Oleh: Fitri Astuti
Perbandingan Agama-B
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2013
A. Pengantar
“Nibbana adalah
berkah yang paling tinggi”
Pemahaman kita tentang Nibbana sulit kita dapatkan dari hanya
membaca buku-buku saja. Nibbana bukanlah sebuah subyek untuk dimengerti oleh
orang yang pandai saja, ini adalah suatu keadaan diluar keduniawian.
Nibbana yang hanya berdasarkan intelektual adalah mustahil. Kerena
hal ini bukan suatu masalah yang dicapai berdasarkan pemikiran yang logis.
Kata-kata Sang Buddha memang masuk diakal, tetapi Nibbana yang merupakan tujuan
terakhir agama Buddha berada diluar jangkauan logika. Meskipun demikian, dengan
membayangkan segi positif dan negatif dari kehidupan, kesimpulan yang logis
timbul dalam pertentangan suatu keadaan kehidupan yang luar biasa, pasti ada
suatu keadaan tanpa penderitaan, tanpa kematian, tanpa kondisi.
B.
Pengertian
Nibbana
Nibbana adalah sebutan bahasa Pali dan Nirvana adalah bahasa
Sansekerta.[1]
Nibbana terdiri dari kata Ni yang artinya padam dan Vana berarti
Jalinan atau Keinginan. Keinginan ini bertindak sebagai suatu tali yang
menghubungkan suatu kehidupan dengan kehidupan yang lain. Nibbana juga
diterangkan sebagai pemadam api nafsu keinginan (Lobha), kebencian (Dosa), dan
khayalan (Moha).
Selama seseorang terikat dengan Keinginan atau Kemelekatan orang
tersebut menimbun kegiatan Kamma[2]
baru yang pesti terwujud dalam bentuk seseorang atau bentuk yang lain dalam
lingkaran kelahiran dan kematian yang terus menerus. Bila semua bentuk
keinginan dibasmi, daya kemampuan Kamma berhenti bekerja, dan seseorang
mencapai Nibbana, terlepas dari lingkaran kelahiran dan kematian.[3]
Nibbana disini
bukanlah suatu ketiadaan, melainkan seseorang yang tidak dapat merasakan dengan
panca indranya. Hal itu sama saja dengan menyimpulkan bahwa cahaya tidak ada
karena orang buta tidak melihatnya.
Jika Nibbana
merupakan sebuah ketiadaan, Nibbana harus benar-benar sama dengan ruang (Akasa).
Baik ruang maupun Nibbana adalah abadi dan tidak berubah. Ruang abadi karena
tidak ada apa-apa di dalamnya. Nibbana tidak berruang dan tanpa batas waktu. Oleh
karena itu Nibbana umat Buddha bukan suatu ketiadaan maupun bukan suatu penghentian
belaka.[4]
Nibbana dapat
dicapai didalam hidup sekarang atau dapat pula dicapai setelah mati.[5]
Agama Buddha di manapun juga tidak menyatakan bahwa tujuan tertingginya dapat
dicapai hanya dalam satu kehidupan di
alam baka. Disinilah terletak perbedaan antara gambaran/konsep Nibbana agama
Buddha dengan gambaran suatu surga yang abadi dari non-Buddha yang hanya dapat
dicapai setelah kematian. [6]
Nibbana yang dicapai semasa hidup didalam dunia ini, masih
mengandung sisa-sisa kelompok kehidupan yang masih ada disebut Sopadisesa
Nibbana Dhatu, seperti yang dicapai oleh Buddha Gotama didalam kehidupannya
di dunia ini. Meskipun batin Beliau telah bersih dari keinginan (Lobha),
kebencian (Dosa), dan khayalan (Moha), sebelum menjadi Buddha, beliau
dilahirkan sebagai Siddharta Gotama, maka beliau masih daapat wafat. [7]
Kemudian setelah hancurnya tubuh (mati), tanpa suatu sisa dari kehidupan
jasmani disebut Anupadisesa Nibbana Dhatu.
Jadi Nibbana itu dibagi atas dua bagian yaitu :
1.
Nibbana yang
masih mengandung sisa-sisa kelima kelompok kehidupan yang masih ada dan ini
dicapai dalam kehidupan di dunia ini (Sopadisesa Nibbana Dhatu)
2.
