran Buddha.                                   Sampai abad ke enam, para biarawan dan pengrajin bermigrasi ke Jepang dengan membawa kitab-kitab suci dan artefak untuk membentuk dasar bagi terciptanya kebudayaan Buddha di sana.[8]                         Kerajaan Koguryo didirikan oleh ‘raja Jumong(Dongmyong Songwang) di bagian selatan Mancuria. Teritorial kerajaan Koguryo mencakup sebagian Mancuria dan bagian Utara Semenanjung Korea, hingga kerajaan Koguryo tidak bisa dihindari dari pertentangan dengan suku Han di Cina.                                            Kerajaan Koguryo mengusir segala kekuatan Cina dari Semenanjung Korea setelah mempecundangi tentara Nakrang dan Daebang di Cina yang mapan di Semenanjung Korea di saat kerajaan Gojosun runtuh. Setelah itu, kerajaan Koguryo juga berhasil memukul mundur kerajaan Su di Cina di tahun 598 lalu, hingga muncul sebagai negara kuat di wilayah Asia Timur Laut.                                          Oleh karena itu, kerajaan Koguryo membuat jaya nama dengan memiliki teritorial yang paling luas dan militer yang paling kuat diantara 3 kerajaan.                       Meskipun demikian, kerajaan Koguryo yang kekuatan nasional menjadi lemah akibat pertengkaraan dengan kerajaan Su, akhirnya runtuh oleh pasukan sekutu antara kerajaan Shilla dan kerajaan Tang, Cina. Setelah runtuh, kerajaan Koguryo disatukan oleh kerajaan Shilla, namun sebagian para migran yang menerima berbagai suku setelah pindah ke utara, berhasil mendirikan kerajaan Balhae.[9]                                                                       Berdasarkan babad Korea Samguk Sagi, Baekje didirikan tahun 18 SM oleh Raja Onjo yang memimpin sebagian kecil warga Goguryeo menuju selatan Semenanjung Korea, tepatnya di wilayah propinsi Jeolla saat ini. Berdasarkan catatan sejarah Tiongkok, San Guo Zhi, pada masa Samhan, salah satu wilayah Konfederasi Mahan ada yang bernama Baekje.Samguk sagi memberikan penjelasan detail mengenai pendirian Baekje. Jumong meninggalkan putranya Yuri di Buyo ketika ia meninggalkan kerajaan tersebut untuk mendirikan Goguryeo.                                Jumong bergelar Dongmyeongseong setelah diangkat jadi raja di Goguryeo. Ia mempunyai 2 putra lagi dari istri ke-2 nya di Goguryeo , yaitu Onjo dan Biryu. Ketika Yuri datang ke Goguryeo , Jumong langsung menggelarinya sebagai putra mahkota. Mengetahui bahwa Yuri akan dijadikan raja selanjutnya, Onjo dan Biryu memutuskan untuk hijrah ke selatan bersama 10 orang budak.                                             Onjo menetap di Wiryeseong (sekarang Hanam) dan mendirikan kerajaan yang disebut Sipje ("Sepuluh Budak"), sementara Biryu menetap di Michuhol (sekarang Incheon). Sipje hidup dengan makmur, sedangkan Biryu harus bertahan susah payah karena Michuhol berair asin dan tanahnya berawa-rawa. Biryu lalu pergi menuju Wiryeseong untuk meminta Onjo menyerahkan tampuk kepemimpinan padanya, namun Onjo menolak dan membuat Biryu mendeklarasikan perang. Biryu kalah dalam perang tersebut dan bunuh diri karena malu. Para pengikut Biryu pindah ke Wiryeseong dan diterima senang hati oleh Onjo. Onjo lalu mengganti nama kerajaanya dengan :"Baekje" atau "Seratus Budak".                                                                Karena adanya tekanan dari negara bagian lain dari Konfederasi Mahan (Baekje pada awalnya merupakan negara bagian dari Konfederasi Mahan), Raja Onjo memindahkan ibukota dari selatan ke sebelah utara sungai Han, lalu pindah lagi ke selatan. Raja Gaeru memindahkan ibukotanya ke Gunung Buk (Bukhan) tahun 132 M di wilayah yang diperkirakan dekat dengan kota Kwangju saat ini.
Baekje perlahan-lahan menjadi kuat dan mulai mengendalikan banyak negara bagianMahan. Masa ini disebut zaman Proto Tiga Kerajaan.[10]

b)      Pakche (Barat daya)
Baekje (16 SM-660 M) adalah salah satu dari Tiga Kerajaan Korea, menguasai wilayah sebelah barat daya Semenanjung Korea. Baekje mengaku sebagai penerus darikerajaan Buyo dari Manchuria.
Kerajaan Baekje didirikan oleh Raja Onjo, putra ke-3 dari Jumong, raja pendiri Goguryeo. Baekje beribukotakan di Wiryeseong, yang saat ini dekat dengan kota Seoul. Puncak keemasan Baekje terjadi pada abad ke-4 Masehi ketika kekuasaannya meliputi wilayah semenanjung Korea sebelah barat daya sejauh kota Pyongyang. Baekje runtuh tahun 660 setelah dikalahkan oleh gabungan Silla dan Dinasti Tang, lalu setelah itu menjadi wilayah kekuasaan Silla Bersatu.[11]
Menurut legendanya, dua anak laki-laki dari raja Dongmyong Songwang di kerajaan Koguryo, yaitu Onjo dan Biryu membangun kerajaan Baekje setelah turun ke selatan. Dengan kata lain, kerajaan Baekje didirikan oleh kekuatan migran yang didorong dari kekuatan pimpinan kerajaan Koguryo.
Kerajaan Koguryo dari bagian utara, menghalangi kerajaan Baekje maju, dan melakukan pertukaran dengan berbagai kerajaan di Cina di bagian timur.
Sementara itu, kerajaan Baekje tidak bisa dihindari dari pertengkaran dengan kekuatan Cina di Semenanjung Korea, yaitu pasukan Daebang yang menguasai bagian selatan kerajaan Baekje, serta mengadakan pertempuran yang menyengsarakan dengan kerajaan Shilla di bagian timur yang semakin berkembang.
Meskipun bunga budaya yang mewah berkembang, namun kekuatan nasional menjadi lemah akibat pertengkaran kerajaan Koguryo, dan Shilla, hingga ditaklukkan oleh pasukan gabungan di tahun 660. Setelah runtuh, banyak migran pindah ke Jepang, hingga menyumbangkan jasa besar untuk membangun negara kuno di Jepang dan menciptakan budaya Jepang.[12]

c)      Silla (Tenggara)
Silla (57 SM {catatan 1} -935 AD (pengucapan Korea : [ɕil ːa]) adalah salah satu dari Tiga Kerajaan Korea, dan salah satu dinasti berkelanjutan terpanjang didunia. meskipun didirikan oleh Park Hyeokgeose, yang juga dikenal sebagai pencetus Korea nama keluarga Park (, ), dinasti itu untuk melihat Gyeongju Kim (, )clanterusaturan untuksebagian besardari 992perusahaantahun sejarah. Apa yang dimulai sebagai chiefdom di Konfederasi Samhan, setelah bersekutu dengan Cina, Silla akhirnya menaklukkan dua kerajaan lainnya, Baekje di 660 dan Goguryeo di 668.
Setelah itu, Silla Bersatu atau SillaKemudian, seperti yangsering disebut, menduduki sebagian besar Semenanjung Korea, sedangkan bagian utara kembali muncul sebagai Balhae, penerus-negara Goguryeo. Setelah hampir 1000 tahun pemerintahan, Silla terpecah menjadi singkat KemudianTiga Kerajaan, menyerahkan kekuasaan kepada penggantinya Dinasti Goryeo di 935.
Agama Budha adalah agama filosofis yang menuntut disiplin tinggi dengan penekanan pada keselamatan pribadi melalui kelahiran kembali dalam suatu siklus reinkarnasi tanpa akhir.   
Agama Budha diperkenalkan di Korea pada tahun 372 pada periode pemerintahan Kerajaan Goguryeo oleh seorang biarawan bernama Sundo yang berasal dari Dinasti Qian Qin di Cina.
Pada tahun 384, biarawan Malananda membawa agama Budha ke-Baekje dari Negara Bagian Timur Jin di Cina. Pada masa Kerajaan Silla, agama Budha disebarkan oleh Biksu Ado dari Goguryeo pada pertengahan abad ke-5.Agama Budha nampaknya mendapat dukungan penuh dari penguasa Tiga Kerajaan karena agama ini sangatlah sesuai sebagai alat spiritual demi menciptakan struktur pemerintahan berdasarkan Budha, seperti raja, yang berfungsi sebagai simbol kekuasaan yang diagungkan. 
Di bawah perlindungan kerajaan, banyak kuil dan biara dibangun dan jumlah pemeluk agama Budha meningkat secara tetap. 
Sampai abad keenam, para biarawan dan pengrajin bermigrasi ke Jepang dengan  membawa kitab-kitab suci dan artefak-artefak untuk membentuk dasar bagi terciptanya kebudayaan Budha di sana.Kuil Jogyesa adalah pusat agama Budha Zen di Korea dan berada dijantung kota Seoul.[13] Ketika Kerajaan Silla menyatukan seluruh Semenanjung Korea pada tahun 668, agama Budha telah dijadikan sebagai agama negara, meski sistem pemerintahannya masih berdasarkan prinsip-prinsip Konfusianisme. 
Pilihan kaum kerajaan pada agama Budha pada periode ini menghasilkan perkembangan luar biasa dari kesenian Buddha dan arsitektur kul Buddha termasuk kuil Bulguks dan peniggalan-peninggalan lain di Gyeongju, ibukota Kerajaan Silla.
Pemujaan negara pada agama Budha mulai menurun ketika kaum bangsawan menerjunkan diri dalam kehidupan yang penuh kemewahan. 
Agama Budha kemudian membentuk aliran Seon (Zen) agar berkonsentrasi pada usaha menemukan kebenaran universal melalui kehidupan yang penuh kesadaran.
Para penguasa berikutnya dari Dinasti Goryeo bahkan lebih bersemangat dalam mendukung agama ini. Pada masa kepemimpinan Dinasti Goryeo, kesenian dan arsitektur Budha terus berkembang dengan dukungan terang-terangan dari kaum ningrat. Kitab Tripitaka Koreana ditulis dalam periode ini. Ketika Yi Seong-gye, pendiri Dinasti Joseon, mengadakan pemberontakan dan memproklamirkan dirinya sebagai raja pada tahun 1392, ia mencoba mengahapus seluruh pangaruh agama Buddha dari pemerintahan serta mengadopsi Konfusianisme sebagai pedoman pengelolaan negara dan moralitas.
Sepanjang lima abad, pemerintahan Dinasti Joseon, segala upaya untuk menghidupkan kembali agama Budha mendapat perlawanan keras dari para cendekiawan dan pejabat Konfusian.
Sebelum kedatangan agama Buddha, agama primitive di Korea menganggap langit sebagai tuhan yang paling agung, yakni sesuatu yang melebihi segala hal.selain itu, Shamanisme juga berakar mendalam bagi warga Korea sebagai kepercayaan rakyat. Dengan demikian, warga Korea pada masa itu mendatangi peramal atau dukun untuk menghilangkan nasib buruk dan ketika berhadapan  pilihan saat menghadapi pilihan-pilihan yang penting.[14]

