Friday, June 7, 2013

Keyakinan terhadap Hukum Kasunyataan



KEYAKINAN TERHADAP HUKUM KASUNYATAAN

Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah

Budhisme



Oleh:

IKA WAHYU SUSANTI

1111032100039







PRODI PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2013


Pendahuluan
Pembahasan Hukum Kasunyataan merupakan salah satu isi dari Panca Sadha yang merupakan keyakinan pokok Agama Budha yang ditemukan oleh Sang Budha dengan kemampuan sendiri. Di mulai saat Budha Gotama mencapai Penerangan Sempurna melalui proses yang tidak mudah.
Keyakinan Terhadap Hukum Kasunyataan
A.                Pengertian Hukum Kasunyataan
Kasunyataan (Sacca) berarti apa yang sesungguhnya. Dalam bahasa Sansekerta disebut Satya artinya fakta yang tidak dapat dibantah.[1] Hukum Kasunyataan berarti hukum abadi yang berlaku dimana-mana, mengatasi waktu dan tempat serta keadaan. Ini berarti bahwa hukum Kasunyataan bersifat kekal dan abadi sepanjang masa yang berlaku di semua tempat, didalam semua keadaan di setiap waktu. Kasunyataan yang dibuat oleh sesuatu yang kekal dan abadi yaitu Sanghyang Adi Budha. [2]
Kata Kasunyataan berasal dari bahasa Sansekerta SUNYATA atau bahasa Pali SUÑÑATA yang berarti jalan pikiran (konsepsi) yang tidak dapat dibentangkan dengan kata-kata manusia, hanya dapat ditembus dengan intuisi/pandangan terang, dan kata Sunyata/ Suññata adalah dari kata SUNYA/ SUÑÑA artinya pencirian segala sesuatu yang kosong dari definisi yang tepat.[3]
Sunyata/Suññata juga digunakan untuk mencirikan Yang Mutlak yang tidak dapat dinyatakan dengan kata-kata manusia. Segala sesuatu yang hanya dapat disadari oleh kemampuan luhur karena Pandangan Terang. Kenyataan Mutlak, ialah yang berlaku dimana saja, dan kapan saja, tidak tergantung pada waktu dan tempat.[4] Kata suññata dan sunyata dipakai untuk mencirikan Kenyataan Mutlak dan dalam bahasa Indonesia disebut KESUNYATAAN.[5]
Sederhana Dhamma berarti Ajaran Agama. Hukum Kasunyataan termasuk didalam Dhamma yang telah diajarkan Budha Gotama kepada manusia dalam khotbah pertama, ialah dua bulan setelah Siddharta Gotama mencapai tingkat Budha tepat di bulan Asadha tahun 588 SM di Isipatana (sekarang Sarnath) dekat Benares India.[6]
Dhamma banyak dibentangkan dan diterangkan berulang-ulang kali di banyak tempat yang tidak terhitung lagi jumlahnya, dengan lebih banyak perincian dan dengan berbagai cara, sehingga dapat dikenal adanya empat hukum Kesunyataan yaitu:[7]
a.                Cattari Ariya Saccani artinya Empat Kebenaran Mulia/ Empat Kesunyataan.
b.               Kamma artinya Sebab-Akibat Perbuatan dan Punabbhava artinya Kelahiran Kembali atau Tumimbal Lahir
c.                Tilakkhana artinya Tiga Corak Umum dan Pancakkhandha artinya Lima Kelompok Kehidupan atau yang disebut manusia.
d.               Paticca Samuppada artinya Pokok Permulaan Sebab-Akibat yang Saling Bergantungan.
B.                 Cattur Arya Sacccani (Empat Kebenaran Mulia)
Kasunyataan (Sacca) berarti apa yang sesungguhnya. Dalam bahasa Sanskerta disebut Satya artinya fakta yang tidak dapat dibantah. Menurut pandangan Budha ada empat Kasunyataan yang berhubungan dengan manusia.[8]
Budha Gotama mengajarkan untuk melepaskan diri dari belenggu nafsu keinginan, karena nafsu keinginanlah yang mendatangkan DUKKHA artinya PENDERITAAN JASMANI ROHANI.[9]
Maka manusia mencari pembebasan untuk selama-lamanya dari segala penderitaan  tanpa tertinggal sedikitpun; dan tidak akan kembali lagi penderitaan itu di kemudian hari. Budha Gotama mengajarkan PEMBEBASAN DIRI DARI SEGALA DERITA, dengan menerangkan empat faktor didalamnya:
1)                  Kesunyataan tentang Dukkha atau Dukkha Ariyasacca