Nibbana yang
tidak mengandung sisa-sisa kelima kelompok kehidupan, yang dicapai setelah
meninggal dunia (Anupadisesa Nibbana Dhatu)
Dalam Itivuttaka Sang Buddha mengatakan :
“O para Bhikku,
ada dua unsure Nibbana. Apakah itu ? Unsur Nibbana dengan dasar masih sisa dan
yang tanpa dasar.”
“… seorang
Bhikku sebagai seorang Arahat, seorang yang telah membasmi kekotoran, yang
telah menjalani hidup, melakukan apa yang harus dilakukan, menyisihkan beban,
yang telah mencapai tujuannya, yang telah membasmi belenggu kehidupan. Lima
organ indranya masih ada, dan oleh karenanya ia mengalami pengalaman-pengalaman
yang menyenangkan dan tidak menyenangkan…”[8]
Itulah sisa-sisa kelima kelompok kehidupan yang masih ada.
Dimanakah Nibbana ?
Di dalam Milinda Panha, Yang Arya Nagasena menjawab
pertanyaan :
“Tidak
ada tempat di Timur, Selatan, Barat, atau utara, atau alam baka, dimana Nibbana
terletak akan tetapi Nibbana itu ada…”
Nibbana, oleh karena itu bukan suatu bentuk surga, dimana suatu
yang sukar dipahami berdiri, tetapi suatu Dhamma (suatu pencapaian) yang mudah dicapai oleh kita semua.
Suatu surga yang kekal, yang menyediakan semua bentuk kesehatan
yang diinginkan oleh setiap orang dan tempat seseorang menikmati kebahagiaan
dengan sepuas-puasnya, hampir tidak dapat dibayangkan. Sangat tidak mungkin
untuk memikirkan suatu tempat seperti itu yang dapat hidup di manapun untuk
selama-lamanya.[9]
Perbedaan utama antara konsep umat Buddha tentang Nibbana dan
konsep umat Hindu tentang Nirvana (Mukti) terletak pada kenyataan bahwa para
umat Buddha memandang tujuan mereka tanpa suatu jiwa yang kekal dan pencipta,
sementara umat Hindu percaya pada suatu jiwa yang kekal dan seorang pencipta.
Inilah alasan mengapa agama Buddha tidak dapat disebut Eternalisme
(keabadian) atau Nihilisme.[10]
C.
Sifat-Sifat
Nibbana
Berlawanan dengan Samsara (perwujudan keberadaan) Nibbana
adalah kekal (dhuva), diinginkan (subha), dan bahagia (sukha).
Kekal (dhuva)
Sifat Nibbana adalah Esa dan tidak di ciptakan. Didalam kitab Udana
dijelaskan tentang ke-Esa-an Nibbana ini demikian:
“Disana oh para siswa, segala
sesuatu tidak dilahirkan, tidak ada asal mulanya, tidak terbentuk, tidak
diciptakan. Karena itu bilamana disana tidak ada sesuatu yang dilahirkan, tidak
ada asal mulanya, karena itu tentu tidak perlu dan tidak mungkin menghindari
kelahiran, asal mula dan bentuk pencipta. Karena tidak lagi ada bentuk, dan
tidak ada lagi sesuatu yang diciptakan, maka tidak berlu dan tidak mungkin lagi
menghindari kelahiran, asal mula dan bentuk Pencipta.[11]
Diiinginkan (subha)
Kehidupan adalah milik manusia yang paling dicintai tetapi ketika
ia dihadapkan dengan kesukaran-kesukaran yang tidak dapat diatasi dan
beban-beban yang tak tertahankan, lalu hidup itu menjadi suatu beban yang amat
berat. Kadang-kadang ia mencoba untuk mencari pembebasan dengan mengakhiri
hidupnya, seolah olah bunuh diri dapat menyelesaikan masalah.
Bahagia (sukha)
Kebahagiaan Nibbana harus dibedakan dari kebahagiaan duniawi biasa.
Kebahagiaan Nibbana tidak membosankan atau monoton. Ini adalah suatu bentuk
kebahagiaan yang tidak pernah membisankan, tidak pernah berubah. Ini muncul
dengan menghilangkan nafsu keinginan tidak sama dengan kebahagiaan duniawi yang
sementara, yang diakibatkan oleh kepuasan hawa nafsu.
