HINAYANA DAN MAHAYANA
Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Buddhisme
Dosen Pembimbing:
Hj. Siti Nadroh, M.Ag
Oleh:
Noviah ( 1111032100045)
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2013
I.
PENDAHULUAN
Agama
Buddha pernah mengalami masa keemasannya di Bumi Nusantara pada masa keprabuan
Sriwijaya di Sumatera, kerajaan kuno Mataram dan Majapahit di Jawa. Pada masa
itu, terdapat Perguruan Tinggi Agama Buddha (Mahayana) yang mempunyai nilai
internasional, yakni di Sumatra dan Jawa.
Dalam
sejarah tercatat beberapa sarjana dari negeriTiongkok dan India datang belajar
bahasa Sansekerta, filsafat dan logika Agama Buddha Mahayana. Mereka yang
belajar kesini adalah; I-Tsing (634-713) dua kali ke Sriwijaya dengan 41 bhiksu
yng mahasiswa, Hui-Ning (antara tahun 664-667) berguru kepada Janabhadra
seorang maha guru Buddhism di Jawa, Atisa (982-1054) dari India datang ke
Palembang belajar logika dan filsafat Agama Buddha Mahayana. Tercatat yang ada
pada waktu itu para bhiksu dan sarjana maupun mahasiswa dari negeri China yang
datang ke bumi Nusantara untuk belajar Agama Buddha Mahayana, tidak ada dari
bumi Nusantara yang datang ke Tiongkok untuk belajar. I-Tsing menyalin dan
menterjemahkan banyak kitab-kitab suci penting Agama Buddha Mahayana dari
bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Mandarin. Menurut memoir dari I-Tsing, apa
yang terdapat di Sriwijaya seperi tata-upacara keagamaan adalah sama seperti
India, dan diperkenalkan dia ke Tiongkok melalui buku-buku terjemahannya yang
dikumpulkan selama dua kali berada di Sriwijaya - Palembang[1].
II.
DUA ALIRAN BESAR DALAM AGAMA BUDDHA
Di dalam Agama Buddha terdapatlah dua aliran besar
yaitu Aliran Selatan/Hinayana/Theravada dan Aliran Utara/Mahayana.
1.
ALIRAN HINAYANA
Hinayana adalah ajaran-ajaran asli dari Buddha Gautama
dan kitab sucinya ialah Tipitaka yang terdiri dari Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka
dan Abhidamma Pitaka.
Di dalam aliran Hinayana tidak ada upacara-upacara
keagamaan yang rumit-rumit dan mereka yag menganut aliran ini masih
mempertahankan kesederhanaannya seperti dahulu di waktu Sang Guru sendiri masih
hidup pada 25 abad yang silam.
Prinsip-prinsip
pandangan dari ajarana Hinayana adalah mempertahankan kemurnian ajaran Buddha
dan menjaga ajaran Buddha tidak terpengaruh oleh kebudayaan lain, oleh
karenanya dipandang orthodox. Pengikut-pengikutnya juga tidak begitu meluas
sebagaimana aliran Mahayana. Kata Hinayana sendiri telah menunjukkan isi dan
cita-cita yang terkandung didalamnya yaitu berarti kendaraan kecil. Maksudnya
bahwa aliran ini tidak dapat menampung banyak orang untuk memperoleh
kebahagiaan nirwana, karena dalam prinsip pandangannya menyatakan bahwa setiap
orang bergantung pada usahanya sendiri dalam mencapai kebahagiaan abadi dengan
tanpa adanya penolong dari dewa ataupun manusia Buddha. Aliran ini disebut juga
“Theravada” yang lebih jelas
menggambarkan pendirian aliran tersebut, karena Theravada berarti “jalan orang-orang tua” [2]
Penganut-penganut Hinayana menitikberatkan meditasi
untuk mencapai peneranga sempurna sebagai jalan yang terpendek untuk menyelami
Dhamma dan mencapai pembebasan, Nibbana. Kita hanya mengenal Dhamma dan Nibbana
sebagai jalan dan tujuan dari hidup kita ini, sedang yang lain-lain itu tidakk
menjadi kebutuhan pokok.
Upacara-upacara keagamaan kurang dianggap penting dan
bahkan upacara-upacara yang berlebih-lebihan hanya menjadikan ikatan-ikatan
yang dapat menghambat kemajuan-kemajuan bathin[3].
