Saturday, June 8, 2013

Konsep Nibbana


Oleh: Fitri Astuti
Perbandingan Agama-B
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2013



A.  Pengantar

“Nibbana adalah berkah yang paling tinggi”
Pemahaman kita tentang Nibbana sulit kita dapatkan dari hanya membaca buku-buku saja. Nibbana bukanlah sebuah subyek untuk dimengerti oleh orang yang pandai saja, ini adalah suatu keadaan diluar keduniawian.
Nibbana yang hanya berdasarkan intelektual adalah mustahil. Kerena hal ini bukan suatu masalah yang dicapai berdasarkan pemikiran yang logis. Kata-kata Sang Buddha memang masuk diakal, tetapi Nibbana yang merupakan tujuan terakhir agama Buddha berada diluar jangkauan logika. Meskipun demikian, dengan membayangkan segi positif dan negatif dari kehidupan, kesimpulan yang logis timbul dalam pertentangan suatu keadaan kehidupan yang luar biasa, pasti ada suatu keadaan tanpa penderitaan, tanpa kematian, tanpa kondisi.

B.     Pengertian Nibbana
Nibbana adalah sebutan bahasa Pali dan Nirvana adalah bahasa Sansekerta.[1] Nibbana terdiri dari kata Ni yang artinya padam dan Vana berarti Jalinan atau Keinginan. Keinginan ini bertindak sebagai suatu tali yang menghubungkan suatu kehidupan dengan kehidupan yang lain. Nibbana juga diterangkan sebagai pemadam api nafsu keinginan (Lobha), kebencian (Dosa), dan khayalan (Moha).
Selama seseorang terikat dengan Keinginan atau Kemelekatan orang tersebut menimbun kegiatan Kamma[2] baru yang pesti terwujud dalam bentuk seseorang atau bentuk yang lain dalam lingkaran kelahiran dan kematian yang terus menerus. Bila semua bentuk keinginan dibasmi, daya kemampuan Kamma berhenti bekerja, dan seseorang mencapai Nibbana, terlepas dari lingkaran kelahiran dan kematian.[3]
            Nibbana disini bukanlah suatu ketiadaan, melainkan seseorang yang tidak dapat merasakan dengan panca indranya. Hal itu sama saja dengan menyimpulkan bahwa cahaya tidak ada karena orang buta tidak melihatnya.
            Jika Nibbana merupakan sebuah ketiadaan, Nibbana harus benar-benar sama dengan ruang (Akasa). Baik ruang maupun Nibbana adalah abadi dan tidak berubah. Ruang abadi karena tidak ada apa-apa di dalamnya. Nibbana tidak berruang dan tanpa batas waktu. Oleh karena itu Nibbana umat Buddha bukan suatu ketiadaan maupun bukan suatu penghentian belaka.[4]
            Nibbana dapat dicapai didalam hidup sekarang atau dapat pula dicapai setelah mati.[5] Agama Buddha di manapun juga tidak menyatakan bahwa tujuan tertingginya dapat dicapai hanya dalam satu kehidupan  di alam baka. Disinilah terletak perbedaan antara gambaran/konsep Nibbana agama Buddha dengan gambaran suatu surga yang abadi dari non-Buddha yang hanya dapat dicapai setelah kematian. [6]
Nibbana yang dicapai semasa hidup didalam dunia ini, masih mengandung sisa-sisa kelompok kehidupan yang masih ada disebut Sopadisesa Nibbana Dhatu, seperti yang dicapai oleh Buddha Gotama didalam kehidupannya di dunia ini. Meskipun batin Beliau telah bersih dari keinginan (Lobha), kebencian (Dosa), dan khayalan (Moha), sebelum menjadi Buddha, beliau dilahirkan sebagai Siddharta Gotama, maka beliau masih daapat wafat. [7] Kemudian setelah hancurnya tubuh (mati), tanpa suatu sisa dari kehidupan jasmani disebut Anupadisesa Nibbana Dhatu.
Jadi Nibbana itu dibagi atas dua bagian yaitu :
1.      Nibbana yang masih mengandung sisa-sisa kelima kelompok kehidupan yang masih ada dan ini dicapai dalam kehidupan di dunia ini (Sopadisesa Nibbana Dhatu)
2.      Nibbana yang tidak mengandung sisa-sisa kelima kelompok kehidupan, yang dicapai setelah meninggal dunia (Anupadisesa Nibbana Dhatu)
Dalam Itivuttaka Sang Buddha mengatakan :
“O para Bhikku, ada dua unsure Nibbana. Apakah itu ? Unsur Nibbana dengan dasar masih sisa dan yang tanpa dasar.”
“… seorang Bhikku sebagai seorang Arahat, seorang yang telah membasmi kekotoran, yang telah menjalani hidup, melakukan apa yang harus dilakukan, menyisihkan beban, yang telah mencapai tujuannya, yang telah membasmi belenggu kehidupan. Lima organ indranya masih ada, dan oleh karenanya ia mengalami pengalaman-pengalaman yang menyenangkan dan tidak menyenangkan…”[8]