Sang Buddha menyebutkan sepuluh tingkat kebahagiaan yang dimulai
dengan kesenangan materi yang kasar yang diakibatkan oleh rangsangan hawa nfsu
yang menyenangkan. Seperti seorang naik makin lama makin tinggi di dalam taraf
moral, macam kebahagiaan menjadi lebig agung, luhur dan halus, begitu sampai
dunia hampir tidak mengenalnya sebagai kebahagiaan. Dalam Jhana pertama
seseorang mengalami suatu kebahagiaan yang sukar dipahami, tidak tergantung
pada lima panca indra secara mutlak. Kebahagiaan ini disadari dengan menghambat
keinginan kesenangan hawa nafsu yang sangat dijunjung. Dalam Jhana keempat,
bagaimanapun, bahkan macam kebahagiaan ini dibuang sebagai hal yang kasar dan
tidak menguntungkan, dan ketenangan hati dikatakan kebahagiaan.
Dalam istilah yang lazim Sang Budddha menyatakan: “Nibbana
adalah kebahagiaan yang paling tinggi.” Ini adalah kebahagiaan yang tertinggi
karena ia bukan suatu bentuk kebahagiaan yang dialami oleh alat indra. Ini
adalah suatu keadaan positif yang penuh kebahagiaan yang bebas dari penyakit
kehidupan.
Kenyataan berhentinya penderitaan adalah biasanya diistilahkan
kebahagiaan, walaupun hal ini bukan suatu kata yang tepat untuk menggambarkan
sifat yang sesungguhnya. [12]
D.
Jalan Menuju
Nibbana
Jalan menuju Nibbana adalah Jalan Tengah (Majjima Patipada)
yang menghindari ekstrim penyiksaan diri yang melemahkan kecerdasan dan ekstrim
pengumbaran napsu yang menghalangi kemajuan moral. Jalan tengah ini terdiri
dari delapan unsur sebagai berikut :
1.
Pengertian
benar
2.
Pikiran Benar
3.
Ucapan Benar
4.
Perbuatan Benar
5.
Mata
Pencaharian Benar
6.
Usaha Benar
7.
Perhatian Benar
8.
Konsentrasi
Benar
Pengertian benar yang merupakan kunci utama agama Buddha.
Mengerti dengan benar berarti memahami segala sesuatu sebagaimana adanya, bukan
sebagaimana nampaknya. Tingkat minimal Pengertian Benar amat diperlukan pada
permulaan karena hal itu memberi motivasi serta arah yang benar kepada tujuh
faktor Jalan Utama lainnya. Pada tingkat akhir pelaksanaan pengertian benar
masak menjadi kebijaksanaan pandangan terang sempurna ( vipassana panna ), yang langsung membawa kepada
tingkat – tingkat kesucian.
Pengertian benar mengakibatkan pemikiran benar . Mempunyai dua tujuan
melenyapkan pikiran – pikiran jahat dan mengembangkan pikiran – pikiran baik.
Dalam hubungan ini, pikiran benar terdiri dari tiga bagian, yaitu :
·
Nekkhamma ; melepaskan diri dari kesenangan dunia dan sifat mementingkan
diri sendiri yang berlawanan dengan kemelekatan, sifat mau menang sendiri.
·
Abyapada ; cinta kasih, itikad baik, atau kelemah – lembutan yang
berlawanan dengan kebencian, itikad jahat, atau kemarahan.
·
Avihimsa ; tidak kejam atau kasih sayang, yang berlawanan dengan
kekejaman atau kebengisan.
Pikiran benar
menimbulkan ucapan
benar ,
faktor ketiga. Ucapan benar mencakup perbuatan untuk menahan diri dari
berbohong, memfitnah, berkata kasar dan bicara yang tidak berguna.
Ucapan benar
harus diikuti dengan perbuatan
benar ,
yang meliputi perbuatan menahan diri dari pembunuhan makhluk – makhluk hidup,
pencurian dan perbuatan – perbuatan kelamin yang salah.
Dengan membersihkan pikiran,
ucapan dan perbuatan pada tingkat awal, musafir spiritual berusaha memperbaiki
penghidupannya dengan cara menahan diri dari lima macam perdagangan yang
terlarang bagi seorang umat Buddha, yaitu : memperdagangkan senjata, manusia,
binatang – binatang untuk dibunuh, minuman keras, obat bius dan racun.
Usaha benar , terdiri atas empat macam kegiatan yaitu : usaha melenyapkan
kejahatan yang telah timbul, usaha mencegah timbulnya kejahatan yang belum
timbul, usaha membangkitkan kebajikan yang belum timbul dan usaha mengembangkan
kebajikan yang telah timbul.