Dukkha diterjemahkan sebagai penderitaan atau duka cita. Sebagai perasaan dukkha berarti sesuatu yang sulit ditahan (du=sulit, kha=menahan).[10] Yang termasuk dalam dukkha antara lain:
a.       Kelahiran, usia lanjut, kematian adalah dukkha.
b.      Timbulnya kesedihan, ratap tangis, kesakitan, kesengsaraan, putus asa adalah dukkha.
c.       Keinginan yang tidak tercapai adalah dukkha.
d.      Kehilangan sesuatu yang dicintai/disukai dan berkumpul atau selalu dekat dengan yang dibenci adalah dukkha.
e.       Masih banyak lagi yang lain-lainnya.
Secara singkat susunan badan ini sendirilah sumber penderitaan. Penderitaan bergantung pada manusia dan berbagai segi kehidupan, harus diamati dan diuji dengan cermat.[11]
2)                  Kesunyataan tentang Asal-Mula Dukkha atau Dukkha Samudaya Ariyasacca
            Dukkha disebabkan oleh adanya nafsu keinginan, kehausan, kerinduan (Tanha) yang berhubungan dengan kenikmatan indriya dan pemikiran untuk terus mempertahankannya, atau menolak sesuatu yang tidak disukai/dicinta dan hal ini mengakibatkan timbulnya proses tumimbal-lahir (rebirth).[12] Dalam Dhammapada tercantum:[13]
“ Dari keinginan timbul kesedihan, dari keinginan timbul ketakutan, bagi orang mutlak bebas dari keinginan tiada lagi kesedihan maupun ketakutan.” (V. 216)[14]
3)                  Kesunyataan tentang Lenyapnya Dukkha atau Dukkhanirodha Ariyasacca.
Penderitaan maupun keinginan hanya dapat di hapuskan dengan mengikuti Jalan Tengah, yang dipaparkan oleh Sang Budha, serta mencapai Kebahagiaan Nibbāna. Berhentinya penderitaan secara tuntas yaitu Nibbāna, tujuan akhir semua umat Budha. Itu dapat tercapai dengan menghilangkan segala bentuk napsu keinginan secara menyeluruh.[15] 
Jadi dukkha hanya dapat lenyap dengan Padamnya Napsu Keinginan (Tanhakkhaya) dan Padamnya Arus Kekotoran Bathin (Asavakkhaya), yang berarti terhentinya proses tumimbal lahir dan tercapainya Nibbana. Hal ini mengandung satu pengertian bahwa perasaan, pikiran, dan perbuatan kita tidak dapat dibiarkan bekerja terus sampai melampaui batas-batas kemampuan, maka selama itu pula kita dapat terbebas dari segala penderitaan atau dukkha.[16]
4)                  Kesunyataan tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha atau Dukkhanirodhagaminipatipada Arriyasacca.
Kesunyataan ini harus disadari dengan mengembangkan Jalan Ariya Berunsur Delapan yang merupakan Kesunyataan Mulia ke empat. Delapan Ruas Jalan Utama atau Ariya Atthangika Magga adalah merupakan Parama Bodhi Marga atau Jalan Untuk Mencapai Penerangan  Sempurna.
Delapan Ruas Jalan Utama itu terdiri atas:[17]
a.       Harus memiliki pandangan / pengertian benar atau Samma Ditthi
b.      Pikiran benar atau Samma Sankappa
c.       Ucapan benar atau Samma Vaca
d.      Perbuatan benar atau Samma Kammanta
e.       Mata pencaharian benar atau Samma Ajiva
f.       Daya upaya benar atau Samma Vayama
g.      Perhatian benar atau Samma Sati
h.      Konsentrasi benar atau Samma Samadhi
Pelaksanaan Jalan-Tengah ini, pada tingkat duniawi (lokiya) yang dibicarakan tentang Delapan Ruas Jalan (Atthangika Magga) yang ditempuh orang biasa (Putthujjana) dan pada tingkat mengatasi duniawi (lokuttara) yang dibicarakan adalah tentang Delapan Ruas Jalan Utama (Ariya Atthangika Magga) yang ditempuh oleh orang suci (Ariya-Puggala).
Delapan Ruas Jalan (Atthangika Magga) merupakan “pedoman hidup” dan Delapan Ruas Jalan Utama (Ariya Atthangika Magga) adalah merupakan “tujuan hidup” bagi setiap umat Budha. Bilamana kita hidup menurut Delapan Ruas Jalan mungkin kelak (lama dan sukar) orang dapat membangkitkan Delapan Ruas Jalan Utama, dengan penuh kesulitan-kesulitan ditempuhnya.[18]