Para sarjana-sarjana modern, saat ini banyak yang
mencurahkan perhatiannya pada Agama Buddha dan menyelidiki kebenaran-kebenaran
dari ajaran-ajaran Sang Buddha yang telah disabdakan 25 abad yang lalu.
Agama Buddha tidak bertentangan dengan ilmu
pengetahuan karena kedua-duanya bersumber pada kesunyataan yang ada di dalam
dunia ini. Dengan kemajuan-kemajuan ilmiah yang telah dapat dicapai oleh umat
manusia, maka kita akan lebih yakin lagi akan kebenaran-kebenaran yang telah
diajarkan oleh Sang Buddha kepada kita.
v Ajaran Hinayana
Dalam pokok ajarannya Hinayana mewujudkan suatu
perkembangan yang logis dari dasar-dasar yang terdapat di dalama kitab-kitab
kanonik. Jika ajaran itu di ikhtisarkan secara umum, dapat dirumuskan demikian:
a.
Segala sesuatu
bersifat fana serta hanya berada untuk sesaat saja. Apa yang berada untuk
sesaat saja itu disebut dharma. Oleh
karena itu tidak ada sesuatu yang tetap berada. Tidak ada aku yag berpikir,
sebab yang ada adalah pikiran. Tidak ada aku yang merasa, sebab yang ada adalah
perasaan, demikian seterusnya.
b.
Dharma-dharma
itu adalah kenyataan atau realitas yang kecil dan pendek, yang berkelompok
sebagai sebab dan akibat. Karena pengaliran dharma yang terus menerus maka
timbullah kesadaran aku yang palsu atau ada “perorangan” yang palsu.
c.
Tujuan hidup
ialah mencapai Nirwana, tempat kesadaran ditiadakan. Sebab segala kesadaran
adalah belenggu karena kesadaran tidak lain adalah kesadaran terhadap sesuatu,
namun apakah yang tinggal berada di Nirwana itu, sebenarnya tidak diuraikan
dengan jelas.
d.
Cita-cita
tertinggi ialah menjadi arahat, yaitu
orang yang sudah berhenti keinginannya, ketidaktahuannya, dan sebagainya, dan
oleh karenanya tidak ditaklukkan lagi pada kelahiran kembali[4].
e.
Manusia
dipandang sebagai seorang individu dalam usahanya.
f.
Sebagai kunci
keutamaan manusia ialah kebijaksanaan.
g.
Buddha dipandang
sebagai orang suci.
h.
Membatasi
pengucapan doa pada meditasi.
i.
Meninggalkan
atau menolak hal-hal yang bersifat metafisis.
j.
Meninggalkan
atau menolak melakukan ritus dan rituals (upacara-upacara agama)
k.
Tidak mengenal
dewa-dewa Lokapala (dewa angin) atau Trimurti dan tidak mengenal beryoga atau
tantra (mantra-mantra)[5].
2.
ALIRAN MAHAYANA
Aliram Mahayana, yaitu aliran Hinayana yang
diperbaharui dengan diberi pelajaran-pelajaran ekstra yang dipelopori oleh
Buddhaghosa atau Asvaghosa.
Aliran Buddhisme ini disebut dengan Mahayana karena dapat
menampung sebanyak-banyaknya orang yang ingin masuk Nirwana, hingga diumpamakan
sebagai sebuah “kereta besar” yang memuat penumpang banyak (arti kata Mahayana
adalah kereta/kendaraan besar).
Berbeda dengan Hinayana yang mempertahankan kemurnian
ajaran Buddha yang tidak mengalami perpecahan dalam aliran-aliran, sebaliknya
dalam Mahayana terjadi perpecahan dalam banyak aliran. Makin banyak kebebasan
berfikir dalam agama diberikan, makin besar kecenderungan untuk berpecah belah
dalam bentuk aliran-aliran (sekte-sekte)[6].
Kira-kira antara abad pertama dan kedua masehi, maka
Agama Buddha di India mulai Nampak kelemahannya, disebabkan oleh perubahan
zaman. Perubahan zaman meminta agar Agama Buddha dikurangi kesederhanaannya,
hingga lambat laun bentuknya mendekati bentuk Hinduisme. Anasir-anasir baru
ditambahkan, anasir-anasir yang berwujud Panca Dhyani Buddha dengan Panca
Boddhisattvanya, beberapa dewi umpamanya dewi Tara, dewi Berkuti dan lainnya[7].