d)     Zaman keemasan dan aliran-alirannya :                                        Zaman keemasan agama Buddha di Korea terjadi pada masa pemerintahan dinasti Wang (abad ke-1). Sebelum itu, agama Bud­dha terpisah-pisah dan terpengaruh oleh dinasti Silla serta banyak bhikṣu pergi ke China untuk belajar agama Buddha. Beberapa di antara mereka adalah Yuan Ts'o (613-683) dari aliran Fa Sian, Yuan Hiao (617-670) dan Yi Slang (625-702) dari aliran Houa Yen. Setelah abad ke-11, agama Buddha yang semula hanya dipeluk oleh para aristocrat dari dinasti Silla, mulai diterima oleh masyarakat umum berkat usaha-usaha yang dilakukan bhikṣu Yi T’ien, bhikṣu P'u Chao, dan lain-lain.                                                         Bhikṣu Yi T'ien terkenal dengan editing katalog kitab Tripiṭaka China (disebut YiT'ien Lit) setelah belajar agama Bud­dha di China dan menyebarkan pandangan aliran Houa Yen dan T'ien T'ai di Korea. Bhikṣu Yi T'ien juga menulis beberapa naskah agama Buddha dalam bahasa Korea. Sedangkan bhikṣu P'u Chao di kemudian hari memperkenalkan ajaran Zen di Korea. Ajaran Zen ini memegang peranan penting dalam sejarah Korea.                        Ketika kekuasaan dinasti Wang atas semenanjung Korea diambil alih oleh dinasti Yuan dari kemaharajaan Mongol, maka agama Buddha di Korea banyak dipengaruhi oleh Lamaisme (Ti­bet). Setelah dinasti Yuan dikalahkan oleh dinasti Rhee dari Cho­sen, Korea, maka dinasti ini menerima ajaran Kong Hu Chu dan membenamkan agama Buddha. Meski terdapat pergantian penguasa di semenanjung Korea, agama Buddha tetap bertahan karena telah merakyat.                                                                     Agama Buddha pada zaman modern di Korea, sesunguhnya adalah agama Buddha Zen dengan tetap mempercayai Buddha Amitabha atau Bodhisatva Maitreya.[15]
B.     Agama Buddha di Thailand
Penyebarannya, tokoh dan aliran-alirannya :
Agama Buddha berkembang di Siam (sekarang disebut Thailand) sudah sejak awal abad pertama atau kedua Masehi. Hal ini diketahui berdasarkan hasil penggalian arkeologi di Phra Pathom (kira-kira 50 kilometer sebelah barat Bangkok) dan Pong Tuk (sebelah barat Phra Pathom) berupa rupaṁBuddha serta lambang agama Buddha yaitu dhammacakka.                                                                                         Selain itu, juga dijumpai reruntuhan bangunan serta pahatan bagus yang oleh para ahli diduga berasal dari pengaruh jaman Gupta (India) serta diduga merupakan peninggalan dari Dvaravati. Dvaravati adalah suatu kerajaan yang makmur pada jaman Huang Tsang, yaitu bagian pertama abad ke-7 M.       Pada abad ke-8 atau 9, Thailand dan Laos secara politis merupakan bagian dari Kamboja serta dipengaruhi oleh keadaan kehidupan beragama dari kerajaan Kamboja, dimana agama Brahmana dan agama Buddha hidup berdampingan. Pada pertengahan abad ke-13, terjadi perubahan politik sehingga Thailand yang menguasai seluruh wilayah Thailand dan Laos serta mengakhiri supremasi politik Kamboja di wilayah tersebut. Di bawah penguasaan Thailand, agama Buddha Theravāda dan bahasa PāỊi kembali berjaya di Thailand dan Laos.[16]                                                               Manurut legenda, agama Buddha masuk ke Thailand sekitar abad ke-3 S.M. ketika Raja Asoka mengirimkan dua orang Bhikku ke sana yang diterima oleh suku Mosn yang mendiami kota Burma dan Thailand. Sampai  abad ke-7 corak agama budha itu masih berkembang di Thailand yang dipengaruhi oleh aliran Theravada, kemudian pada abad ke-8 yang awalnya dari aliran Theravada menjadi aliran Mahayana, Terutama yang berasal dari kerajaan Sriwijaya, mulai kelihatan bersamaan dengan masuknya unsure-unsur agama Hindu di Thailand Timur.      Pada permulaan abad ke-13, terjadi penyebaran agama Buddha yang kedua kalinya, dimana perkembangan yang kedua ini masuk ke wilayah Burma,Thailand,Kamboja dan Tibet. Dan penyebaran kedua ini mengandung dua aspek yaitu:
Ø   pemeliharaan dan,
Ø   tranmisi  sentral ide aliran Theravada, yang dikenal dengan Abidharma.
dan masuknya aliran ini  diwarnai dengan warna lokal serta dimasukan kedalam situasi kultural dari beberapa negeri yang dijadikan satu kedalam tradisi Abhidarma, sehingga ada cirri-ciri tersendiri dalam agama Buddha aliran Theravada yang membedakan dari satu Negara dengan Negara lainnya.[17]
 Raja-raja Thailand itu menggunakan gelar “Rama” dan memberikan perhatian yang besar terhadap perkembangan agama Budha, lebih dari itu, hubungan antara raja dengan sangha juga sangat baik. Dimana Raja sebagai pengawas dan pelindung dari sangha. pada masa raja  Rama I, Kitab Tripitaka berhasil dituliskan pada daun palma. Ia mengumumkan kepada rakyat Thailand  agar membersihkan sangha dari anggota-anggota yang tidak berguna, memurnikan praktek kewiharaan dan meningkatkan studi dan meditasi, dirintisnya pula tradisi bagi raja-raja Thailand untuk menjadi anggota sangha beberapa lama sebelum menjadi raja Rama ke-IV, yang tersebut Mongkrut, terkenal dalam pembaharuan pemikiran keagamaan. Ia mengadakan reformasi dan penafsiran kembali ide-ide Buddha menurut pemikiran  Barat yang berkembang  pada waktu itu. Salah satu usaha pembaharuannya adalah membentuk aliran sangha yang dikenal dengan Dharmayutika yang menekankan bahwa ajaran agama Buddha tidak bertentangan  dengan ilmu pengetahuan modern. Sebagai mantan bhikku, ia berhasil meningkatkan kehidupan sangha telah kehilangan gairah dan membersihkannya dari unsur-unsur yang bertentangan dengan ideasli agama Buddha.  [18]                                          Dimasa modern, Rama IV pada tahun (1910-1925) adalah Raja Thailand  yang memebrikan warna Buddhis bagi Thailand. Ia menegakkan soko-guru bagi persatuan kelangsungan dan identitas Thai, yaitu: bangsa, agama dan raja. Agama Buddha merupakan agama nasional dan sebagaian besar orang Thailand menjadi orang Thai berarti pula menjadi penganut Buddha. 
Berdasarkan tiga soko-guru yang dijadikan dasar persatuan Thialand tersebut perkembangan agama Buddha berjalan dengan pesat sejalan dengan perkembangan masyarakat Thai di zaman modern. Banyaknya Thai yang menjadi bhikku tersebut adalah karena faktor tradisi yang sudah lama berlaku yaitu bahwa seorang lelaki harus menjalani hidup sebagai bhikku selama masa phasa, atau tiga bulan sepanjang hujan, di salahsatu wihara, sebagai suatu upacara peralihan antara masa remaja dan masa perkawinan. Selain itu, factor pendidikan yang disediakan sangha juga telah mendorong orang-orang Thai memasuki  sangha, terutama dari kalanagan rakyat biasa dan orang-orang miskin. Fasilitas-fasilitas pendidikan yang diberikan oleh sangha ini, baik yang berupa pendidikan agama ataupun pendidikan umum yang disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku di sekolah-sekolah negeri, telah membuka banyak kemungkinan bagi rakyat Thailand pada umumnya untuk meningkatkan diri sekalipun mereka memiliki kemampuan yang terbatas dalam masalah keuangan dan kesempatan.[19]                                  Sangha memang sebagai peranan yang sangat penting dalam kehidupan agama di Thailand. Inti dari sangha adalah para bhikku yang tlah menjalani khidpan kebikhuan selama 10 tahun atau lebih dan menjadikan agama sebagai bagian dari kehidupan mereka.                              
Sepanjang sejarah negeri Thai, pemerintah menyadari pentingny apara sangha dalam masyarakatdan peranan agama sebagai pemesatu bangsa. Maka dari iru pemerintah mengawasi sangha dan menempatkannya di bawah supervise pemerintah dengan membentuk hirarki sangha yang bersifat nasional sehingga  pengaruh pemerintah cukup menentukan. Sangha dan Bhikku sebagai perorangan tidak diharapkan memerankan peranan politik yang lepas apalagi yang bertentangan dengan Negara. Pemerintah mempergunakan hirarki sanghatersebut sebagai alat untuk integrasi nasional serta pembangunan bangsa dan Negara Thai sampai sekarang.[20]                               
Raja Thailand, Sri Suryavamsa Rama Maha Dharmikarajadhiraja, bukan hanya sebagai seorang penguasa yang mendorong pengembangan agama Buddha, tetapi beliau juga adalah seorang bhikkhu yang aktif menyebarkan Dhamma ke seluruh negeri. Pada tahun 1361, Raja Thailand mengirim sejumlah bhikkhu dan ācariya ke Ceylon serta mengundang Mahasami Sangharaja dari Ceylon untuk berkunjung ke Thailand. Atas prakarsa dan kegiatan raja, maka agama Buddha dan bahasa PāỊi berkembang luas mencakup kerajaan-kerajaan kecil Hindu di wilayah Laos seperti Alavirastra, Khmerrastra, Suvarnagrama, Unmargasila, Yonakarastra, dan Haripunjaya. Sejak saat itu, agama Buddha mulai menyebar dan agama Hindu mulai memudar.               
Meskipun Thailand mendapatkan pengaruh agama Buddha yang mendalam dari Cyelon, namun hal tersebut telah dibayar kembali oleh Thailand, dimana raja Thailand mengirimkan rupaṁBuddha dari emas dan perak, salinan kitab-kitab suci agama Buddha serta sejumlah bhikkhu ke Ceylon. Dari peristiwa tersebut, dapat diartikan bahwa pada waktu itu Ceylon mengakui Thailand sebagai negeri yang memiliki agama Buddha dalam wujud yang murni.         