C.                KAMMA (Hukum Karma)
Kamma adalah kata Pali dan Karma adalah kata Sanskerta yang secara singkat berarti “Perbuatan”, yaitu setiap perbuatan didahului oleh suatu sebab dan setelah dilakukan menimbulkan akibat. Hal ini YMS Budha Gotama pernah bersabda yang terdapat pada kitab Anggutara-Nikaya III : 415 berbunyi: [19]
“ Oh, siswa-siswaku, kehendak untuk berbuat (cetana) itulah yang Kami namakan Kamma dan sesudah berkehendak orang lantas berbuat dengan  Badan, dengan Ucapan dan dengan Pikiran”.
Jadi, Kamma adalah suatu perwujudan dari perbuatan, yakni meliputi semua jenis kehendak dan maksud perbuatan yang baik maupun yang buruk; dan lahir maupun batin atau jasmani atau rohani. Makna yang luas dari Kamma sebenarnya ialah semua keinginan yang tidak membeda-bedakan apakah keinginan/kehendak itu bermoral (berakhlak) ataupun yang tidak bermoral. [20] Semua perbuatan yang dilakukan akan meimbulkan akibat dan awal kejadian disebut dengan sebab, sehingga Kamma juga disebut sebagai “HUKUM SEBAB AKIBAT PERBUATAN”.
Kamma atau Karma adalah yang memberi corak kehidupan manusia dan yang menentukan jenisnya, waktunya dan tempat kelahirannya. Begitu pula kebahagiaan maupun penderitaan yang akan dialaminya adalah dari kammanya, pada intinya kamma adalah perbuatan yang dapat menjadikan watak kita dan juga menentukan apa yang menjadi kelanjutannya bagi diri kita.
Kamma itu tidak berasal dari luar, namun sebenarnya adalah hukum yang bersemayam dalam diri kita sendiri dan gerak hidupnya. Dengan menyelami dirinya sendiri akan mengetahui adanya keselarasan antara hukum Kamma maupun watak-watak dalam hati nuraninya dan tata-susila terutama menentukan tertib alam semesta ini.
Kamma itu bukan Nasib. Manusia yang sesungguhnya mempunyai kebebasan kehendak dan dengan demikian manusia bebas pula untuk berbuat dalam menentukan nasibnya sendiri, namun sering kali sukar melaksanakannya dan sering pula seakan-akan kehendaknya didorong kearah tertentu oleh kekuatan di luar kemampuannya, yang disebabkan tidak lain karena pengaruh Kamma-nya di masa yang lampau. Sekalipun demikian dengan tekad dan kemauan yang kuat manusia pasti mampu untuk setiap saat menentukan Kamma-nya sendiri.
 Menurut sudut pandang Buddhis, perbedaan yang terjadi pada manusia baik perbedaan mental, moral, kecerdasan dan pembawaan saat ini, ini lebih banyak dipengaruhi oleh perbuatan dan kecenderungan kita, baik pada masa lalu maupun masa sekarang.
Sekalipun Dhamma mengajarkan, bahwa Kamma adalah sebab utama adanya berbagai keadaan di alam ini, namun ini bukanlah suatu fatalisme (menyerah kepada keadaan serta berputus-asa) maupun suatu nasib tertentu yang sudah digariskan untuk seseorang atau makhluk. Hukum Kamma hanya merupakan salah satu dari 24 sebab, sebagaimana diketemukan dalam falsafah agama Budha (Compendium of Philosophy Page 191) atau salah satu dari 5 Niyama (Hukum Tertib Alam Sejagat) yang bekerja dialam semesta ini, dan yang satu persatu merupakan hukum tersendiri. Marilah kita perhatikan kelima Hukum Tertib Alam Sejagad diatas sebagai berikut:[21]
1)      Utu Niyāma, ialah hukum psysical inorganic[22]misalnya: gejala timbulnya angin dan hujan yang mencakup pula silih bergantinya musim-musim dan perubahan iklim, yang disebabkan oleh angin, hujan, sifat-sifat panas dan sebagainya.
2)      Bija Niyāma, ialah hukum tertib tumbuh-tumbuhan daripada benih dan pertumbuhan tnam-tanaman misalnya: padi berasal dari tumh-tumbuhan dari tumbuh-tumbuhan benih padi, manisnya gula berasal dari batang tebu atau madu, keistimewaan daripada berbagai jenis buah-buahan dan sebagainya.