Di dalam pandangan-pandangan mengenai Buddha sendiri
terdapat juga perubahan-perubahan yang penting. Bagi agama Buddha yang lama,
Buddha itu tidak lain daripada seorang manusia juga, meskipun seorang guru yang
termulia, yang pada akhirnya sampai pada martabat Arahat dan mencapai
pencerahan Agung. Ia adalah manusia dan tetap manusia.
Di dalam hubungannya dengan mereka yang percaya kepada
ajarannya, Buddha itu tidak lain daripada orang yang telah menunjukkan jalan
dan pada jalan yang ditunjukannya orang harus berjalan.
Di dalam Mahayana, Buddha menjadi suatu makhluk dari
golongan yang lebih tinggi, jauh diatas para manusia. Meskipun ia tidak
diapandang sebagai Allah dalam arti yang sebenarnya, tetapi setidak-tidaknya ia
dianggap mempunyai sifat luar biasa dan ia makin menjadi objek pemujaan dan
penyembahan[8].
Buddha Mahayana memandang diri dia sendiri sebagai
bagian dari tradisi Buddha saat ini dengan mengembangkan Buddha surge dan
Bodhisatva yang berfungsi sebagai dewa untuk membimbing para pengikutnya menuju
jalan keselamatan. Ketika penganut agama Buddha Mahayana melakukan meditasi
atau bersemedi, dia membayangkan bahwa Bodhisatva duduk bersamanya dalam
meditasi tersebut. Pada saat inilah dia dapat mengkonsentrasikan dirinya dalam
melaksanakan meditasi. Konsentrasi dalam meditasi sangat penting, dan tanpa itu
biasanya tujuan meditasi tidak akan terwujud denga baik.
v Ajaran Mahayana
Pokok-pokok ajaran Mahayana secara ringkas
mengajarkan:
a.
Seseorang dalam
mencapai Nirwana tidak egoistismementingkan dirinya sendiri akan tetapi dapat
saling membantu.
b.
Kunci keutamaan
ialah kasih sayang yang disebut “karuna”
c.
Pencapaian
tertinggi adalah Bodhisatva (orang yang telah mencapai ilham sehingga terjamin
untuk masuk Nirwana).
d.
Buddha dipandang
sebagai juru selamat mausia.
e.
Ajarannya
bersifat liberal[9].
Dua kata yang seolah-olah menjadi kunci bagi ajaran
Mahayana adalah Bodhisatva dan Sunyata karena kedua kata itu hamper
terdapat pada tiap halaman tulisan-tulisan Mahayana.
Secara
harfiah Bodhisattva berarti orang
yang hakikat atau tabiatnya adalah bodhi
(hikmat) yang sempurna.
Sebelum Mahayana timbul, pengertian Bodhisattva sudah
dikenal juga, dan dikenakan juga kepada Buddha Gautama, sebelum ia menjadi
Buddha. Di situ Bodhisattva berarti orang yang sedang dalam perjalanan untuk
mencapai hikmat yang sempurna, yaitu orang yag akan menjadi Buddha. Jadi semula
Bodhisattva adalah sebuah gelar bagi tokoh yang ditetapkan untuk menjadi
Buddha. Di dalam Mahayana Bodhisattva adalah orang yang sudah melepaskan diri
dan dapat menemukan sarana untuk menjadikan benih pencerahan tumbuh dan menjadi
masak pada diri orang lain. Seorang Bodhisattva bukan hanya merenungkan
kesengsaraan dunia saja, melainkan juga turut merasakannya dengan berat. Oleh
karenanya ia sudah mengambil keputusan untuk mempergunakan aktivitasnya sekarang
dan kelak untuk keselamatan dunia. Karena kasihnya kepada dunia maka segala
kebajukannya dipergunakan untuk menolong orang lain.