Pada masa pemerintahan raja Rama I (1789) telah ditulis sebuah kitab tentang sejarah pembacaan kitab suci (History of Recitals) oleh seorang bhikkhu dari kerajaan, yaitu Somdej Phra vanarat (Bhadanta Vanaratana). Dalam kitab tersebut, Bhikkhu Bhadanta Vanaratana menyebutkan sembilan Saṅghayāna dalam agama Buddha (Theravāda). Sidang saṅgha tersebut diselenggarakan tiga kali di India ( tiga sidang yang pertama), empat kali di Ceylon (sidang yang ke-4, 5, 6, dan 7) serta dua kali di Thailand (sidang yang ke-8 dan 9).        Saṅghayāna ke-8 di Thailand berlangsung pada masa pemerintahan Raja Sridharmacakravarti Tilaka Rajadhiraja, penguasa Thailand bagian utara, diselenggarakan di VihāraMahābodhi Ārāma, Chiengmai, selama satu tahun penuh antara tahun 1457 dan tahun 1483, sedangkan Saṅghayāna ke-9 (menurut versi Thailand) berlangsung pada tahun 1788 setelah terjadi perang antara Thailand dengan negeri tetangganya. Dalam peperangan tersebut ibukota Ayuthia (Ayodhya) hancur terbakar, banyak kitab dan kitab suci Tipiṭaka telah menjadi abu. Raja Rama I dan saudaranya sangat prihatin atas keadaan saṅgha. Dan setelah mendengar pendapat para bhikkhu, kemudian diselenggarakan Sidang Saṅgha (Saṅghayāna) yang dihadiri oleh 218 Thera dan 32 Ācariya dan selama satu tahun membacakan kembali kitab suci Tipiṭaka. Selama dan sesudah Sidang Saṅgha, dilakukan rehabilitasi bangunan vihāra dan pagoda, serta dibangun juga bangunan-bangunan baru.[21]
C.     Agama Buddha di Jepang
Agama Buddha yang dalam bahasa Jepangnya disebut Bukkyo (Butsu : Buddha, Kyo: ajaran) dipercaya mulai masuk ke Jepang lewat kerajaan Baekje di Korea sekitar tahun 538.                         Agama Buddha masuk  ke Jepang pada abad ke-6 atau tahun 853 atau 552 M.[22] dimana menurut cerita , pada waktu itu raja Korea mengirimkan Kepada Kaisar Kimmei Tenno di Jepang  sebuah patung Buddha yang terbuat dari emas dan perunggu, dan beberapa Kitab Sutra, alat pemujaan, dengan disertai  permintaan untuk menerima agama Buddha. Kemudian Kaisar Kimmei Tenno mencobanya untuk menerima agama Buddha sekalipun awalnya ada pertentangan yang hebat akan tetapi lama kemudian agama Buddha dapat berkembang dengan baik.[23]  Suku yang menerima agama Buddha yang diminta oleh raja Korea itu adalah Suku Soga dan yang menolak Agama Buddha di Jepang adalah Suku-suku lainnya dimana mereka menolak dengan alasan karena menganggap menghina kepercayaan terutama pada para  dewa mereka.                                             Tokoh utama yang menyebarkan agama Buddha di jepang adalah Pangeran Shotoku Taishi pada tahun (547-621), pangeran ini tahta pada tahun 593 M., dimana peranan agama Buddha yang ada di Jepang dapat disejajarkan dengan Raja Asoka di India. pada masa Pangeran Shotoku Taishi, Ia juga menetapkan agama  Buddha sebagai agama Negara, serta menerjemahkan sendiri kitab suci Sadharma Pindarika, Vimalakirti dan Srimalasutra yang sangat berpengaruh dalam pembentukan filsafat Buddhisme di Jepang sampai hari ini. ia juga mengirimkan para ahli Jepang ke Kora dan cina untuk mempelajari agama, seni dan ilmu pengetahuan.
Pada tahun 607 M. ia mendirikan kuil-kuil di Nara dan Haryuji yang merupakan kuil tertua dan masi berdiri hinnga sekarang. Dan perkembangan pesat agama Buddha terjadi pada periode Nara (710-784), terutama karena banyaknya suku-suku berpengaruh dan bangsawan-bangsawan terpandang yang memeluk agama tersebut. Para  penguasa pada masa itu beranggapan bahwa agama Buddha dapat dijadikan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat mereka. Dan pada periode Nara ini juga ditandai dengan munculnya beberapa aliran dalam agama Buddha di Jepang, diantara aliran-aliran tersebut yang ada hingga saat ini adalah aliran Hosso yang berpusat di Kofuji dan Yakushiji, aliran  Kegon berpusat di Todaiji dan aliran Ristu yang berpusat di Toshodaiji.
Dimasa kekuasaan dinasti Heian pada yahun (794-1185 M.) muncul usaha-usaha untuk memadukan kepercayaan dan tradisi Jepang  dengan agama Buddha, antaralain melalui ajaran Saicho dan kukai. Yang pertama, yaitu Saichoyang kemudian terkenal dengan sebutan Dengyo Daishi, mengajarkan bahwa sebenarnya dewa-dewa agama Buddha adalah sama dengan dewa-dewa dalam agama Shinto, yang disebut Kammi, sementara Kukai, yang selanjutnya terkenal dengan sebutan Kobo Daishi, yang mengajarkan bahwa dewa tertinngi dalam agama Shinto adalah sama dengan dewa tertinngi dalam agama Buddha sehinnga tidak ada perbedaan antara pemujaan terhadap Buddha dengan pemujaan terhadap agama Shinto.
Ketika memasuki abad ke-13 M. beberapa aliran baru muncul di jepang, sejalan dengan perselisihan dan perebutan kekuasaandi antara para penguasa, atau sejak pada tahun 624 timbullah mazhab/aliran-aliran yang bermacam-macam di Jepang.Aliran–aliran baru  tersebut anatara lain aliran Cha’an yang di Jepang disebut dengan Aliran Zen, aliran Amida (Tanah Suci), dan Nichiren Sozu.[24]
Antara abad yang ketiga dan keenam, Jepang mulai menerima berbagai pengaruh dari luar melalui hubungan dengan Korea. Pada tahun 405, seorang sarjana bangsa korea yang bernama Wani memperkenalkan ajaran-ajaran etika agama konfusius. Berbagai faham dualisme agama Tao juga dimasukkan ke Jepang. Akan tetapi semua unsur luar yang masuk ke Jepang mas aini tidak satupun yang dibawa atas nama agama. Hubungan dengan Korea dan Cina melalui ekspedisi-ekdpedisi kecil juga membawa Jepang berhubungan dengan agam Buddha. Namun sebelum abad keenam belum terlihat dengan jelas kegiatan-kegiatan agama Buddha di Jepang.[25]
Buddhisme dari Korea masuk ke Jepang pada awal abad ke-7, dan pada akhir abad ke-7 dan seterusnya Budhisme dari cina secara langsung masuk ke Jepang juga. Ch’an, yang di kenal di Jepang dengan nama Zen, juga menjadi satu bentuk Budhisme yang dominan di jepang, dan ia meresap secara mendalam ke dalam budaya Jepang, khususnya pad amasa Guru Agung Zen, yaitu Dogen (1200-1253). Namun tradisi Buddhis yang lain dari Cina juga berpengaruh. Seperti Tendai (T’ien-t’ai), yang didirikan di Mount Hiei oleh Saicho (767-835),berkuasa selama periode Heian (794-1185). Shigon, tradisi tantris Chen-yen yang dibawa dari cina oleh Kobo Daishi (774-1212) yang mencoba menjalankan pembaharuan melepaskan diri dari tradisi Tendai untuk menegakkan Buddhisme Negeri Murni yang sangat populer di Jepang. Tendai juga menghasilkan sekolah negeri dengan jalan kembali ke “Buddhisme yang benar”. Baik di Korea dan Jepang maupun Cina, bentuk-bentuk Mahayana Buddhisme sangat dominan, dan filsafat yang mendasarinya diperkaya oleh tradisi Madhyamaka dan Yogacara.[26]
Periode kedatangan abad ke-6-7 (periode Asoka dan Nara)   
Pada pertengahan abad ke-enam (tahun 538 atau 552 M) agama Buddha mulai memasuki Jepang melewati Korea. dimana pada masa PangeranShotoku (574-622) adalah orangJepang yang pertama-tama bersungguh-sungguh memahami ajaran-ajaran agama Buddha. Ketika agama Buddha sudah berada di tangan bangsa Jepang, agama yang berasal dari India itu dibikin menjadi “asli Jepang” sehingga sangat berbeda dengan agama Buddha yang dilahirkan ditempat asalnya dan tidak sama pula dengan agama Buddha yang berkembang di daratan benua China.[27]
Pada abad ke-7 (tujuh) danke-8 (delapan) Masehi agama tersebut telah memperoleh banyak pengikut dikalangan masyarakat Jepang yang terdidik dan berpengaruh. Bahkan pemerintah memberikan bantuan yang cukup besar terhadap agama ini. Sungguhpun demikian agama Buddha dan agama asli Jepang pada masa ini cenderung berfusi dan ini pula sebenarnya yang menjadi faktor utama bagi asimilasi dan penerimaan aga Buddha di Jepang. Dan hubungan yang sangat erat antara kedua agama itu kemudian dirumuskan dalam suatu teori perpaduan yaitu Honji Suijaku Setsu. Menurut teori ini Buddha sebagai wujud yang metaphisis disebut dengan honji, dan Buddha sebagai makhluk sejarah, yaituSyakyamuni, disebut dengan suijaku. Dalam kedudukannya sebagai honji, Buddha adalah wujud atau Realitas Pertama, dan dalam keadaanya sebagai suijaku, Buddha adalah perwujudan atau manifestasi dari wujud Pertama tadi. Teori ini dimasukkan untuk menjelaskan hubungan antara dewa-dewa dalam agama Shinto dengan para Buddha. Berdasarkan teori ini maka para Buddha itu dianggap sebagai honji, dan dewa-dewa dalam ajaran agama Shinto dianggap sebagai inkarnasi atau penjelmaan para Buddha.  
Dan pemikiran semacam diatas berkembang pula pada masa Kamakura (1192-1333), dimana masa munculnya para tokoh-tokohpemikir yang terkemuka dalam agama Buddha di Jepang, seperti :
·             Honen (1133-1212)
·             Shinran (1173-1262)
·             Dogen (1200-1253), dan
·             Nichiren (1222-1282)