Itulah sisa-sisa kelima kelompok kehidupan yang masih ada.
Dimanakah Nibbana ?
  Di dalam Milinda Panha, Yang Arya Nagasena menjawab pertanyaan :
“Tidak ada tempat di Timur, Selatan, Barat, atau utara, atau alam baka, dimana Nibbana terletak akan tetapi Nibbana itu ada…”
Nibbana, oleh karena itu bukan suatu bentuk surga, dimana suatu yang sukar dipahami berdiri, tetapi suatu Dhamma (suatu pencapaian) yang  mudah dicapai oleh kita semua.
Suatu surga yang kekal, yang menyediakan semua bentuk kesehatan yang diinginkan oleh setiap orang dan tempat seseorang menikmati kebahagiaan dengan sepuas-puasnya, hampir tidak dapat dibayangkan. Sangat tidak mungkin untuk memikirkan suatu tempat seperti itu yang dapat hidup di manapun untuk selama-lamanya.[9]
Perbedaan utama antara konsep umat Buddha tentang Nibbana dan konsep umat Hindu tentang Nirvana (Mukti) terletak pada kenyataan bahwa para umat Buddha memandang tujuan mereka tanpa suatu jiwa yang kekal dan pencipta, sementara umat Hindu percaya pada suatu jiwa yang kekal dan seorang pencipta.
Inilah alasan mengapa agama Buddha tidak dapat disebut Eternalisme (keabadian) atau Nihilisme.[10]
C.    Sifat-Sifat Nibbana
Berlawanan dengan Samsara (perwujudan keberadaan) Nibbana adalah kekal (dhuva), diinginkan (subha), dan bahagia (sukha).
Kekal (dhuva)
Sifat Nibbana adalah Esa dan tidak di ciptakan. Didalam kitab Udana dijelaskan tentang ke-Esa-an Nibbana ini demikian:
Disana oh para siswa, segala sesuatu tidak dilahirkan, tidak ada asal mulanya, tidak terbentuk, tidak diciptakan. Karena itu bilamana disana tidak ada sesuatu yang dilahirkan, tidak ada asal mulanya, karena itu tentu tidak perlu dan tidak mungkin menghindari kelahiran, asal mula dan bentuk pencipta. Karena tidak lagi ada bentuk, dan tidak ada lagi sesuatu yang diciptakan, maka tidak berlu dan tidak mungkin lagi menghindari kelahiran, asal mula dan bentuk Pencipta.[11]
Diiinginkan (subha)
Kehidupan adalah milik manusia yang paling dicintai tetapi ketika ia dihadapkan dengan kesukaran-kesukaran yang tidak dapat diatasi dan beban-beban yang tak tertahankan, lalu hidup itu menjadi suatu beban yang amat berat. Kadang-kadang ia mencoba untuk mencari pembebasan dengan mengakhiri hidupnya, seolah olah bunuh diri dapat menyelesaikan masalah.
Bahagia (sukha)
Kebahagiaan Nibbana harus dibedakan dari kebahagiaan duniawi biasa. Kebahagiaan Nibbana tidak membosankan atau monoton. Ini adalah suatu bentuk kebahagiaan yang tidak pernah membisankan, tidak pernah berubah. Ini muncul dengan menghilangkan nafsu keinginan tidak sama dengan kebahagiaan duniawi yang sementara, yang diakibatkan oleh kepuasan hawa nafsu.
Sang Buddha menyebutkan sepuluh tingkat kebahagiaan yang dimulai dengan kesenangan materi yang kasar yang diakibatkan oleh rangsangan hawa nfsu yang menyenangkan. Seperti seorang naik makin lama makin tinggi di dalam taraf moral, macam kebahagiaan menjadi lebig agung, luhur dan halus, begitu sampai dunia hampir tidak mengenalnya sebagai kebahagiaan. Dalam Jhana pertama seseorang mengalami suatu kebahagiaan yang sukar dipahami, tidak tergantung pada lima panca indra secara mutlak. Kebahagiaan ini disadari dengan menghambat keinginan kesenangan hawa nafsu yang sangat dijunjung. Dalam Jhana keempat, bagaimanapun, bahkan macam kebahagiaan ini dibuang sebagai hal yang kasar dan tidak menguntungkan, dan ketenangan hati dikatakan kebahagiaan.
Dalam istilah yang lazim Sang Budddha menyatakan: “Nibbana adalah kebahagiaan yang paling tinggi.” Ini adalah kebahagiaan yang tertinggi karena ia bukan suatu bentuk kebahagiaan yang dialami oleh alat indra. Ini adalah suatu keadaan positif yang penuh kebahagiaan yang bebas dari penyakit kehidupan.
Kenyataan berhentinya penderitaan adalah biasanya diistilahkan kebahagiaan, walaupun hal ini bukan suatu kata yang tepat untuk menggambarkan sifat yang sesungguhnya. [12]
D.    Jalan Menuju Nibbana
Jalan menuju Nibbana adalah Jalan Tengah (Majjima Patipada) yang menghindari ekstrim penyiksaan diri yang melemahkan kecerdasan dan ekstrim pengumbaran napsu yang menghalangi kemajuan moral. Jalan tengah ini terdiri dari delapan unsur sebagai berikut :
1.      Pengertian benar