3)      Kamma Niyāma, ialah hukum tertib sebab dan akibat[23] atau aturan tentang perbuatan dan hasilnya[24], misalnya: perbuatan-perbuatan yang dimaksudkan bermanfaat (membahagiakan, baik dan bermaksud merugikan, buruk) terhadap pihak lain, mengahasilkan pula akibat baik maupun buruk. Sebagaimana sifatnya air selalu mengalir untuk mencapai persamaan tingginya, begitu pula kamma bersifat untuk selalu mendapatkan keseimbangannya, selalu menghasilkan buah-buah yang sewaktu-waktu menyenangkan dan sewaktu-waktu menjengkelkan, ini buka suatu hukuman atau hadiah, terhadap si pembuat daripada perbuatan, tetapi memang sudah menjadi sifat wataknya, atau rangkaian daripada suatu kejadian.
4)      Dhamma Niyāma ialah, hukum tertib terjadinya suatu persamaan dari suatu gejala yang khas atau hukum tatanan norma, misalnya: terjadinya keajaiban alam sewaktu seorang Bodhisattva hendak mengakhiri hidupnya sebagai calon Budha, pada saat ia akan terlahir untuk kemudia menjadi Budha. Sebab-sebab daripada keselarasan dan sebagainya adalah termasuk golongan hukum ini.  
5)      Citta Niyāma, ialah hukum tertib jalannya alam-pikiran atau hukum alam bathiniah, misalnya: proses daripada kesadaran, timbul dan lenyapnya kesadaran, sifat-sifat kesadaran, kekuatan pikiran, dan sebagainya. 
Bunyi Hukum Kamma[25], hukum kamma merupakan hukum alam, bagaikan hukum Archimedes, gaya tarik bumi dan lain-lainnya, yang bekerja sendiri menurut prinsipnya sendiri. Tidak benar bilamana dikatakan, bahwa Dewa-dewa ada yang menertibkan bekerjanya Hukum Kamma. Hal ini tidak mungkin karena dewa-dewa itupun terkena hukum kamma, jadi mana mungkin mereka dapat menertibkannya.
Pembagian Kamma menurut sifatnya ada dua dan apa yang menjadi akarnya:[26]
a.       Kusala-Kamma artinya perbuatan baik; ialah perbuatan baik yang dilakukan oleh Pikiran, Ucapan, dan Badan.
b.      Akusala-Kamma artinya perbuatan jahat/buruk; ialah perbuatan jahat/buruk yang dilakukan oleh Pikiran, Ucapan, dan Badan.
Hukum Karma/ Kamma dapat dibagi dalam empat golongan besar, yaitu:
I.                   Menurut Jangka Waktu
Golongan Kamma ini dapat dibagi lagi dalam empat jenis:
a.       Yang “masak” dalam jangka waktu satu kehidupan (ditthadhamma-vedaniya-kamma).
b.      Yang “masak” dalam jangka waktu kehidupan berikutnya (upajja-vedaniya-kamma).
c.       Yang “masak” dalam beberapa kehidupan berturut-turut (aparapariya-vedaniya-kamma).
d.      Yang tidak menimbulkan akibat sama sekali (ineffective kamma atau Ahosi Kamma).
II.                Menurut Sifat Bekerjanya
Golongan ini dapat dibagi dalam empat jenis:
a.       Janaka Kamma, adalah hukum yang menyebabkan timbulnya syarat untuk terlahirnya kembali suatu makhluk.
b.      Upatthambaka Kamma, adalah hukum yang mendorong terpeliharanya satu akibat daripada sebab (kamma) yang telah timbul.
c.       Upapilaka Kamma, adalah satu hukum kekuatan yang menekan, pula mengolah, menyelaraskan satu akibat daripada satu sebab.
d.      Upaghataka Kamma, adalah kamma yang meniadakan kekuatan dan akibat dari satu sebab (kamma) yang telah terjadi dan sebaliknya.
III.             Menurut Sifat Dari Akibatnya
Golongan ini kembali dapat dibagi dalam empat jenis:[27]
a.       Garuka Kamma, ialah kamma yang digolongkan dalam jenis yang bermutu dan “berat”. Akibatnya dapat timbul dalam waktu satu kehidupan atau kehidupan berikutnya. Termasuk pula dalam jenis ini, lima perbuatan durhaka yang akibatnya sangat berat, yaitu:
1.      Membunuh ibu
2.      Membunuh ayah
3.      Membunuh seorang Arahat
4.      Menyababkan perpecahan Sangha
Lima perbuatan diatas disebut anantarika kamma= kamma yang mneyebabkan penitisan di alam neraka.