Pada masa Muromachi (1338-1583) muncul suatu aliran dalam agama Shinto yang disebut dengan Yoshida Shinto. Aliran ini mengajarkan kesatuan dari agama Shinto, agama Buddha dan agama Konfusius dengan agama Shinto sebagai dasar utamanya. Aliran tersebut memeberikan gambaran kiasan menegnai bentuk perpaduan ketiga agama di atas sebagai berikut :                                                                                           “agama Buddha dapat digambarkan sebagai bunga dan buah dari semua prinsip aturan  (Sanskrta, dharma) di alam ini, dan agama konfusius sebagai cabanag dan rantingnya, sementara agama shinto sebagai akar dan batangnya”. Gejala keagamaan berupa perpaduan antara agama Shinto dengan agama Buddha ini sering pula disebut dengan Shinbutsu shugo.[28]                                                                                         Sejak Jepang memulai masa sejarahnya sebagai sebuah Negara yang bersatu dan berdaulat, pengaruh yang paling utama terhadap kehidupan spiritual bangsa Jepang berasal dari agama Buddha. Secara resmi agama tersebut mulai memasuki Jepang pada tahun (538 atau 552. M). Pada waktu itu sebuah delegasi ke Jepang. Di samping membawa berbagai hadiah, delegasi tersebut juga membawa sebuah patung kecil Buddha dan beberapa kitab pengajaran agama Buddha. Dalam sebuah surat yang mereka sampaikan kepada pemerintah Jepang dikemukakan- bahwa agama Buddha adalah sebuah agama yang membawakan dan menjajikan kebahagiaan bagi agama, bahkan ada yang kemudian ke India, negeri asal agama Buddha. Demikianlah, saling hubungan yang terjadi antara Jepang dengan Cina dan Korea itu telah menjadikan agama Buddha sebagai perantara utama masuknya pengaruh-pengaruh asing ke Jepang.                                                                              Perkembangan agama Buddha yang dimulai masuknya ke-Jepang di tahun 538 atau 552 itu mencapai puncaknya pada masa Nara (710-794). Selama masa ini banyak di antara suku-suku yang terpandang dan para bangsawan yang berpengaruh yang mulai memeluk agama Buddha sehingga lambat laun agama tersebut memperoleh akar kuat di kalangan masyarakat. Pengaruhnya terhadap tata tertib administrasi kepemerintahan juga cukup besar, di samping itu pihak penguasa menganggap bahwa agama Buddha dapat dijadikan sarana yang paling tepat untuk mencapai kesejahteraan hidup bangsa. Oleh karean itu pemerintah memberikan bantuan terhadap agama baru itu, sedemikian besar sehingga dalam tahun 655 dikeluarkan sebuah ketetapan pemerintah yang mengharuskan kepada setiap keluarga Jepang untuk mendirikan Butsudan, tempat pemujaan Buddha, di rumah masing-masing.[29]                                     Agama Buddha padamasa Nara terdiri dari tujuh aliran : Sanron, Hosso, Kegon, Jojitsu, Kusha, dan Ritsu. Tiga kelompok yang pertama termasuk kelompok Theravada. Di antara keenam aliran itu, tiga diantarannya masih hidup sampai sekarang, yaitu aliran Hosso dengan pusatnya kelenteng Kofukuji dan Yakushiji; aliran Kegon dengan pusat kelenteng Todaiji; dan aliran Ritsu yang berpusat di kelenteng Toshodaiji.               Sungguhpun pengaruh dan peranan agam Buddha di Jepang demikian kuat, namun agama asli tidak musnah. Di Jepang agama Buddha mula-mula hanya menjadi agama golongan elite. Untuk memahami ajaran-ajran filsafatnya yang cukup ruwet dan rumit diperlukan kepandaian yang tidak sedikit. Di samping itu agam ytersebut mula-mula mempergunakan bentuk-bentuk bangunan, tradisi, upacara keagamaan dan bahasa model Cina. Oleh karena itu agama Buddha hanya pelan-pelan saja menerobos ke dalam lingkungan rakyat umum. Kecuali itu menjelang akhir abad ketujuh sebenarnya sudah terlihat tanda-tanda adanya usaha untuk membangkitkan agama asli. Pertemuan dengan agama Buddha telah menanamkan kesadaran akan adanya perbedaan antara agama asli dnegan agama tersebut.[30]
Periode nasionalisasi abad ke-9-14
Periode ini diawali dengan munculnya dua aliran agama Buddha di Jepang, yaitu aliran Tendai oleh Saicho (797-822) dan aliran Shingon oleh Kukai (774-835). Tujuan dari para pendiri aliran tersebut adalah agar agama Buddha dapat diterima oleh rakyat Jepang.                                                 Selama pemerintahan Nara (710-884) sesungguhnya agama Buddha telah menjadi agama negara. Kaisar Shomu secara aktif telah mempropagandakan agama ini dan membuat patung Bud­dha yang besar di Nara serta menjadikannya sebagai pusat kebudayaan nasional. Di tiap propinsi dibangun pagoda-pagoda dan sistem pembabaran Dhamma yang efektif sesuai dengan keadaan setempat.                                                   Sekte Kegon (Huan Yen) versi Jepang memberikan ideologi Buddhis baru bagi negara. Selama pemerintahan Nara terdapat 6 sekte yang berkembang di Jepang. Sekte Kagon (sekte Hwaom Korea) adalah sekte yang mempunyai pandangan dan kepercayaan bahwa semua yang ada di dalam ini dapat berhubungan erat dengan kosmik yang terwujud di dalam tubuh Buddha. Pandangan dan kepercayaan ini didasarkan pada Avatamsamkasutra. Pendidikan dan pemikiran Ritsu terutama lebih ditekankan pada disiplin (vinaya) serta semata-mata merupakan alternatif akademik. Pada saat penyelamat alam yang ideal yang diperkenalkan adalah apa yang diajarkan Lotus Sutra dan penekanannya pada peranan umat seperti penjelasan dalam Vimalakitri Sutra. Dengan adanya cara penyelamatan yang ideal ini menjadi jelas bagi raja bahwa rohaniawan terlalu banyak berperan dan aktif di dalam politik.                                                                         Selama pemerintahan anak perempuan (putri) Kaisar Shoma, bhikṣu Donkyu yang bertindak selaku pejabat pemerintah dari putri kaisar tersebut telah mencoba untuk menjadi kaisar. Hanya karena adanya perlawanan para aristocrat, maka Jepang tidak menjadi negara teokrasi beragama Buddha aliran Tibet. Sebagian dari perlawanan ini karena adanya tekanan dari Saṅgha, karena adanya situasi yang tidak menguntungkan ini, akhirnya pengadilan memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Kyoto pada tahun 794. Pada tahun 804, Bhikṣu Saichi dikirim ke China dan kemudian kembali ke Jepang untuk mengajarkan (membabarkan) doktrin dari Tien Tai (dalam bahasa Jepang disebut Tendai).                                                                   Walaupun sekte Hasso telah mengajarkan bahwa ada beberapa yang tidak bisa diselamatkan, tetapi Tendai menekankan pembabatan dan penyelamatan alam. Agama Buddha Jepang yang berkarakter Jepang terus berlangsung dan dapat didengar dalam pendidikan dan pemikiran baru dari masa Huan. Kompleks VihāraTendai di atas pegunungan Hie dikenal sebagai cikal bakal dari agama Buddha di dalam menyelamatkan keamanan negara.
Aliran Shingon adalah salah satu bentuk dari aliran Tantra yang diperkenalkan kepada Jepang oleh Bhikṣu Kukai di awal abad ke-­9. Agama BuddhaShingon menentukan penyatuan dari pemeluknya dengan Buddha (persatuan Kawula-Gusti) dalam berbagai macam bentuknya.                          Dalam perkembangan sekte-sekte Buddhis, Tendai dan Shingon bercampur baur dengan agama Shinto yang nampak dalam penyatuan pemujaan dewa Shinto dan dewa-dewa dalam agama Buddha, sehingga terjadi persekutuan pemujaan.          Gerakan dalam agama Buddha terjadi pada abad ke-10 dengan munculnya kepercayaan terhadap Buddha Amitābha. Banyak orang yang memeluk kepercayaan ini karena kesederhanaan ajaran, yakni dengan mengucapkan ”Amitābha Buddha” secara berulang-ulang akan terlahir di Tanah Suci (Sukhavati). Kemudian gerakan lain banyak muncul pada abad ke-13 karena banyak didorong oleh cita­-cita umat awam untuk mencapai kemurnian dan kesederhanaan ajaran maupun caranya. Pandangan ini banyak dianut oleh para petani dan prajurit.                                                                                           Pada zaman Kamakura mulai timbul feodalisme di Jepang. Aliran-aliran agama Buddha yang tumbuh dalam suasana feodalisme tersebut di antaranya adalah Zen yang diperkenankan oleh Eisai (1141-1215), Dogen (1200-1253) serta Nichiren yang didirikan oleh Nichiren (1222-1282).[31]
Periode Aerian dan Kamakura
Pada masa Tokugawa (1603-1868) agama Buddha ditetapkan sebagai agama resmi negara[32] Pemindahan pusat administrasi pemerintahan dari Kyoto keKamakura setelah terjadinya revolusi di tahun 1185, merupakan awal baru dalam sejarah Jepang selanjutnya. Keluarga Hojo mendirikan sebuah bentuk pemerintahan feudal yang kuat dan rapi di Kamakura, dan mengadakan pembaharuan-pembaharuan dalam berbagai bidang kehidupan.
Pada permulaaan masa Heian, Saicho dan Kukai telah berusaha menyebarluaskan agama Buddha ke seluruh lapisan masyarakat.tatapi usaha mereka hanya itu hanya sebagian saja yang berhasil. Agama Buddha tetap berpusat di sekitar kehidupan dalam istana. Bahkan lama kelamaan para pengikut kedua tokoh agama itu sudah mulai melupakan cita-cita gurunya yang sungguh-sungguh untuk membina kesejahteraan sosial. Mereka juga kurang berminat dan tidak bergairah dalam menyebarluaskan faham mereka, terutama karena adanya kecenderungan untuk lebih suka melayani kekacauan-kekacaun akibat pemerintahan yang sudah melemah dan korup. Keadaan-keadaan yang demikian telah menumbuhkan harapan umum akan munculnya suatu perubahan dan pembaharuan yang dapat membangkitkan  membawakan keadaan yang lebih baik. Harapan itu menmpak dalam bentuk kebangkitan spiritual yang menandaiakhir masa Heian dan permulaan masa Kamakura (1185-1333).
Selama masa kebangkitan ini, agama Buddha, yang semula dianggap asing, dirubah menjadi asli Jepang. Dan benih dari gerakan-gerakan pembaharuan agama Buddha ini pada umumnya berasal dari ajaran filsafat Tendai yang dikembangkan oleh Saicho pada abad ke- 9. Biara-biara yang terletak di gunung Hiei dapat dikatakan menjadi pusatnya karena hampir  semua tokoh-tokoh keagamaan yang hidup pada abad ke-12 dan ke-13 pada mulanya belajar agama di biara itu, dan menjadikan ajaran-ajaran tendai sebagai dasar pengajaran mereka.gerakan-gerakan pembaharuan agama Buddha yang terpenting pada masa ini ada 3 (tiga), yaitu :
Ø    Aliran Amida atau yang dapar disebut pula dengan sekte Tanah Suci (Pure Land) aliran ini mengajarkan keselamatan melalui percaya kepada Amida Buddha.
Ø    Aliran Zen Buddhisme yang mengajarkan jalan meditasi, dan
Ø    Aliran Buddha Nichiren yang mengajarkan jalan penyerahan diri pada kebenaran Lotus Sutra.[33]