2.      Pikiran Benar
3.      Ucapan Benar
4.      Perbuatan Benar
5.      Mata Pencaharian Benar
6.      Usaha Benar
7.      Perhatian Benar
8.      Konsentrasi Benar
Pengertian benar yang merupakan kunci utama agama Buddha. Mengerti dengan benar berarti memahami segala sesuatu sebagaimana adanya, bukan sebagaimana nampaknya. Tingkat minimal Pengertian Benar amat diperlukan pada permulaan karena hal itu memberi motivasi serta arah yang benar kepada tujuh faktor Jalan Utama lainnya. Pada tingkat akhir pelaksanaan pengertian benar masak menjadi kebijaksanaan pandangan terang sempurna ( vipassana panna ), yang langsung membawa kepada tingkat – tingkat kesucian.
Pengertian benar mengakibatkan pemikiran benar . Mempunyai dua tujuan melenyapkan pikiran – pikiran jahat dan mengembangkan pikiran – pikiran baik. Dalam hubungan ini, pikiran benar terdiri dari tiga bagian, yaitu :
·         Nekkhamma ; melepaskan diri dari kesenangan dunia dan sifat mementingkan diri sendiri yang berlawanan dengan kemelekatan, sifat mau menang sendiri.
·         Abyapada ; cinta kasih, itikad baik, atau kelemah – lembutan yang berlawanan dengan kebencian, itikad jahat, atau kemarahan.
·         Avihimsa ; tidak kejam atau kasih sayang, yang berlawanan dengan kekejaman atau kebengisan.
Pikiran benar menimbulkan ucapan benar , faktor ketiga. Ucapan benar mencakup perbuatan untuk menahan diri dari berbohong, memfitnah, berkata kasar dan bicara yang tidak berguna.
Ucapan benar harus diikuti dengan perbuatan benar , yang meliputi perbuatan menahan diri dari pembunuhan makhluk – makhluk hidup, pencurian dan perbuatan – perbuatan kelamin yang salah.
Dengan membersihkan pikiran, ucapan dan perbuatan pada tingkat awal, musafir spiritual berusaha memperbaiki penghidupannya dengan cara menahan diri dari lima macam perdagangan yang terlarang bagi seorang umat Buddha, yaitu : memperdagangkan senjata, manusia, binatang – binatang untuk dibunuh, minuman keras, obat bius dan racun.
Usaha benar , terdiri atas empat macam kegiatan yaitu : usaha melenyapkan kejahatan yang telah timbul, usaha mencegah timbulnya kejahatan yang belum timbul, usaha membangkitkan kebajikan yang belum timbul dan usaha mengembangkan kebajikan yang telah timbul.
Perhatian benar , adalah kesadaran yang terus menerus terhadap jasmani, perasaan – perasaan, pikiran – pikiran, serta obyek – obyek batin. Usaha benar dan perhatian benar menimbulkan konsentrasi benar , yaitu manunggalnya pikiran pada satu obyek yang luhur, yang memuncak dalam Jhana.[13]
Dua yang pertama digolongkan sebagai kebijaksanaan (panna), tiga yang berikutnya sebagai kesusilaan (sila), dan tiga terakhir sebagai konsentrasi (samadhi). Kesusilaan, Konsentrasi dan Kebijaksanaan adalah tiga tahap menuju Jalan Raya Agung yang membimbing menuju ke Nibbana.[14] Menurut urutannya adalah sebagai berikut[15]:
a.      Sila (Tata hidup yang susila dan beradab)
Moral ( sila ) merupakan tingkatan pertama pada jalan yang menuju ke Nibbana ini. Dengan tidak membunuh atau melukai makhluk – makhluk hidup apapun, orang akan memiliki rasa belas kasihan dan cinta kasih terhadap semua makhluk, kepada makhluk yang paling kecil sekalipun yang merayap di bawah kakinya. Dengan menahan diri dari mencuri, ia akan berlaku jujur dalam semua usahanya. Dengan menahan diri dari persetubuhan yang tidak benar yang akan merendahkan derajat manusia, ia akan berlaku saleh. Dengan menahan diri dari ucapan salah, ia akan berbicara benar. Dengan menghindari minuman keras yang mengakibatkan kelalaian, ia akan waspada dan rajin.[16]
Seorang Bhikkhu diharapkan menjalankan empat jenis Kesusilaan yang lebih tinggi, yaitu:
1.      Patimokkha Sila                : Tata tertib moral yang mendasar
2.      Indriyasamvara Sila          :Kesusilaan berkenaan dengan pengendalian indra
3.      Ajivaparisuddhi Sila          : Kesusilaan berkenaan dengan kesucian kehidupan
4.      Paccayasannissita Sila      :Kesusilaan berkenaan dengan penggunaan keperluan-keperluan hidup.
Empat jenis kesusilaan ini secara bersamaan disebut Sila Visuddhi (Kesucian Kebajikan), yang pertama dari tujuh tingkatan Kesucian menuju jalan ke Nibbana.