Cita-cita tertinggi di dalam Mahayana adalah untuk
menjadi Bodhisattva. Cita-cita ini
berlainan sekali dengan cita-cita Hinayana, yaitu untuk menjadi arahat. Sebab seorang arahat hanya
memikirkan kelepasan diri sendiri. Cita-cita Mahayana ini juga berlainan sekali
dengan cita-cita untuk menjadi Pratyeka
Buddha, seperti yang diajarkan oleh Hinayana, yaitu bahwa karena usahanya
sendiri orang dapat mencapai pencerahan bagi dirinya sendiri saja, tidak untuk
diberitakan kepada orang lain. Sekalipun karena kebajikannya seorang
Bodhisattva sudah dapat mencapai Nirwana namun ia memilih jalan yang lebih
panjang. Ia belum mau masuk Nirwana, dikarenakan belas kasihnya pada dunia,
agar dunia dlam arti seluas-luasnya (termasuk para dewa dan manusia) bisa
mendapatkan Nirwana yang sesempurna mungkin.
Berkaitan dengan cita-cita tentang Bodhisattva ini, di
dalam aliran Mahayana ada ajaran tentang pariwarta,
yaitu bahwa kebajikan dapat dipergunakan untuk kepentinagn orang lain. Orag
yang mendapatkan pahala karena kebajikannya, dapat mempergunakan pahala itu
untuk kepentingan orang lain. Ajaran ini sudah tentu berlainan sekali dengan
ajaran Agama Buddha kuno, yang mengajarka bahwa hidup seseorang terpisah dari
hidup orang lain.
Di dalam perjalanan hidupnya yang pajang itu seorang
Bodhisattva tidak akan dilahirkan kembali ke dalam tempat penyiksaan atau dalam
keadaan yang tidak menyenangkan di dunia. Demikian juga seorang Bodhisattva
tidak diharuskan menyagkal dunia ini. Ia menerima keadaan hidup seperti apa
adanya. Ia boleh beristri, memiliki kemewahan, dan kekuasaan.
Hal yang kedua, yang memberi cirri Mahayana ialah
ajaran tentang Sunyata, yang artinya
kekosongan.
Kosong (sunyata)
berarti: tidak ada yang mendiaminya. Oleh karena itu sunyata berarti, bahwa
tiada pribadi (yang mendiami orang). Segala sesuatu adalah kosong, oleh
karenanya tidak ada yang dapat diinginkan atau dicari. Bukan hanya dunia yang
kosong, melainkan juga Nirwana bahkan
Dharma juga kosong. Kebenaran yang
tertinggi adalah kosong, oleh karenanya tak dapat dijadikan sasaran kepercayaan. Yang Mutlak tak dapat
dipegang, seandainya ia dapat dipegang, tak dapat dikenalnya, sebab Yang Mutlak
tidak memiliki cirri-ciri yang membedakan denga yang lain.
Di dalam perkembagannya Mahayana mengalami
bermacam-macam pengaruh, diantaranya dari gerakan Bakti dan dari aliran Tantra.
Bakti adalah penyembahan pribadi yang berdasarkan
kasih kepada dewa yang disembah yang digambarkan dalam bentuk manusia. Sejak
abad pertama Masehi, Bakti mempengaruhi Agama Buddha, dan makin lama pengaruh
itu makin kuat. Karena timbulnya unsure penyembahan ini berubahlah keterangan
tentang ajaran mengenai tempat perlindungan orang Buddhis. Di dalam agama Buddha
Hinayana, Triratna, yaitu Buddha, Dharma dan Sangha, menjadi tempat
perlindungan.. akan tetapi di dalam Mahayanatempat perlindungan itu ialah para
Buddha, anak-anak Buddha, atau Bodhisattva dalam arti yang laus dan
Dharmakarya. Demikianlah di dalam Mahayana timbul ajaran tentang banyak Buddha, yang diuraikan secara
mitologis[10].
Ajaran tentang
banyak Buddha ini dijabarkan dari ajaran tentang lima skandha, atau lima
unsure yang menyusun hidup manusia. Semula diajarkan, bahwa manusia terduru
dari lima skandha, yaitu: rupa
(tubuh), wedana (perasaan), samjna (pengamatan), samskara (kehendak, keinginan dsb.), dan
wijnana (kesadaran).ajaran ini
diterapka kepada diri Buddha sendiri. Diajarkan bahwa Buddha juga terdiri dari
lima skadha, dan tiap skandha adalah seorang tokoh Buddha, yang disebut
Tathagana. Kalimat Tathagana itu ialah Wairoscana
(Yang menerangi atau Yang Bersinar), Aksobhya
(Yang Tenang, tak terganggu), Ratnasambhawa
(Yang Dilahirkan dari Permata), Amitabha (Terang
yang kekal), Amoghasiddhi (Keuntungan
yag tak binasa). Para Tathagana ini berbeda sekali keadaanya dengan Buddha yang
biasa. Para Tathagana adalah Buddha senantiasa, tidak pernah menjadi manusia,
sedang Buddha yang biasa menjadi manusia.