Periode lanjutan abad ke-15-20
Dengan berakhirnya periode Kamakura, maka di Jepang tidak terdapat perkembangan agama yang berarti, kecuali meluasnya beberapa aliran.                                                     Pada zaman Edo (1603-1867), agama Buddha sudah kembali menjadi agama nasional di bawah perlindungan Shogun Tokogawa.Pada masa pemerintahan Shogun Tokogawa, agama Buddha di Jepang menjadi tangan (alat) dari pemerintah. Vihāra sering digunakan sebagai pendataan dan pendaftaran penduduk dan dijadikan salah satu cara untuk mencegah penyebaran agama Kristen yang oleh pemerintah feodal dianggap sebagai ancaman politik. Agama Buddha tidak begitu populer di kalangan masyarakat pada masa pemerintahan Meiji (1868-1912).                                                   Pada waktu itu, muncul usaha untuk menjadikan Shinto sebagai agama negara, yang dilakukan dengan cara memurnikan ajaran Shinto yang telah bercampur dengan agama Buddha, dan untuk itu dibutuhkan suatu penyelesaian. Cara yang dilakukan antara lain dengan menyita tanah vihāra dan membatasi gerak-gerik para bhikṣu.                                Keadaan tersebut berubah setelah restorasi Meiji pada tahun 1868, agama Buddha menghadapi saingan dari agama asli, Shinto. Namun hal itu dinetralisir dengan kebebasan memeluk agama yang diberikan oleh undang-undang dasar Jepang.                                                                                         Selama periode ultra nasional (1930-1945) pemikir-pemikir agama Buddha menyerukan penyatuan dunia Timur (Asia Timur Raya) ke dalam tanah suci Buddha (Buddha Land) di bawah pengawasan Jepang. Setelah perang berakhir, kelompok-kelompok agama Buddha yang baru dan lama mulai menyatakan bahwa agama Buddha merupakan agama negara yang penuh dengan perdamaian dan persaudaraan. Mendekati berakhirnya masa perang, aktivitas umat Buddha terlihat lebih nyata, diantaranya adalah gerakan dari agama baru seperti Soka Gokkai dari Nichiren Shoshu dan Resso Kosei Kai[34].        Pada masa Tokugawa atau Edo (1603-1868) rakyat Jepang menikmati masa yang penuh dengan ketentraman dan kedamaian. Tokugawa adalah seorang jenderal dan administrator yang cakap yang berhasil mempersatukan Jepang di tahun 1615. Sungguhpun demikian dalam bidang agama tetap terlihat adanya kemunduran. Agama Buddha waktu itu dijadikan stu-satunnya agama yang diakui oleh negara. Pemerintah melakukan pengawasan terhadap agama tersebut dan mempergunakannya, baik untuk tujuan memelihara tata tertib sosial maupun untuk mengatur kehidupan spiritual bangsa. Dimana setiap penduduk diharuskan mencatatkan diri di kelenteng. Dan kelenteng sebagai pengikut agama Buddha. Kebijaksanaan pemerintah tersebut sebenarnya semula dimaksudkan agar tidak seorangpun yang menjadi pengikut agama Kristen, terapi kemudian berkembang sehingga memiliki beberapa tujuan lain. Pencatatan diri itu kemudian dimaksudkan pula sebagai usaha sensus penduduk. Kegiatan-kegiatan seperti perkawinan, perpindahan kerja, perjalanan, dan peristiwa-peristiwa seperti kelahiran dan kematian, juga harus dilaporkan ke kelenteng-kelenteng. Dengan demikian disamping tugas-tugas keagamaan, kelenteng-kelenteng tersebut juga menyyelenggarakan berbagai tugas pemerintahan.                     Akan tetapi dalam bidang pemikiran filsafat di luar agama Buddha terlihat adanya perkembangan yang pad amasa-masa kemudian memainkan peranan penting. Pada awal masa Tokugawa muncul aliran seperti:                                                  Mito yang dipelopori oleh Tokugawa Mitsukuni (1628-1700_. Para anggotanya terdiri dari para ahli sejarah yang sangat berminat dalam mempelajari teks-teks Jepang kuno dan berusaha membangkitkan perhatian masyarakat terhadapsejarah budaya dan agama asli. Kitab Nihongi diterbitakn dengan ditambah beberapa komentar. Kelak, di abad ke-19 kitab yang berkenaan dengan mite “abad para dewa”. Legenda-legendanya mengenai asal-usul kedewaan dijadikan dasar keagamaan dalam pembaharuan sistem kekaisaran di Jepang.                                  Pada akhir masa Tokugawa muncul rasa tidak puas masyarakat terhadap pemerintah. Di sana-sini terjadi bebrapa pemberontakan kecil yang berakibat memperlemah kekuasan pemerintah. Agama Buddha, yangsudah menajdi agama negara, memeperoleh kesan buruk. Orang-orang Buddha banyak yang menjadi sasaran kritik, sementara perhatian umum terhadap agama asli semakin meningkat. Pada masa Tokugawa perasaaan anti Buddha itu sudah tumbuh meluas di kalangan masyarakat akibatnya banyak kelentengt-kelenteng agama Buddha yang di tutup dan para pendetanya dipaksa meninggalkan pos-pos mereka. Di samping itu juga hubungan Jepang dengan asing, yang selama ini dihentikan sejak dimulainnya masa isolasi jepang di tahun 1639, itu dibuka kembali dengan penandatanganan perjanjian antara komodor perry dan kaisar Jepang di tahun 1845.[35]
Zaman Modern
Kekacauan-kekacauan yang terjadi di akhir masa Tokugawa itu akhirnya memaksa kaisar turun dari tahta di tahun 1868 yang merupakan awal masa modern dalam sejarah Jepang. Sejak dimulainnya masa Meiji (1868-1912) sampai dengan meletusnya perang di tahun 1945, kehidupan agama di Jepang sangat erat hubungannya dengan kebijaksanaa-kebijaksanaan  pemerintah. Selama masa tersebut ada empat hal utama yang menjadi cirri pokok dalam kehidupan agama di Jepang yang bersangkutan dengan agama shinto, yaitu :
·         Usaha pemerinta untuk menciptakan sebuah negara theokrasi.Penataan sistem jinja.
·         Campuran pemerinta terhadap agam, dan.
·         Militerisme dalam agama.[36]
Masing-masing dari keempat hal di atas dapt secara singkat sebagai berikut:
1.      Usaha mencipatkan Negara Theokrasi
Pada masa pemerintahan Meiji berusaha untuk mendirikan sebuah negara yang didasarkan atas konsep saisei itchi yaitu konsep kesatuan antara upacara keagamaan dan politik. Oleh karena itu banyak langkah-langkah pembaharuan dratis yang diambil oleh pemerintah, terutama yang ada hubungannya dengan agama, yang semuanya dimaksudkan untuk mendirikan sebuah negara theokrasi yang didasarkan atas kultus agama Shinto.
1.               Penataa Sistem Jinja
Dalam sistem ini tempat-tempat suci yang digabungkan disebut dengan Jinja shinto, yang memperolah pengawasan dan bantuan keuangan dari pemerintah. Dan persoalan yang menyangkut organisasi kependetaan, dan upara keagamaan dalam tempat-temapt suci itu, juga diatur dalam ketentuan-ketentuan resmi. Kegiatan-kegiatannya dibatasi dalam pelaksanaan uapacara-upacara dan perayaan-perayaan keagamaan yang dirasa tepat dan layak untuk membangkitkan karakter bangsa.
2.               Campuran Pemerintahan terhadap Agama                                         Antara tahun 701, ketika undang-undang negeri Jepang untuk pertama kalinya dikodifikasikan, sampai dengan tahun 1945, saat berakhirnya Perang dunia II, prinsip dasar kebijaksanaan pemerintahdalam bidang agama adlah pengawasan dan pengarahan semua organisasi-organisasi agama menurut keinginan dan selera pemerintah.kemudain lembaga-lembaga keagamaan yang diakui pemerintah, memeperoleh bantuan dan dukungan ; tetapi yang  tidak diakui, tidak memiliki kebebasan dalam menyiarkan ajaran-ajarannya dan tidak memperoleh bantuan apapun
3.               Militerisme dalam agama
Antara tahn 1931 sampai 1945 bangsa Jepang dapt dikatakan berada dalam suasana perang. Segala usaha pemerintah dalam mengatur dan mengawasi semua agama pad adasarnya hanya merupakan usaha-usahapendahuluan dalam rangka mencapai tujuan yang lebih jauh yang dimuali dengan peperangan melawan Inggris dan amerika. Lebih-lebih selama tahun 1941 sampai 1945 agama dapat dikatakan benar-benar menjadi budak pemerintahan.[37]
Karena secara geografis terletak pada ujung jalur sutra, Jepang bisa menyimpan banyak aspek agama Buddha ketika agama ini mulai hilang dari India dan selanjutnya di Asia Tengah serta Tiongkok.
Buddha Zen merupakan suatu sekte yang sangat berpengaruh di negara tersebut. Membicarakan tentang Buddha di Jepang umumnya selalu merujuk kepada sekte Buddha Zen. Demikian juga halnya dengan budaya yang sama sekali tidak bisa dipisahkan dari peran Buddha Zen.
Kuil Buddha di negara ini selain berfungsi sebagai tempat ibadah juga berfungsi sebagai tempat wisata. Untuk kuil tertentu yang bernilai historis tinggi dan banyak dikunjungi oleh wisatawan, setiap pengunjung dikenakan tiket masuk, dan aturan ini berlaku tanpa perkecualian. Jadi, baik yang datang untuk tujuan berdoa ataupun tidak sama saja.
Wisatawan yang dimaksud kebanyakan adalah orang Jepang sendiri dan sebagian besar dari mereka akan menyempatkan diri untuk berdoa. Bangunan kuil di Jepang umumnya sangat indah dan sebagian besar terbuat sepenuhnya dari kayu dan sudah berumur ratusan tahun. Untuk para rahib, mereka diharuskan menjalani meditasi dan berbagai pantangan yang sangat ketat. Umumnya para rahib Buddha makan hanya dua kali sehari. Jadi jam makan, tidur dan juga bangun diatur dengan sangat ketat. Berjalan juga dianggap sebagai bagian dari meditasi atau etika sehingga cara berjalan pun harus dipelajari, misalnya berjalan dengan tidak menimbulkan suara berisik.
Walaupun kehidupan masyarakat Jepang sudah sangat modern, banyak dipengaruhi dari dunia luar, akan tetapi tradisi keagamaan dan budaya mereka tetap eksis, hal ini karena masyarakt Jepang selalu menjaga warisan dari para leluhur mereka.[38]
Aliran-alirannya :
-          Aliran Amadisme
Aliran ini (Amida atau Tanah Suci) mengengemukakan suatu ajaran keselamatan yang dalam istilah-istilah sederna, yaitu: percaya kepada Buddha secara mutlak. dan dengan menyebut Amida orang akan memperoleh keselamatan. Aliran ini mendapat banyak pengikut di kalanagan petani dan menjadi agama messianic pada saat terjadi kemelut social. Dan objek pemujaan aliran ini adalah patung Amida Buddha, yang dilengkapi dengan patung bodhisatwa Kwan On yang melambangkan kemurahan dan pating Daiseishi sebagai lambing lambing kebijaksanaan.[39]
Benih faham Amidaisme sebenarnya sudah terdapat dalamajaran Saicho di abad yang ke-9, tetapi pada waktu itu faham tersebut belum tersebarluaskan. Amidaisme timbul di India di bawah pengaruh Hinduisme, dan memasuki Cina pada abad yang ke-2 (dua) serta dibawake Jepang pada pada abad ke-enam. Pada awal abad keduabelas fase tersebut memperoleh bentuk yang jelas dan berkembang menjadi aliran agama Buddha yang berpengaruh di Jepang melaui tokoh-tokohnya Ryonin (1072-1132) dan Shinran (1173-1262).
Ajaran yang dikemukakan oleh Amidisme Jepang memiliki dayatarik yang cukup besar karena mengemukakan suatu ajaran keselamatan (soterio-logi) dalam istilah-istilah yang sederhana dan mudah dicerna oleh rakyat umum. Oleh karena itu Amidaisme cepat berkembang di kalanagan masyarakat, dan sering disebut dengan jalan yang mudah terutama karena hanya menuntutsatu hal dari pada pengikutnya, yaitu kepercayaan yang mutlak terhadap Amidah Buddha. Kelahiran kembali di Negeri Suci dapat diperoleh oleh semua orang percaya dan memuja kepada Amida Buddha meskipun hanya dalam bentuk yang sederhana. Ajaran keselamatan semacam ini sangat menarik rakyat banyak yang tidak mempunyai cukup waktu untuk memahami ajaran-ajaran agama yang sulit dan rumit seperti yang pernah diajarkan oleh sekte-sekte agam Buddha sebelumnya.