b.      Samadhi (Pembimbing disiplin mental)
Dengan mendapatkan pijakan yang kuat pada landasan kesusilaan, si calon selanjutnya memulai praktek Samadhi yang lebih tinggi, pengendalian dan perkembangan batin, langkah ke duan dari Jalan Kesucian.
Samadhi berarti terpusatnya pikiran pada suatu hal. Ia merupakan konsentrasi pikiran pada suatu obyek dengan mengeluarkan semua yang lain.
Sebelum mempraktekan Samadhi, calon yang memenuhi syarat harus memberikan pertimbangan yang cermat pada pokok meditasi. Pada zaman dahulu sangat biasa bagi para murid untuk mencari petunjuk dari seorang guru yang mampu, si calon harus menggunakan pertimbangannya sendiri dan memilih satu yang ia piker paling cocok dengan sifat aslinya.
Jika pokok sudah dipilih, ia harus mengundurkan diri ke tempat yang tenang di mana terdapat paling sedikit gangguan. Hutan, gua, atau tempat sunyi lainnya adalah sangat sesua, karena disana kecil kemungkinan bagi seseorang terganggu selama latihan.
Selanjutnya yang harus diputuskan oleh calon adalah waktu yang paling sesuai ketika ia dan sekitarnya berada pada keadaan yang paling memungkinkan untuk latihan.[17]
Si calon yang sedang berusaha untuk mendapatkan pemusatan pikiran harus berusaha untuk mengendalikan pikiran buruk apapun pada saat sedini mungkin.
Setelah memperoleh semua syarat pendahuluan yang diperlukan, calon yang memenuhi syarat mengundurkan diri ke tempat yang sunyi, dan menghimpun keyakinan sampai pada saat kepastian tercapainya tujuan, ia dengan gigih berusaha untuk mengembangkan pemusatan pikiran.
Ketika bermeditasi orang dengan cerdas dapat mengulangi kata-kata dari rumusan, karena mereka berfungsi sebagai pembantu untuk membangkitkan gagasan yang mereka wakili.