b.      Asana Kamma, ialah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang sebelum saat ajalnya (kematiannya) dengan lahir dan batin. Kamma inilah yang akan menentukan keadaan kelahiran seseorang yang akan dating, jika tidak ada Kamma yang lebih berat lagi merupakan syara-syarat yang menentukan.
c.       Acinna Kamma atau Bahula Kamma, yaitu bila seseorang sebelum saat ajalnya tidak berbuat sesuatu, dan dengan demikian tidak terdapat Asanna Kamma, maka yang menentukan keadaan kelahiran yang berikutnya ialah Kamma kebiasaan atau Acinna Kamma, ialah perbuatan-perbuatan yang merupakan kebiasaan bagi seseorang karena seringnya dilakukan sehingga seolah-olah merupakan watak baru.
d.      Kattata Kamma, sebagai syarat yang merupakan penentuan kelahiran bagi seseorang, bilamana Acinna Kamma tidak terdapat padanya, maka Kattata Kamma inilah yang menentukan, yaitu Kamma yang tidak begitu berat dirasakan akibatnya dari perbuatan-perbuatan yang lampau.
IV.             Menurut tempat dan keadaan dimana Kamma akan berbuah (berakibat)
Golongan inipun dibagi dalam empat jenis:
a.       Kamma Jahat (tidak bermoral), yang berbuah di alam yang berisi penuh dengan penderitaan dan yang sangat menyedihkan. Perbuatan-perbuatan jahat ini berakar pada:
1.      Lobha, yaitu terlalu terikat keinginannya pada sesuatu, sehingga menimbulkan keserakahan.
2.      Dosa, yaitu ketidaksukaan atau penolakan yang sangat terhadap sesuatu, sehingga menimbulkan kebencian.
3.      Moha, kebodohan, kegelapan, pandangan sesat dari seseorang terhadap hidup dan kehidupan.
b.      Kamma baik yang berakibat hanya sampai di kehidupan di alam dunia ini yang penuh dengan keinginan, terdapat sepuluh jenis kamma baik, yaitu:
1.      Dāna                   - beramal dan murah hati
2.      Sila                      - hidup bersusila
3.      Bhāvanā              - bermeditasi
4.      Apacāyana          - berendah hati dan hormat
5.      Veyyāvacca        - berbakti
6.      Pattidāna            - membagi kebahagiannya kepada orang lain                                              
7.      Pattānumodana  - bersimpati membagi kebahagiaan dengan orang lain
8.      Dhammasavana  - mempelajari dan sering mendengarkan Dhamma
9.      Dhammadesanā  - menyebarkan dan menerangkan Dhamma
10.  Ditthijukamma   - berpandangan hidup yang benar
Adapun akibat-akibatnya adalah sbb:
1.      Memperoleh kekayaan dalam kehidupan ini atau dalam kehidupan yang akan datang.
2.      Terlahir dalam keluarga luhur yang keadaannya bahagia.
3.      Bermeditasi berakibat penitisan dalam alam-alam sorga.
4.      Berendah hati dan hormat menyebabkan kelahiran dalam keluarga luhur.
5.      Berbakti mengakibatkan seseorang memperoleh penghargaan dari masyarakat.
6.      Seseorang yang berkecenderungan membagi kebahagiannya kepada orang lain menyebabkan pemberi itu terlahir dalam keadaan tidak berkekurangan, bahkan berlebih-lebihan dalam berbagai hal.
7.      Bersimpati terhadap kebahagiaan orang lain menyebabkan terlahir dalam lingkungan yang menggembirakan.
8.      Menyebar dan menegakkan Dhamma berbuah dengan bertambahnya kebijaksanaan.
9.      Menyebar dan menerangkan Dhamma berbuah dengan bertambahnya kebijaksanaan.
10.  Meluruskan pandangan orang lain berbuah dengan diperkuatnya keyakinan.
c.       Kamma baik yang berakibat kehidupan di alam halus, di mana masih terdapat bentuk-bentuk, kamma ini terdiri atas lima tingkat yang semata-mata bersifat mental dan hanya dapat dicapai melalui latihan-latihan meditasi, yaitu:
1.      Dhyāna (Jhāna) pertama, keadaan batin ini terdiri dari lima tahap, yaitu:
2.      Dhyāna kedua, yang bercorak:
a.       Vicara, b. piti, c. sukha, d. ekaggata
3.      Dhyāna ketiga, yang bercorak:
a.       Piti, b. sukha, c. ekaggata