Objek  utama pemujaan yang dilakukan dalam tempat-tempat suci aliran ini adalah berupa patung Amida Buddha yang biasanya dilengkapi pila dengan patung Bodhisattva Kwannon, yang melambangkan kemurahan, dan patung Bodhisattva Daisseishi, yang melambangkan kebijaksanaan. Ajaran—ajarannya didasarkan pada “tiga kitab sutra negeri suci” yaitu Sutra tentang Buddha Kehidupan Abadi, Sutra tentang Meditasi terhadap Buddha Kehidupan Abadi dan Sutra Amida Buddha. Unsur utama dalam peribadatannya adalah penggunaan nembutsu yaitu penyebutan nama Buddha atau pemujaan terhadap Budha.
Ada tiga sekte utama yang bergabung dalam Amidaisme yaitu :
a.                     Sekte Yuzu Nembutsu
b.                    Sekte Jodo
c.                     Jodo Shin[40]
-          Zen                                         
Aliran Ch’an atau Zen masuk ke Jepang kira-kira tahun 1200, ada yang mengatakan kira-kira abad ke-6 M. aliran ini mempunyai jalur asal muasal dari ajaran Boddhidarma di Cina, dimana aliran ini mempunyai tujuan untuk memidahkan pikiran Buddha secara langsung ke dalam pikiran para pemeluknya dan mengajarkan bahwa pencerahan hanya dapat diperoleh melalui pemikiran yang intuitif. Oleh karena itu aliran ini lebih menekankan pada displin dalam melakukan samadi untuk mencapai pencerahan, dan menolak doa-doa atau kepercayaan terhadap adanya juru selamat.
Aliran ini terbagi menjadi dua golongan besar yaitu: Soto Zen, dengan tokohnya yang bernama Dogen( (19 January 1200 - 22 September 1253) yang merupakan seorang guru Zen termasyur di Jepang. Tokoh ini pernah lama belajar dan memperdalam ilmunya di negeri China.
Peninggalan salah satu kuil Zen yang sangat terkenal yaitu Eiheiji Temple di Perfecture Fukui, dimana disitu terlihat  jelas refleksi dari ajaran Zen tersebut... Dan yang kedua aliran Rinzai dengan tokohnya yang bernama Eisai. Aliran yang tersebut akhirnya berkembang di kalangan militer dan aristocrat serta menjadi tulang punngung kelas penguasa dan militer. Sementara yang pertama yaitu aliran Soto Zen  itu lebih banyak dianut oleh kalangan para petani dan bergerak dalam kegiatan social, yang memiliki perguruan tinggi dan sekolah-sekolah yang cukup banyak.[41]
Seperti halnya agama Buddha, aliran Zen sebenarnya adalah produk India yang dilahirkan di tengah-tengah kesunyian hutan-hutan di India. Bagi orang India, meditasi di tengah-tengah kesunyian hutan itu adalah merupakan cara yang mudah dan menyenagkan agar dapat memperoleh pengertian yang benar. Dan kata Zen sendiri sebenarnya sama artinya dengan kata Dhyana dalam bahasa Sansekerta, yang berarti “perenungan yang tenang” atau “kegiatan merenung”
Aliran Zen sudah memasuki Cina padaabad keenam dan sudah dikenal di Jepang pada masa Nara. Tetapi baru pada tahun 1191 ajarannya menjadi dasar dari suatu aliran baru agam Buddha di Jepang, yaitu ketika seorang pendeta Tendai yang bernama Esai (1141-1215) mendirikan sekte Rinzai. Tidak lama sesudah itu, seorang pendeta lain bernama Dogen (1200-1252) mendirikan aliran Zen yang kedua di Jepang yang disebutnya dengan naman sekte Soto Zen. Perbedaanantara kedua selte tersebut ialah, bahwa sekte Rinzai mempergunakan tehnik-tehnik tanya jawab, cerita-cerita sekitar tokoh-tokoh aliran Zen masa lampau, masalah teka-teki, dan lain sebagainnya sebagai alat bantu untuk mendapatakan pencerahan; sementara sekte Soto semata-mata memusatkan fikiran dalam kegiatan meditasi sambil duduk dalam posisi kaki bersilang.[42]
Aliran Zen seringkali disebut dengan “aliran fikiran Buddha” dan sangat berbeda dari aliran-aliran lain yang terdapat di Jepang. Tujuan ke dalam fikiran par apengikutnya, dan mengajarkan bahwa pencerahan hanya dapat diperoleh melalui pemikiran yang intuitip, oleh karena itu doa-doa sucim kepercayaan terhadap adanya seorang juru selamat, dan usaha pribadi untuk memahami arti alam, tidak memperoleh tempat dalam aliran Zen. Menurut aliran ini, ada suatu wujud fundamental yang menjadi dasar dari segala pengalaman dan segala gejala. Orang akan dapat memperoleh pencerahan jika melalui meditasi fikirannya menjadi kosong dan menyerap lam ke dalam dirinya. Hanya setelah demikian ia mampu menguasai segala hal ihwal kehidupannya, membebaskan diri dari segala kemashuran, dan tidak akan merasa sedih menghadapi kesengsaraaan ataupun kesusahan. Oleh karena itu sekte Zen sangat menekankan pada disiplin dan kesungguhan pribadi dalam melakukan meditasi dan kontemplasi untuk mencapai pencerahan.
Sekte Rinzai dan Soto berkembang dalam arah yang berlawanan. Sekte Rinzai memperolah pengikut yang utama dari kalanagan kelas samurai yaitu golongan penguasa, sementara sekte Soto lebih banyak memperolah pengikut dari rakyat jelata. Perkembangan yang berbeda arah ini diunginkan dalam istilah rinzai shogun, soto domin yang berarti “Rinzai untuk penguasa, Soto untuk petani”. Tetapi justru karena hal yang demikian, sekte Zen yang paling aktip dan paling berpengaruh di Jepang. Sekte tersebut menbyelenggarakan berbagai kegiatan penyiaran agama yang cukup luas, memiliki sebuah perguruan tinggi dan beberapa sekolah menengah serta giat dalam bidang sosial.[43]
-              Nichiren Sozu
Sekte ini lahir di Jepang oleh pendirinya Nichiren Sozu Daishonin pada tahun (1222-1282) yang asal mulanya dari sekte Tendai (Jep.) (T’ien-t’ai). Beliau anak dari keluarga nelayan yang miskin, tinggal di desa kecil yang bernama Kominato, Tojo daerah Nagasa propinsi Awa (prefecture Chiba Modern), Ia dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1222.                                         Dia menjadi murid Dozenbo (12 mei 1233) di kuil koyosu-mi-dera yang terletak di atas Gunung Kiyosumi. Dalam ruang Buddha dari kuil itu terdapat ruphang Bodhisattva Kokuzo (Bodhisatva dari angkassa, karena kearifannya seluas angkasa). Dia bernazar di hadapan Bodhisatva ini bahwa kelak dia akan menjadi seorang yang paling bujaksana di Jepang.                                                      Pada usia 15 tahun dia di-upasampada-kan menjadi sramanera. Dengan seijin gurunnya Dozenbo, Nichiren Daishonin (dalam usia 17 tahun ) pergi ke tempat lain untuk pelajaran Buddhism yang lebih dalam. Pertama-tama dia pergi ke Kamakura, hanya 4 bulan, dia belajar disini. Kemudian ia kembali lagi ke Kiyosumi-dera. Selanjutnya ia pergi ke kuil Enryakuji yang terletak di atas gunung Hei, tempat ini di anggap pusat terpenting ilmu pengetahuan Buddhism di Jepang (Tendai: T;ien-t’ai) pada waktu itu selama 12 tahun dia belajar.                                                                               Pada tahun 1253, Nichiren Sozu Daishonin kembali ke kuilnya Kiyosumi-dera. Beliau dalam usia 30 tahun menyatakan hasil dari pelajarannya dan pengalamannya dengan keyakinannya bahwa ‘Sutra Teratai’ (Saddharma Pundarika Sutra, Hokkekyo) dan mantera ‘Nam-myoho-renge-kyo’ merupakan inti sari dari Sutra Taratai. Dan Sutra Teratai adalah jantung dari agama Buddha Shakyamuni di zaman  Mappo (Mo Fa) atau Hari kemudian mrnjadi Hukum.[44]                                           Nichiren Shō Shū yang artinya Sekte Benar Nichiren, Nichiren Sozu ini didirikan pada tahun 1253 oleh pendeta Nikkō, murid pendeta Nichiren. Sekte Nichiren adalah salah satu sekte Buddha yang cukup unik. Keunikannya adalah sekte ini adalah tidak melakukan penyembahan ke arca Buddha seperti yang umum dilakukan pada tradisi Buddha lainya. Sebagai gantinya mereka meletakkan Mandara, tulisarn atau huruf Jepang yang berisikan mantra atau tulisan suci yang dikeramatkan.              Ajarannya Nichiren Sozu ini bertujuan mengembalikan agama Buddha kepada bentuknya yang murni yang akan dijadikannya dasar bagi perbaikan masyarakat Jepang, dan menolak  ritualisme dan simentalisme aliran Tanah Suci, melawan semua kesalahan, agresif, patriotis tetapi eksklusif.                                                                           Selain ketiga aliran besar di atas, pada abad ke-14 muncul aliran keagamaan yang bercorak Shinto yang di padukan dengan agama Buddha dan Konfusianisme dengan nama Yosidha Shinto.           Menurut aliran ini, agama Buddha dapat di anggap sebagai bunga dan buah dari semua dharma di ala mini, Konfusianisme sebagai cabang rantingnya, dan agama Shinto sebagai akar dan batangnya.
Pada masa Tokugawe yang dikenal sebagai masa kedamaian di Jepang, agama Buddha dijadikan agama resmi Negara, sekalipun pemikiran keagamaan tidak berkembang sebagaimana pada abad-abad sebelumnya. Pada masa itu pemerintah juga mengatur kehidupan keagamaan dan menggunakannya untuk memelihara tata tertib social dan kehidupan spiritual bangsa.
Namun keadaan tersebut ternyata menyebabkan rakyat menjadi kurang senang terhadap para penguasa dan mendorong timbulnya aliran-aliran baru dalam agama asli Jepang yang berusaha untuk mengembalikan masyarakat Jepang kepada kepercayaan asli mereka yaitu agama Shinto.
Dan perkembangan terakhir menunjukkan bahwa setelah kekeshogunan dihapus pada tahun 1868 M, agama Buddha mulai kehilanagan sumber keuangan dan prestasinya. Namun dalam keluwesannya agama tersebut dapat mengatasi kesulitan yang dihadapinya dan menyusun diri sebagai lembaga agama yang bebas dari Negara.[45]
Nichiren (1222-1282) adalah seorang tokoh utama dalam sejarah Jepang yang giat dalam usaha pembaharuan sosial. Sama seperti halnya para pendiri aliran Amidaisme dan Zen Buddhisme, ia mula-mula mempelajari agama Buddha melalui ajran-ajaran sekte Tendai. Dari hasil studinnya itu, ia menyadari bahwa agama Buddha sudah terpecah-pecah dan diperlemah oleh munculnya beraneka ragam sekte, dan oleh keinginan-keinginan duniawi para pendeta agama Buddha.
Ia beranggapan bahwa semua seke-sekte itu telah menyikpang dari ajaran sakyamuni yang asli.oleh karena itu tujuan utama Nichiren adalah   untuk mengembalikan perbaikan kepada bentuknya yang murni yang akan dijadikan dasar perbaikan masyarakat.
Nichiren berkeyakinan bahwa Buddha yang murnihanya terdapat dalam Lotus Sutra yang ditulis beberapa abad sesudah masa sakyamuni. Kitan Lotus sutra kemudian dijadikan kitab utama yang menjadi dasar ajaran yang dikemukakannya. Pada tahun 1253 ia mulai aktif menyebarluaskan fahamnya, dan para pengikutnya kemudian bergabung dalam sebuah sekte yang disebut dengan sekte Nichiren. Dan meskipun menghadapi perlawanan dari aliran-aliran agama lainnya dan  mendapat  tekanan pula dari pihak penguasa, namun para pengikutnya cepat bertambah, bahkan lambat laun sekte yang didirikannya menjadi salah satu sekte yang utama dalam kehidupan agama di Jepang.[46]