Pengaruh Tantra menimbulkan pada Mahayana ajaran
tentang , yaitu Buddha yang pertama,
yang dipandang sudah ada pada mula pertama, yang tanpa asal, yang berada karena
dirinya sendiri, yang tak pernah tampak karena berada di dalam Nirwana.
Hakikat Adhi Buddha adalah terang yang murni. Ia
timbul dari sunyata, kekosongan. Dengan lima macam permenungan (dhayana) sang Adhi Buddha mengalirkan
dari dirinya lima Buddha, yang disebut Dhiyani
Buddha, yaitu: Wairocana, Aksobhya, Ratnasambhawa, Amitabha, dan
amoghasiddhi.
Kesatuan tentang ajaran Buddha yang bermacam-macam itu
didapatkan dalam ajaran tentang tiga
tubuh Buddha (trikaya).
Ketiga tubuh itu adalah: Dharmakaya, Sambhogakaya,
dan Nimanakaya. Dharmakaya adalah
tubuh kebahagiaan, tubuh hakiki, sedang Sambhogakaya adalah penjelmaan sorgawi
Dharmakaya dan Nirmanakaya adalah tubuh penampakan, emanasi (pengaliran),
transformasi atau pemantulan tubuh sorgawi, yaitu tubuh yang tampak pada tiap
manusia Buddha.
Buddha yang berfungsi sebagai dewa pada zaman sekarang
ini adalah Amitabha atau Amida. Ia memerintah di dalam sorganya Sukhawati di sebelah barat. Sebgai
juruselamatnya atau Dhyani Bodhisattvanya adalah Awalokiteswara, sedang Guru atau Utusannya adalah Gautama.
Akhirnya, Nirmanakaya adalah dataran Buddha yang tampak mengalir atau
dipatulkan dari Sambhogakaya. Tubuh ini ditampakan oleh Sakyamuni atau Gautama,
setelah ia menjadi Buddha[11].
III.
SECARA RINGKAS PERBANDINGAN ANTARA HINAYANA DAN
MAHAYANA
A.
Perbandingan
antara Hinayana dan Mahayana
1)
Dalam Hinayana
adalah berdasarkan etika dan sejarah, dalam Mahayana adalah keagamaan dan
metafisika, adalah suatu fase belakangan dari Buddhism.
2)
Dalam Hinayana
kitab sucinya berbahasa Pali dan kemudian campuran Sanskerta, sedang Mahayana
murni dalam bahasa Sanskerta. Kitab suci Hinayana tertulis dalam bahasa Pali
yang dinamakan Tipitaka, sedangkan kitab suci Mahayana tertulis dalam bahasa
Sanskerta yang dinamakan Tripitaka-Mahayana dengan 12 bagiannya, Tripitaka Mahayana
mencakup Tipitaka Hinayana, tetapi Tipitaka Hinayana tidak mencakup Tripitaka
Mahayana.
3)
Hinayana
konsepsinya mengenai non-ego (anatman) yaitu percampuran dari lima unsure
elemen (Panca Skandha), yang terus
berubah (anitya) atau sementara (ksanika).
4)
Dalam Hinayana
pembahasan (Nirvana) ialah bersifat individu tapi haarus dicatat bahwa pada
waktu yang bersamaan itu bukanlah merupakan penghancuran melainkan keadaan
kekal, damai, bahagia dan bauk sekali, sementara dalam Mahayana Nirvana itu
adalah perolehan dari kesempurnaan pengetahuan yaitu Prajnaparamita atau
ke-Buddha-an.
5)
Dalam Hinayana
Nirvana diperoleh dengan pembersihan atau pemberantasan mengenai kekotoran
batin disebabkan oleh ketidaktahuan/kebodohan (avidya), sedangkan Mahayana pembebasannya tidak hanya dengan
pemberantasan mengenai kekotoran batin yang disebabkan oleh
ketidaktahuan/kebodohan tapi juga pembasmian mengenai ketidakjelasan mengenai
ketenangan yang abadi, murni, dan kekal (jneyavarana).