c.       Panna (Kebijaksanaan/Kebijaksanaan Luhur)
Panna (Pandangan Terang) adalah langkah ketiga dan terakhir, yang memungkinkan seseorang calon Pencapai Kesucian untuk menghancurkan semua kekotoran yang ditenangkan oleh Samadhi.
              Setelah seseorang mencapai pandangan benar dari sifat sesungguhnya yang disebut makhluk, bebas dari paham suatu jiwa yang kekal, ia mencari sebab dari pribadi, “sang aku”. Ia menyadari bahwa tiada apapun di dunia yang tidak disyarati oleh sebab atau sebab-sebab tertentu, masa lampau atau sekarang, dan keberadaannya saat ini karena ketidaktahuan (avija), nafsu keinginan (tanha), kemelekatan (upadana) yang lalu, Kamma dan makanan jasmani pada saat ini. Karena lima sebab ini apa yang disebut makhluk muncul dank arena sebab-sebab masa lalu telah membentuk keadaan sekarang, jadi keadaan saat ini akan membentuk masa yang akan datan. Dengan bermeditasi, ia mengatasi semua keraguan berkenan dengan masa lalu, saat ini dan yang akan datang.
              Dengan pandangan ini, ia mengamati meditasinya pada tiga cirri utama dari ketidak-kekalan, penderitaan dan ketiadaan jiwa (patisankha nana), dan setelah itu mengembangkan keseimbangan penuh terhadap semua benda bersyarat, tidak mempunyai kemelekatan maupun keengganan terhadap obyek duniawi yang manapun (upekkha nana).
              Dengan mencapai titik perkembangan spiritual ini, ia memilih salah satu dari tiga cirri utama sebagai obyek khusus dari usahanya dan dengan tekun mengembangkan pandangan terang pada arah itu sampai hari yang agung ketika ia untuk pertama kali memahami Nibbana, tujuannya yang tertinggi. Dengan cahaya kilat pandangan terang melihat Nibbana dengan kejernihan seperti itu sehingga gambaran selanjutany tidak pernah lenyap dari batinnya.
              Ketika peziarah ini menyadari Nibbana untuk pertama kali, ia di sebut Sotapanna, ia sudah memasuki arus yang membimbing menuju ke Nibbana untuk pertama kali.
              Dengan semangat baru sebagai hasil dari penglihatan sekilas Nibbana, si peziarah suci membuat kemajuan yang pesat, dan menyempurnakan pandangan terangnya untuk menjadi seorang Sakadagami (Yang hanya kembali satu kali saja), tingkat kesucian yang kedua, dengan melemahkan dua Belenggu lagi yaitu nafsu keinginan indra (kamaraga) dan keinginan jahat (patigha)
              Sekarang ia disebut Ia yang Hanya Kembali Satu Kali Saja karena ia bertumimba lahir hanya satu kali saja dalam manusia seandainya ia tidak dapat mencapai tingkat kesucian Arahat pada kehidupan itu juga. Para mahkluk suci yang telah mencapai tingkat Kesucian ke dua hanya dapat melemahkan dua Belenggu yang kuat itu yang mengikatnya, sejak waktu lampau yang tak terkira.
              Dengan mencapai tingkat Kesucian ke tiga, yaitu Anagami (Yang sudah tidak kembali), ia lengkap menghancurkan dua belenggu tadi. Setelah itu ia tidak kembali di dunia ini maupun alam surgawi lain, karena ia telah mencabut keinginan untuk memuaskan indra. Setelah kematiannya ia bertumimba lahir di Allam Yang Murni, satu lingkungan khusus untuk para Anagami. Disana ia mencapai tingkat Arahat dan hidup sampai akhir hayatnya.
              Para Anagami sekarang membuat kemajuan terakhir dan menghancurkan sisa lima Belenggu yaitu kemelekatan pada alam yang berbentuk, kemelekatan pada alam yang tidak berbentuk (aruparaga), kesombongan (mana), keresahan (uddhacca) dan ketidaktahuan (avijja) mencapai tingkat Arahat, yaitu jenjang terakhir Kesucian.
Sekarang dengan dorongan keberhasilan usahanya yang belum pernah terjadi sebelumnya, maka ia mengusahakan kemajuannya yang paling akhir dan menghancurkan seluruh sisa belenggu batin, yaitu : keinginan akan kelahiran kembali dalam alam – alam bentuk ( rupa – raga ) dan alam – alam tak berbentuk ( arupa – raga ), kesombongan ( mana ), kegelisahan ( unddhacca ), kebodohan ( avijja), dan menjadi seorang suci yang sempurna – Arahat.[18]
              Arahat secara harfiah berarti Yang Berharga, tidak bertumimba lahir lagi karena ia tidak menimbun Kamma baru. Benih pembuahannya sudah dihancurkan semua.
              Seorang Arahat disebut Asekha, yaitu ia yang sudah tidak manjalani latihan, karena ia sudah menjalani Kehidupan Suci dan sudah menyelesaikan sasarannya.[19]
Baik Sila maupun Samadhi amat berguna untuk membersihkan jalan dari rintangan – rintangan, tetapi hanya pandangan terang sajalah yang memungkinkan seseorang melihat segala sesuatu sebagaimana adanya untuk akhirnya mencapai tujuan akhir dengan penghancuran nafsu – nafsu oleh Samadhi. Inilah tingkat ketiga dan terakhir dari Sang Jalan yang menuju ke Nibbana.[20]