 IV.            Penutup
Agama Buddha sampai ke Asia sebagai akibat aktivitas kolonialisasi umat Hindu, yang bukan saja mendirikan pusat-pusat perdagangan, tapi juga membawa serta cara pemujaan dan kebudayaan mereka dimana  cara-cara dan gaya-gaya Buddha disesuaikan dengan watak setempat, tanpa mengubah pokok-pokok penting tentang kebijaksanaan dan welas asih.





    V.            Daftar Pustaka :
Ali, Mukti, Agama-agama di Dunia, (Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press,1988.
buddhakkhetta.com, agama Buddha di Korea, (Jakarta : CV. Dewi Kayana, 2009) di poskan 19-05-2013.
Chu ,Zhao du , Tanya Jawab mengenai agama Buddha, { (terj...) Yayasan Karaniya Universal bagi semua, 2007.
Koller,John M., Filsafat Asia, (penerjemah Donatus Sermada
Djam’annuri, Agama Jepang ( Yogyakarta : PT Bagus Arafah, 1981.
Haiwijono, Harun, Agama Hindu dan Buddha,  (Jakarta : PT Bpk Gunung Mulia, 2010.
Suwarto, Buddha Darma Mahayana, (Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995

http://idn.mofat.go.kr/languages/as/idn/about/kehidu/buddha/index.jsp.