Perhatian benar , adalah kesadaran yang terus menerus terhadap jasmani, perasaan
– perasaan, pikiran – pikiran, serta obyek – obyek batin. Usaha benar dan
perhatian benar menimbulkan konsentrasi benar , yaitu manunggalnya pikiran
pada satu obyek yang luhur, yang memuncak dalam Jhana.[13]
Dua yang pertama digolongkan sebagai kebijaksanaan (panna), tiga
yang berikutnya sebagai kesusilaan (sila), dan tiga terakhir sebagai
konsentrasi (samadhi). Kesusilaan, Konsentrasi dan Kebijaksanaan adalah tiga
tahap menuju Jalan Raya Agung yang membimbing menuju ke Nibbana.[14]
Menurut urutannya adalah sebagai berikut[15]:
a.
Sila (Tata
hidup yang susila dan beradab)
Moral ( sila ) merupakan tingkatan pertama
pada jalan yang menuju ke Nibbana ini. Dengan tidak membunuh atau melukai
makhluk – makhluk hidup apapun, orang akan memiliki rasa belas kasihan dan
cinta kasih terhadap semua makhluk, kepada makhluk yang paling kecil sekalipun
yang merayap di bawah kakinya. Dengan menahan diri dari mencuri, ia akan
berlaku jujur dalam semua usahanya. Dengan menahan diri dari persetubuhan yang
tidak benar yang akan merendahkan derajat manusia, ia akan berlaku saleh.
Dengan menahan diri dari ucapan salah, ia akan berbicara benar. Dengan
menghindari minuman keras yang mengakibatkan kelalaian, ia akan waspada dan
rajin.[16]
Seorang Bhikkhu diharapkan menjalankan empat jenis Kesusilaan yang
lebih tinggi, yaitu:
1.
Patimokkha Sila : Tata tertib moral yang mendasar
2.
Indriyasamvara
Sila :Kesusilaan berkenaan dengan pengendalian indra
3.
Ajivaparisuddhi
Sila : Kesusilaan berkenaan dengan kesucian kehidupan
4.
Paccayasannissita
Sila :Kesusilaan berkenaan dengan penggunaan keperluan-keperluan hidup.
Empat jenis kesusilaan ini secara bersamaan disebut Sila
Visuddhi (Kesucian Kebajikan), yang pertama dari tujuh tingkatan Kesucian
menuju jalan ke Nibbana.
b.
Samadhi (Pembimbing
disiplin mental)
Dengan mendapatkan pijakan yang kuat pada landasan kesusilaan, si
calon selanjutnya memulai praktek Samadhi yang lebih tinggi, pengendalian dan
perkembangan batin, langkah ke duan dari Jalan Kesucian.
Samadhi berarti terpusatnya pikiran pada suatu hal. Ia merupakan
konsentrasi pikiran pada suatu obyek dengan mengeluarkan semua yang lain.
Sebelum mempraktekan Samadhi, calon yang memenuhi syarat harus
memberikan pertimbangan yang cermat pada pokok meditasi. Pada zaman dahulu
sangat biasa bagi para murid untuk mencari petunjuk dari seorang guru yang
mampu, si calon harus menggunakan pertimbangannya sendiri dan memilih satu yang
ia piker paling cocok dengan sifat aslinya.
Jika pokok sudah dipilih, ia harus mengundurkan diri ke tempat yang
tenang di mana terdapat paling sedikit gangguan. Hutan, gua, atau tempat sunyi
lainnya adalah sangat sesua, karena disana kecil kemungkinan bagi seseorang
terganggu selama latihan.
Selanjutnya yang harus diputuskan oleh calon adalah waktu yang
paling sesuai ketika ia dan sekitarnya berada pada keadaan yang paling
memungkinkan untuk latihan.[17]
Si calon yang sedang berusaha untuk mendapatkan pemusatan pikiran
harus berusaha untuk mengendalikan pikiran buruk apapun pada saat sedini
mungkin.
Setelah memperoleh semua syarat pendahuluan yang diperlukan, calon
yang memenuhi syarat mengundurkan diri ke tempat yang sunyi, dan menghimpun
keyakinan sampai pada saat kepastian tercapainya tujuan, ia dengan gigih
berusaha untuk mengembangkan pemusatan pikiran.
Ketika bermeditasi orang dengan cerdas dapat mengulangi kata-kata
dari rumusan, karena mereka berfungsi sebagai pembantu untuk membangkitkan
gagasan yang mereka wakili.
c.