4.      Dhyāna keempat, yang bercorak:
a.       Sukha, b. ekaggata
5.      Dhyāna kelima, yang bercorak:
a.       Ekaggata, ditambah dengan
b.      Keseimbangan batin
d.       Kamma baik yang berakibat kehidupan di alam halus, di mana tidak lagi terdapat bentuk-bentuk, kamma ini terdiri dari empat tingkat yang semata-mata bersifat mental dan hanya dapat dicapai melalui latihan-latihan meditasi tinggi, yaitu:
1.      Akasanancayatana, batin berada dalam ruang yang tak terbatas
2.      Viññāncayatana, batin yang berada dalam alam kesadaran yang tak terbatas
3.      Akincannayatana, batin yang berada dalam keadaan kosong
4.      Neva-saññā-nasaññayatana, batin yang berada dalam keadaan bukan-pencerahan.
Syarat-syarat Suatu Perbuatan Yang Dapat Disebut Kamma
Sesuatu Perbuatan yang dapat disebut Kamma yaitu bilamana memenuhi syarat-syarat:[28]
1.      Harus terjadinya adanya Cetana[29]
2.      Perbuatan yang dilaksanakan berdasarkan kesadaran atau dengan sengaja.
Kamma berdasarkan Kejadiannya dibagi menjadi tiga macam, yaitu:[30]
a.       Perbuatan yang dilakukan oleh Pikiran (Mano-Kamma)
b.      Perbuatan yang dilakukan oleh Ucapan (Vaci-Kamma)
c.       Perbuatan yang dilakukan oleh Badan (Kaya-Kamma)
D.                PUNNABBHAVA (Tumimbal Lahir)
Perihal Tumimbal Lahir, ajaran Budha menyatakan bahwa hidup ini merupakan proses yang berkesinambungan dari hidup yang lampau, hidup sekarang, dan hidup yang akan datang. Kesinambungan dan keterkaitan hidup ini berlangsung terus-menerus karena adanya “daya hidup” yang berupa “akibat perilaku” dari perilaku-perilaku manusia yang telah dilakukannya. Apabila manusia tidak memiliki “daya hidup” lagi maka ia dikatakan mencapai kebebasan dari hidup. Hal ini berarti kebebasan dari penderitaan.[31] 
Punnabbhava adalah kata Pali Punarbhava adalah kata Sanskerta yang berarti Tumimbal-lahir atau Kelahiran-kembali (rebirth).[32] Dalam pujiannya yang pertama (udana), Sang Budha berkata:
“ Melalui banyak kelahiran saya mengembara, mencari pembuat rumah ini. Sungguh menderita kelahiran yang berulang-ulang (dukkhajatipunappunam) ”
            Di dalam Dhammacakka Sutta,[33] yaitu khotbah Beliau yang pertama, Sang Budha mengulas kebenaran mulia yang kedua bahwa “Nafsu keinginanlah yang menuntun pada kelahiran kembali (y’ayam tanha ponobhavika).” Sang Budha mengakhiri khotbah ini dengan mengatakan: “Ini adalah kelahiranKu yang terakhir, sekarang tidak ada kelahiran lagi bagiKu (ayam antima jati natthi’ dani punabbhavo).”
Alam semesta ini dikuasai oleh Hukum Sebab-Akibat yang saling bergantungan atau hukum “Paticca-samuppada”. Sebagaimana terdapat didalam penjelasan Paticca Samuppada bahwa “ke-inginan” menimbulkan ikatan; “ikatan” menimbulkan arus penjelmaan ; dan “arus penjelmaan” akan menimbulkan “Kelahiran”, inilah yang dimaksud kelahiran-kembali atau tumimbal-lahir.[34]
Pengertian persoalan Tumimbal-lahir tidak semata-mata dihubungkan dengan persoalan Roh atau Setelah manusia mati. Pengertian tumimbal lahir mencakup maksud yang lebih luas dan yang biasa digambarkan oleh seseorang dalam percakapannya.
Ajaran Budhis tentang tumimbal lahir harus dibedakan dari teory reinkarnasi yang menunjukkan perpindahan satu jiwa dan bahan yang di tumimbal lahirkan yang tidak berubah. Tumimbal lahir adalah perpindahan dari nyala api ini dari satu kelompok menuju yang lain. Nyala api kehidupan adalah terus menerus walaupun ada perhentian yang jelas pada hal yang disebut kematian [35]
Sifat maupun corak dari suatu kelahiran kembali/ Tumimbal-lahir ditentukan oleh Kamma kita sendiri, karena Tanha telah menjiwai diri kita dan menjadi sebab kita berada sebagai individu beserta gerak hidup kita.