E.     Penutup
Nibbana dengan aman dapat disimpulkan, dicapai dengan berhentinya semua kekotoran (kilesa), tetapi keadaan sesungguhnya dari Keadaan Istimewa (Dhamma) ini tidak dapat dijabarkan dengan kata-kata.
Dari sudut metafisika Nibbana merupakan kebebasan sempurna dari penderitaan. Dari sudut psikologi Nibbana adallah pencabutan dari mementingkan diri sendiri. Dari sudut etika Nibbana adalah penghancuran napsu keinginan, kebencian dan ketidaktahuan.[21]







Daftar Pustaka
Narada. Sang Buddha dan Ajaran-Ajarannya. Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama. 1992
Majlis Buddhayana Indonesia. Kebahagian dalam Dhamma. Jakarta: Majlis Buddhayana Indonesia. 1980
http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/nibbana/ diunduh pada tanggal 31 Maret 2013















[1] Majlis Buddhayana Indonesia, Kebahagian dalam Dhamma, (Jakarta: Majlis Buddhayana Indonesia, 1980), h. 134
[2] Kamma secara harfiah berarti perbuatan atau tindakan.
[3] Ven. Narada Mahathera, Sang Buddha dan Ajaran-Ajarannya, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1992), h. 173
[4] Ibid 174-177
[5] Majlis Buddhayana Indonesia, Kebahagian dalam Dhamma, (Jakarta: Majlis Buddhayana Indonesia, 1980), h. 134
[6] Ven. Narada Mahathera, Sang Buddha dan Ajaran-Ajarannya, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1992), h. 178
[7] Majlis Buddhayana Indonesia, Kebahagian dalam Dhamma, (Jakarta: Majlis Buddhayana Indonesia, 1980), h. 134
[8] Ven. Narada Mahathera, Sang Buddha dan Ajaran-Ajarannya, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1992), h. 178-179
[9] Ibid 188
[10] Ibid 189-190
[11] Majlis Buddhayana Indonesia, Kebahagian dalam Dhamma, (Jakarta: Majlis Buddhayana Indonesia, 1980), h. 135

[12] Ven. Narada Mahathera, Sang Buddha dan Ajaran-Ajarannya, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1992), h. 181-186
[13] http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/nibbana/ diunduh pada tanggal 31 Maret 2013
[14] Ibid 191
[15] Majlis Buddhayana Indonesia, Kebahagian dalam Dhamma, (Jakarta: Majlis Buddhayana Indonesia, 1980), h. 136
[16] http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/nibbana/ diunduh pada tanggal 31 Maret 2013
[17] Ven. Narada Mahathera, Sang Buddha dan Ajarannya, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1992), h.200
[18] http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/nibbana/ diunduh pada tanggal 31 Maret 2013
[19] Ven. Narada Mahathera, Sang Buddha dan Ajarannya, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1992), h. 222
[20] http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/nibbana/ diunduh pada tanggal 31 Maret 2013
[21] Ven. Narada Mahathera, Sang Buddha dan Ajarannya, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1992), h. 222

0 comments:

Post a Comment