[1] Ebook,Alexander berzin, Buddhism and Its Impact on Asia.Asian Monographs, no. 8(Terj….)
[2]Ebook, Upa. Sasanasena Seng Hansen, basic buddhism what Should We Know About Buddhism,(Terj….)

[3]Zhao du Chu, Tanya Jawab mengenai agama Buddha, { (terj...) Yayasan Karaniya Universal bagi semua, 2007} ,h. 127
[4] Zhao du Chu, Tanya Jawab mengenai agama Buddha, { (terj...) Yayasan Karaniya Universal bagi semua, 2007} ,h. 129-130
[5]John M. Koller, Filsafat Asia, (penerjemah Donatus Sermada), h. 293-294
[6] buddhakkhetta.com, agama Buddha di Korea, (Jakarta : CV. Dewi Kayana, 2009) di poskan 19-05-2013
[7]http://id.wikipedia.org/wiki/Goguryeo
[9]http://andripradinata.blogspot.com/2012/05/era-dinati-di-korea.html
[10]http://fannyturner.blogspot.com/2011/11/kerajaan-baekje-kerajaan-korea.html
[11]http://fannyturner.blogspot.com/2011/11/kerajaan-baekje-kerajaan-korea.html
[12]http://andripradinata.blogspot.com/2012/05/era-dinati-di-korea.html
[14]http://idn.mofat.go.kr/languages/as/idn/about/kehidu/buddha/index.jsp


[15]  buddhakkhetta.com, agama Buddha di Korea, (Jakarta : CV. Dewi Kayana, 2009) di poskan 19-05-2013
[16][16]  buddhakkhetta.com, agama Buddha di Korea, (Jakarta : CV. Dewi Kayana, 2009) di poskan 19-05-2013

[17]Mukti Ali, Agama-agama di Dunia, (Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press,1988), h.142-143
[18]Ibid. H. 143
[19] Mukti Ali, Agama di dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Prres, 1988), h. 144
[20]Ibid,  h. 144
[21][21]  buddhakkhetta.com, agama Buddha di Korea, (Jakarta : CV. Dewi Kayana, 2009) di poskan 19-05-2013

[22] Mukti Ali, Agama-agama Di DUnia, (Yogyakarta : IAIN Sunana Kalijaga Press, 1988),  h. 140
[23] Harun hadiwijono,Agama Hindu dan Buddha,  (Jakarta : PT Bpk Gunung Mulia, 2010), h.98
[24]Mukti  Ali, Agama di dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press), h.144
[25] Djam’annuri, Agama Jepang ( Yogyakarta : PT Bagus Arafah, 1981,), h 23
[26]John Koller, Filsafat Asia, (terj...,) h. 294
[27]Djam’annuri, Agama Jepang ( Yogyakarta : PT Bagus Arafah, 1981,), h.10
[28] Djam’annuri, Agama Jepang ( Yogyakarta : PT Bagus Arafah, 1981,) h.11
[29]Djam’annuri, Agama Jepang ( Yogyakarta : PT Bagus Arafah, 1981,) h.22-23
[30] Djam’annuri, Agama Jepang ( Yogyakarta : PT Bagus Arafah, 1981,) h. 24
[31] buddhakkhetta.com, agama Buddha di Korea, (Jakarta : CV. Dewi Kayana, 2009) di poskan 19-05-2013
[32] Djam’annuri, Agama Jepang ( Yogyakarta : PT Bagus Arafah, 1981,), h 11
[33] Djam’annuri, Agama Jepang ( Yogyakarta : PT Bagus Arafah, 1981,) h.28-29
[34] buddhakkhetta.com, agama Buddha di Korea, (Jakarta : CV. Dewi Kayana, 2009) di poskan 19-05-2013

[35] Djam’annuri, Agama Jepang ( Yogyakarta : PT Bagus Arafah, 1981,) h.36-38
[36] Djam’annuri, Agama Jepang ( Yogyakarta : PT Bagus Arafah, 1981,) h.39
[37]Djam’annuri, Agama Jepang ( Yogyakarta : PT Bagus Arafah, 1981,) h.240-46
[38]http://buddhisme03.blogspot.com/2012/05/agama-buddha-di-jepang-dan-korea.html
[39]Mukti  Ali, Agama di dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press), h. 143-144
[40]Ibid. H. 29-30
[41] Mukti  Ali, Agama di dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press), h.144
[42]Ibid. H.33
[43]Ibid. H. 34
[44]Suwarto, Buddha Darma Mahayana, (Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), h.520-521
[45] Ali Mukti, Agama-agama di dunia, (Yogyakarta :IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h140-142
[46]Djam’annuri, Agama Jepang ( Yogyakarta : PT Bagus Arafah, 1981,) h.34-35

0 comments:

Post a Comment