Panna (Kebijaksanaan/Kebijaksanaan
Luhur)
Panna (Pandangan Terang) adalah langkah ketiga dan terakhir, yang
memungkinkan seseorang calon Pencapai Kesucian untuk menghancurkan semua kekotoran
yang ditenangkan oleh Samadhi.
Setelah
seseorang mencapai pandangan benar dari sifat sesungguhnya yang disebut
makhluk, bebas dari paham suatu jiwa yang kekal, ia mencari sebab dari pribadi,
“sang aku”. Ia menyadari bahwa tiada apapun di dunia yang tidak disyarati oleh
sebab atau sebab-sebab tertentu, masa lampau atau sekarang, dan keberadaannya
saat ini karena ketidaktahuan (avija), nafsu keinginan (tanha),
kemelekatan (upadana) yang lalu, Kamma dan makanan jasmani pada
saat ini. Karena lima sebab ini apa yang disebut makhluk muncul dank arena
sebab-sebab masa lalu telah membentuk keadaan sekarang, jadi keadaan saat ini
akan membentuk masa yang akan datan. Dengan bermeditasi, ia mengatasi semua
keraguan berkenan dengan masa lalu, saat ini dan yang akan datang.
Dengan pandangan ini, ia mengamati meditasinya pada tiga
cirri utama dari ketidak-kekalan, penderitaan dan ketiadaan jiwa (patisankha
nana), dan setelah itu mengembangkan keseimbangan penuh terhadap semua
benda bersyarat, tidak mempunyai kemelekatan maupun keengganan terhadap obyek
duniawi yang manapun (upekkha nana).
Dengan mencapai
titik perkembangan spiritual ini, ia memilih salah satu dari tiga cirri utama
sebagai obyek khusus dari usahanya dan dengan tekun mengembangkan pandangan terang
pada arah itu sampai hari yang agung ketika ia untuk pertama kali memahami
Nibbana, tujuannya yang tertinggi. Dengan cahaya kilat pandangan terang melihat
Nibbana dengan kejernihan seperti itu sehingga gambaran selanjutany tidak
pernah lenyap dari batinnya.
Ketika peziarah
ini menyadari Nibbana untuk pertama kali, ia di sebut Sotapanna, ia
sudah memasuki arus yang membimbing menuju ke Nibbana untuk pertama kali.
Dengan semangat
baru sebagai hasil dari penglihatan sekilas Nibbana, si peziarah suci membuat
kemajuan yang pesat, dan menyempurnakan pandangan terangnya untuk menjadi
seorang Sakadagami (Yang hanya kembali satu kali saja), tingkat kesucian
yang kedua, dengan melemahkan dua Belenggu lagi yaitu nafsu keinginan indra (kamaraga)
dan keinginan jahat (patigha)
Sekarang ia
disebut Ia yang Hanya Kembali Satu Kali Saja karena ia bertumimba lahir hanya
satu kali saja dalam manusia seandainya ia tidak dapat mencapai tingkat
kesucian Arahat pada kehidupan itu juga. Para mahkluk suci yang telah mencapai
tingkat Kesucian ke dua hanya dapat melemahkan dua Belenggu yang kuat itu yang
mengikatnya, sejak waktu lampau yang tak terkira.
Dengan mencapai
tingkat Kesucian ke tiga, yaitu Anagami (Yang sudah tidak kembali), ia
lengkap menghancurkan dua belenggu tadi. Setelah itu ia tidak kembali di dunia
ini maupun alam surgawi lain, karena ia telah mencabut keinginan untuk
memuaskan indra. Setelah kematiannya ia bertumimba lahir di Allam Yang Murni,
satu lingkungan khusus untuk para Anagami. Disana ia mencapai tingkat
Arahat dan hidup sampai akhir hayatnya.
Para Anagami sekarang
membuat kemajuan terakhir dan menghancurkan sisa lima Belenggu yaitu
kemelekatan pada alam yang berbentuk, kemelekatan pada alam yang tidak
berbentuk (aruparaga), kesombongan (mana), keresahan (uddhacca)
dan ketidaktahuan (avijja) mencapai tingkat Arahat, yaitu jenjang
terakhir Kesucian.