6)
Dalam Hinayana
pengikutnya dikenal sebagai Sravaka, yang mencari ke-Arhat-an pada akhir masa kehidupannyayaitu Nirvana, sedangkan
Mahayana pengikutnya dikenal sebagai Bodhisattva, yang diajarkan untuk
memperoleh Bodhi-pranidhi-citta dan Bodhi-prasthana-citta, yaitu istilah yang pertama dimaksudkan bahwa
mereka harus bernadar dan berkeinginan memperoleh Bodhi dan akhirnya menjadi
Buddha, dan istilah berikutnya ialah dimaksudkan bahwa Bodhisattva harus
memulai mencoba untuk mencapai kesempurnaa melalui Sad-Paramit dan Dasa-Bhumi.
Tujuan Mahayana haruslah merealisasikan kebenaran tertinggi (pramita satya) yang sangat luas dan
mengenai satu rasa seperti lautan dimana semua sungai kehilangan identitas
mereka.
7)
Dalam Hinayana
umat awamnya adalah yang terutama sebagai penunjang Sangha dan memberikan
hadiah makanan, pakaian dan dengan membangun vihara untuk tempat tinggal
bhiksu. Mereka semata-mata pendengar khotbah yang disampaikan bhiksu dan
pengamat 5 atau kadang-kadang 8 sila, sedangkan dalam Mahayana umat awamnya
dicalonkan sebagai Bodhisattva, yang mempunyai tugas seperti telah dijelaskan
diatas.
8)
Menurut
Hinayana, Buddha hanya muncul satu kali dalam satu kalpa, sedang menurut
mahayanasemua makhluk mempunyai sifat dasar atau benih-benih Buddha, secara
tekhnis dikenal sebagai Tathagata-garbha (Rahim
Tathagata), yang merupakan tempat perpaduan kedua-duanya yang baik dan buruk,
dan hanya bilaman yang buruk itu dibasmi secara total, maka ia akan menjadi
Tathagana.
9)
Mahayana,
konsepsi madhyammika dan Yogacara menganggap makhluk dunia dan obyek adalah
tidak kekal, sementara (ksanika),
dank arena itu mereka sebenarnya non-eksistensi (sunya) atau kesadaran murni secara mutlak.
10) Menurut
konsepsi Hinayana menegnai kebenaran tertinggi ialah hanya Pudgala-sunyata, sedang Mahayana kedua-duanya yakni Pudgala-sunyata dan Dharma sunyata.
11) Menurut
Hinayana mengenai 4 tingkatan kesucian atau Jana,
yaitu: Sotapatti, Sakadagami, Anagami, dan arahatta, sedangkan Mahayana
mengenal 10 tingkat atau Dasa-Bhumi (menurut
Bodhisattva-Bhumi ada 12) mulai Bodhisattva melewatinya untuk memiliki pembebasan
sempurna dan menjadi Buddha.
B.
Persamaan antara
Hinayana dan Mahayana
1)
Memusnahkan
kemelekatan, kebencian, dan khayalan ataun ilusi (raga, dvesa, moha).
2)
Dunia tiada
permulaan atau awal (anamaggo-ayam-samsaro)
begitu juga akhir.
3)
Empat
Kesunyataan Mulia atau Kebenaran Utama, dukha,
samudaya, nirodha, marga, dan 8 Jalan Utama.
4)
Semua makhluk
dunia dan obyek adalalah tidak kekal (anatiya),
bersifat sebentar (ksanika) dan di dalam keadaan terus-menerus berubah (Santana), dan tanpa adanya sesuatu
substansi nyata (anatmakam).
5)
Hukum
Sebab-Akibat yang saling bergantungan (pratitya-samutpada)
adalah berlaku secara universal.
C.
Perbedaan antara
Hinayana dan Mahayana
TH.Stcherbatsky,
Ph.D. di dalam bukunya The Conception of Buddhist Nirvana (With Sanskrit Text of
Madhyamaka-Karika), menjelaskan perbedaan antara Hinayana dan Mahayana
secara garis besar sebgai berikut:
1)
Perbedan di
dalam interpretasi mengenai Pratiyasamutpada,
2)
Perbedaan di
dalam konsep mengenai Nirvana,
3)
Perbedaan di dalam
tujuan akhir,
4)
Perbedaan yang
berhubungan dengan usaha untuk pencapaian Nirvana,
5)
Perbedaan yang
berhubungan dengan penghapusan mengenai avaranas atau rintangan,
6)
Perbedaan di
dalam konsep mengenai Dharma,
7)
Perbedaan di
dalam konsep mengenai Buddhology,
8)
Hinayana
intelektual, Mahayana intelektual juga bakti-puja,
9)
Hinayana
pluralistic, Mahayana non-dualistik,
10) Hinayana rasionalistik, Mahayana gaib[12].