Ada 4 macam Tumimbal-lahir dari pada makhluk-makhluk:[36]
1.      Ada makhluk yang lahir dari kandungan, dalam kata Pali disebut Jalabuja-Yoni. Misalnya: manusia, kuda, sapi, dll.
2.      Ada makhluk yang lahir dari telur, dalam kata Pali disebut Andaja-Yoni. Misalnya: burung, ayam, ular, dll.
3.      Ada makhluk yang lahir dari kelembapan, dalam kata Pali disebut Sansedaja-Yoni. Misalnya: nyamuk, ikan, dll.
4.      Ada makhluk yang lahir secara spontan, langsung membesar. Misalnya: Dewa Brahma, dan makhluk neraka lainnya.
Selanjutnya terdapat pula 4 macam Tumimbal-lahir secara Penyambung-kelahiran (Patisandhi) di 31 alam kehidupan, yaitu:
1.      Bertumimbal lahir di Alam Kehidupan yang menyedihkan (alam apaya), yang terdiri dari Alam Neraka, Alam Binatang, Alam Setan, dan Alam Raksasa (Apayapatisandhi).
2.      Bertumimbal-lahir di Alam Nafsu Yang Menyenangkan (Alam Kamasugati), yang terdiri dari sebuah Alam Manusia dan enam alam-alam Dewa (Kamasugatipatisandhi).
3.      Bertumimbal-lahir di  Alam yang masih mempunyai bentuk, yang terdiri dari enam belas Alam (Rupavacarapatisandhi).
4.      Bertumimbal-lahir di Alam yang tidak terbentuk, yang terdiri dari empat Alam (Arupavacarapatisandhi).
Kamma seseorang dari kehidupan di masa yang lampau dan Kamma pada kehidupan yang sekarang adalah masak pada kehidupan-kehidupan mendatang. Sewaktu meninggal dunia, Kesadaran Saat Ajal-nya didorong oleh bentuk-bentuk Kammanyaakan menimbulkan Kesadaran-Penyambung untuk bertumimbl-lahir di salah satu dari 31 Alam Kehidupan, yang merupakan permulaan lagi dari suatu kehidupan baru.[37] Jadi peranan bentuk-bentuk Kamma adalah yang merupakanarah penjelamaan (Gati) seseorang untuk terlahir kembali di salah satu dari ke-31 alam kehidupan.