Sekarang dengan dorongan
keberhasilan usahanya yang belum pernah terjadi sebelumnya, maka ia
mengusahakan kemajuannya yang paling akhir dan menghancurkan seluruh sisa
belenggu batin, yaitu : keinginan akan kelahiran kembali dalam alam – alam
bentuk ( rupa –
raga ) dan
alam – alam tak berbentuk ( arupa –
raga ),
kesombongan ( mana ), kegelisahan ( unddhacca ), kebodohan ( avijja), dan menjadi seorang suci
yang sempurna – Arahat.[18]
Arahat secara
harfiah berarti Yang Berharga, tidak bertumimba lahir lagi karena ia tidak
menimbun Kamma baru. Benih pembuahannya sudah dihancurkan semua.
Seorang Arahat
disebut Asekha, yaitu ia yang sudah tidak manjalani latihan, karena ia
sudah menjalani Kehidupan Suci dan sudah menyelesaikan sasarannya.[19]
Baik Sila maupun Samadhi amat berguna untuk membersihkan
jalan dari rintangan – rintangan, tetapi hanya pandangan terang sajalah yang
memungkinkan seseorang melihat segala sesuatu sebagaimana adanya untuk akhirnya
mencapai tujuan akhir dengan penghancuran nafsu – nafsu oleh Samadhi. Inilah
tingkat ketiga dan terakhir dari Sang Jalan yang menuju ke Nibbana.[20]
E.
Penutup
Nibbana dengan aman dapat disimpulkan, dicapai dengan berhentinya
semua kekotoran (kilesa), tetapi keadaan sesungguhnya dari Keadaan
Istimewa (Dhamma) ini tidak dapat dijabarkan dengan kata-kata.
Dari sudut metafisika Nibbana merupakan kebebasan sempurna dari
penderitaan. Dari sudut psikologi Nibbana adallah pencabutan dari mementingkan diri
sendiri. Dari sudut etika Nibbana adalah penghancuran napsu keinginan,
kebencian dan ketidaktahuan.[21]
Daftar Pustaka
Narada. Sang Buddha dan Ajaran-Ajarannya. Jakarta: Yayasan
Dhammadipa Arama. 1992
Majlis Buddhayana Indonesia. Kebahagian dalam Dhamma. Jakarta:
Majlis Buddhayana Indonesia. 1980
http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/nibbana/ diunduh pada
tanggal 31 Maret 2013
[1] Majlis Buddhayana
Indonesia, Kebahagian dalam Dhamma, (Jakarta: Majlis Buddhayana
Indonesia, 1980), h. 134
[2] Kamma secara harfiah
berarti perbuatan atau tindakan.
[3] Ven. Narada Mahathera,
Sang Buddha dan Ajaran-Ajarannya, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama,
1992), h. 173
[4]
Ibid 174-177
[5] Majlis Buddhayana
Indonesia, Kebahagian dalam Dhamma, (Jakarta: Majlis Buddhayana
Indonesia, 1980), h. 134
[6] Ven. Narada Mahathera,
Sang Buddha dan Ajaran-Ajarannya, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama,
1992), h. 178
[7] Majlis Buddhayana
Indonesia, Kebahagian dalam Dhamma, (Jakarta: Majlis Buddhayana
Indonesia, 1980), h. 134
[8] Ven. Narada Mahathera,
Sang Buddha dan Ajaran-Ajarannya, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama,
1992), h. 178-179
[9] Ibid 188
[10] Ibid 189-190
[11] Majlis Buddhayana
Indonesia, Kebahagian dalam Dhamma, (Jakarta: Majlis Buddhayana
Indonesia, 1980), h. 135
[12] Ven. Narada Mahathera,
Sang Buddha dan Ajaran-Ajarannya, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama,
1992), h. 181-186
[13] http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/nibbana/
diunduh pada tanggal 31 Maret 2013
[14] Ibid 191
[15] Majlis Buddhayana
Indonesia, Kebahagian dalam Dhamma, (Jakarta: Majlis Buddhayana
Indonesia, 1980), h. 136
[16] http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/nibbana/
diunduh pada tanggal 31 Maret 2013
[17]
Ven. Narada Mahathera, Sang Buddha dan Ajarannya, (Jakarta: Yayasan
Dhammadipa Arama, 1992), h.200
[18] http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/nibbana/
diunduh pada tanggal 31 Maret 2013
[19] Ven. Narada Mahathera, Sang
Buddha dan Ajarannya, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1992), h. 222
[20] http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/nibbana/
diunduh pada tanggal 31 Maret 2013
[21] Ven. Narada Mahathera, Sang
Buddha dan Ajarannya, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1992), h. 222
0 comments:
Post a Comment