IV.
RITUAL DAN PRAKTEK BUDDHA MAHAYAA DAN HINAYANA
1.
Persembahan
Barang dalam Sembahyang
Buddhism Mahayana dlam prakteknya menuntun atau
membimbing umatnya untuk menghayati dan merealisasikan Buddha Dharma dengan dua
cara, yaitu:
a.
Cara sulit,
dengan belajar Dharma dari Sutra-Sutra dan Sastra suci serta meditasi.
b.
Cara praktis (Upaya-Kausalya), dengan cara sembahyang
atau puja-Bakti.
Kedua cara ini maksudnya untuk pengolahan batin supaya
alam spiritual miliknya berkembang secara perlahan-lahan di dalam jalan menuju penerangan
atau pencerahan, makna Ti-Kaya.
Untuk Buddha Mahayana biasanya melakukan persembahan barang dalam
sembahyag di depan altar Buddha atau Bodhisattva atau Tuhan Yang Maha Esa
berupa:
1.
Dupa atau hio,
2.
Lilin merah,
3.
Air minum
mineral,
4.
Bunga-bunga,
5.
Buah
(bermacam-macam buah).
Persembahan barang dalam sembahyang secara lengkap di
atas biasanya dilakukan pada Hari Upavasatha dan dengan makan makanan nabati.
Persembahan barang boleh juga dari sayuran yang dimasak, manisan buah, kacang,
kue, dan lain-lainnya asalkan barangnya bukan dari bahan atau langsung dari
daging atau makhluk bernyawa/hewan ternak. Jangan persembahkan barang berupa
kemenyan, minuman mengandung alcohol, minyak wangi (minyak colognette), rokok
cerutu (lisong).
2.
Makna dari
Barang Persembahan
Agama Buddha merupakan sekteris, tiap jenis barang
persembahan mempunyai makna tersendiri secara filsafat dan keyakinan iman
menurut sekte masing-masing. Secara umum jenis barang persembahan mempunyai
makna, yaitu:
1.
Dupa atau hio:
dengan wangi khasnya guna membersihkan udara dan lingkungan (Dharma-Dhatu),
mengundang langsung secara batin atau hati nurani ke hadapan Hyang Thatagana,
Tuhan Yang Maha Esa, para Buddha, para Bodhisattva Mahasattva, dan para Deva
dan Devi (makhluk halus yang suci).
2.
Lilin merah: lilin
merah yang dinyalakan memberikan penerangan bermakna supaya kita diberikan
penerangan, menerangi jalan kehidupan dan penghidupan diwaktu sekarang, Buddha
Dharma menerangi rohani kita, pikiran kita, secara perlahan-lahan kita dibawa
kejalan penerangan, pencerahan.
3.
Air minum
mineral (air minum yang telah dimasak): persembahan air mempunyai makna agara
pikiran kita, ucapan kita, dan perbuatan kita bersih selalu, membersihkan
kotoran batin atau hati nurani kita. Belajar dari sifat air, supaya kita
bersikap rendah hati bukan rendah diri, sabar tapi mempunyai prinsip untuk
maju, rohani kita atau spiritual kita bertambah maju.
4.
Bunga-bunga:
bunga mekar memberikan harum, melambangkan keindahan dan ketidakkekalan. Harum
bunga yang tercium oleh hidung kita karena terbawa oleh hembusan angin dari
arah yang berlawanan. Angin yang bertiup dari arah timur, harum bunga tercium
oleh kita dari sebelah barat. Harum nama kita keseluruh penjuru tidak terhalang
waktu dan ruang.
5.
Buah: prsembahan
buah mempunyai makna jangan membunuh makhluk hidup.buah boleh dimakan, tapi
bijinya bisa ditanam dan dia akan tumbuh bereksistensi seperti semula lagi.
3.