Alam-Alam Kehidupan[38]
KAMALOKA
 (11)
  Keberadaan Makhluk Duniawi

RUPALOKA
(16)
Alam Berbentuk
ĀRUPALOKA (4)
Alam tak Berbentuk

DUGATI (4)
Alam-Alam Menyedihkan

SAGUTI (7)
Alam Bahagia


Dutiya Jhana Bhumi
Alam Jhana Kedua


Pathama Jhana Bhumi
Alam Jhana Pertama

N’eva Sanna N’a Sannayatana
Akincannayatama
Vinnanancayatana
Akasanancayatama

Catattha
        Jhana Bhumi
Alam Jhana Keempat

Tatiya Jhana Bhumi
Alam Jhana Ketiga


DEVA LOKA (16)
Alam Dewa

Asurayoni
Petayoni
Tiracchana yoni
Niraya
Manussa-Alam Manusia

Paranimmitavasavati
Nimmanarati
Tusita
Yama
Tavatimsa
Catummaharajika




SUDHAVASA
Tempat Kediaman Murni



Akanittha
Sudassi
Sudassa
Atappa
Aviha

Asannasatta
Vehapphala

Subhakinha
Appamanasubha
Parittasubha

Abhassara
Appamanabha
Parittaba

Maha Brahma
Brahma Purohita
Brahma Parisajja










Kesimpulan
Keyakinan Terhadap Hukum Kasunyataan merupakan nomor ketiga dalam Panca Sadha. Dalam bahasan ini Budhis lebih mengupas tentang moral manusia untuk mencapai Nibbana. Catvari Arya Satyani, membahas tentang Dukkha. Karma atau Kamma merupakan akibat dari perbuatan yang telah diperbuat (sebab). Budha pernah bersabda:[39]
            “Sesuai dengan benih yang telah ditaburkan begitulah buah yang akan diprtiknya, pembuat kebaikan akan mendapat kebaikan, pembuat kejahatan akan memetik kejahatan pula. Tertaburlah oleh-mu biji-biji benih dan engkau pulalah yang akan merasakan buah-buah daripadanya.”
            Tumimbal-Lahir merupakan proses dari pada Kamma itu akan terjadi. Tumimbal-Lahir dalam Budha berbeda dengan konsep reinkarnasi, karena Tumimbal-lahir dalam Budha memulai proses individu dari awal dengan jiwa dan raga yang baru dengan kemungkinan buruk atau baik.






DAFTAR PUSTAKA
Djam’annuri, Agama Kita, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta. 2009        
Mahāthera. Ven NĀRADA. Sang Budha dan Ajaran-AjaranNya. Jakarta: Yayasan Dhammadīpa Ārāma. 1992
Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma. Depok : Bromo fc
T. Suwarto. Buddha Dharma Mahayana. Jakarta : Majelis Buddha Mahayana Indonesia. 1995
Widyadharma. Pandita Sumedha, Dharma-Sari

  


[1] Ven. NĀRADA Mahāthera, Sang Budha dan Ajaran-AjaranNya, (Jakarta: Yayasan Dhammadīpa Ārāma, 1992), Bag.            2, h. 38
[2] Majelis Budhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, (Jakarta: 1980), h. 61
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Ibid
[6]Ven. NĀRADA Mahāthera, Sang Budha dan Ajaran-AjaranNya, Bag. 2, h. 62
[7] Ibid
[8] Majelis Budhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, (Jakarta: 1980), h. 38
[9] Ibid
[10] Ven. NĀRADA Mahāthera, Sang Budha dan Ajaran-AjaranNya, Bag. 2, h. 39
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Majelis Budhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, (Jakarta: 1980), h. 64
[14] Ven. NĀRADA Mahāthera, Sang Budha dan Ajaran-AjaranNya, Bag. 2, h. 40
[15] Ibid.
[16] Majelis Budhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, (Jakarta: 1980), h. 64
[17]Ibid, hlm. 67
[18] Majelis Budhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, (Jakarta: 1980), h. 67
[19] Ven. NĀRADA Mahāthera, Sang Budha dan Ajaran-AjaranNya, Bag. 2, h. 69
[20] Ibid.
[21] Majelis Budhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, (Jakarta: 1980), h. 146
[22] Dalam buku Sang Budha dan AjaranNya 2, hlm 58, psysical inorganic adalah aturan yang berhubungan dengan segala sesuatu yang bersifat tidak hidup.
[23] Ibid, hlm. 147
[24] Ibid, hlm. 59
[25] Majelis Budhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, (Jakarta: 1980), h. 151
[26] Ibid, h. 150
                        [27]Pandita Sumedha Widyadharma, Dharma-Sari, h. 105-114
[28] Majelis Budhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, (Jakarta: 1980), h. 149
[29] Merupakan akar dari perbuatan baik maupun buruk, lihat di Kebahagiaan Dalam Dhamma, hlm 147
[30] Ibid, hlm. 149
[31] Djam’annuri, Agama Kita, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2009), h. 70
[32] Ven. NĀRADA Mahāthera, Sang Budha dan Ajaran-AjaranNya, Bag. 2, h. 70
[33] Ibid, hlm. 103
[34] Majelis Budhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, (Jakarta: 1980), h. 71
[35] Ven. NĀRADA Mahāthera, Sang Budha dan Ajaran-AjaranNya, Bag. 2, h. 159
[36] Ibid, hlm. 72
[37] Ibid, hlm. 73
[38] Ibid. h. 136-137
[39] Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayana. Penyusun: Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h. 70

0 comments:

Post a Comment