Cara Sembahyang
Sebelum mengambil dupa untuk sembahyang, tangan bersih
terlebih dahulu. Mengeluarkan dupa dan menyalakannya tidak boleh langsung
diatas altar di hadapan ruphang (Buddha; Bodhisattva; Deva/Devi), dan
memadamkan api dari dupa tidak dengan ditiup melalui mulut. Dengan tangan kanan
mengeluarkan dupa dari tempatnya atau bungkusnya, setelah dupa dinyalakan, cara
memegangnya yaitu jari telunjuk dan jari tengah dari tangan kanan mengapit
dupa, ujung kaki dupa sampai ke ibu jari kanan, jari telunjuk dan jari tengah
dan ibu jari dari tangan kiri berada di dalam dengan posisi yang sama dari yang
kanan. Ber-namaskara (weng sin) tiga
kali, dupa dipegang pada posisi tersebut di mulai dari depan hati lalu
tempelkan ibu jari di depan dahi. Dengan membaca mantra untuk membersihkan
tempat, membersihkan jasmani dan rohani, persembahan dupa. Menancapkan dupa ke
tempat dupa (hio lo) dengan tangan
kana, dan baca dalam hati mulai dengan pemasangan dupa ditengah (mengucapkan di
dalam hati; ku mencintai alam semesta/dunia ini), lalu dupa yang kedua di
sebelah kanan (dengan ucapan; aku berusaha menjalankan sila), lalu dupa yang
ketiga di sebelah kiri (dengan ucapan; aku berusaha menolong semua makhluk
hidup yang memerlukan pertolongan). Sebelum memasangkan dupa boleh mengucapkan
nama-nama para Buddha, Bodhisattva, dari tiga masa waktu dan di sepuluh penjuru
bertururt-turut sebanyak tiga kali. Setelah dupa dipasang, kemudian namaskara
(weng sin) tiga kali.
V.
KESIMPULAN
Dari paparan di atas, sekiranya teranglah bahwa aliran dalam agama Buddha yaitu Hinayana
dan Mahayana adalah dua aliran yang berlainan. Jenis esensi aliran dan ajaran
Buddha Hinayana adalah sesuai dengan keaslian ajaran Buddha. Tidak mengenal
adanya dewa-dewa penyelamatmanusia. Dengan demikian maka dalam Hinayana tidak
terdapat upacara-upacara keagamaan dan pemujaan terhadap yang Maha Suci.
Sedangkan Buddha Mahayana mengakui adanya dewa-dewa Buddha yang masing-masing
mempunyai fungsi, termasuk didalamnya dewa Lokapala. Kepercayaan demikian
bersumber pada ajaran kebebasan dalam berfikir dan keterbukaan sikap yang
diberikan kepada pemeluk-pemeluknya yang mendorong banyak kemungkinan untuk
menerima pertukaran kebudayaan dengan unsur-unsur kebudayaan suku bangsa ajaran
tersebut.
VI.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Abdul Manaf, Mujahid. Sejarah agama-Agama. Raja Grafindo Persada. Jakarta: 1996
Ø Arifin, Muhammad. Menguak
Misteri Ajaran agama-Agama Besar. Golden Trayon Press. Jakarta: 1986
Ø Hadiwijono, Harun. Agama
Hindu dan Buddha. Gunung Mulia. Jakarta: 2003
Ø Jr, A.g Honig. Ilmu
Agama. Gunung Mulia. Jakarta: 2003
Ø T, Suwarto. Buddha
Dharma Mahayana. Majelis Buddhayana Indonesia. Jakarta: 1995
Ø Kebahagiaan
Dalam Dhama. Majelis
Buddhayana Indonesia. 1980
[1]Suwarto. T, Buddha
Dharma Mahayana, (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana, 1995), h. 833
[2]M. Arifin, Menguak
Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: PT. Golden Trayon Press, 1986),
cet-1, h.108
[5] M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar,
(Jakarta: PT. Golden Trayon Press, 1986), cet-1, h.109
[6] M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar,
(Jakarta: PT. Golden Trayon Press, 1986), cet-1, h.110
[8]A.g Honig Jr, Ilmu Agama, ( Jakarta: Gunung Mulia, 2003 ), cet – 10, h.225
[9] M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar,
(Jakarta: PT. Golden Trayon Press, 1986), cet-1, h.111
[12]Suwarto.T, Budha Dharma Mahayana, (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana
Indonesia, 1995), h.839-842.
0 comments:
Post a Comment