Sunday, May 26, 2013

Sekte Nichiren

Riwayat Hidup Nichiren 

Nichiren merupakan seorang yang sangat karismatik dalam sejarah keberagamaan Jepang. Para pengikutnya meyakini bahwa Nichiren adalah setengah manusia dan setengah Lotus-Sutra. Nichiren adalah seorang putera dari nelayan sederhana di kota Kominato—sebuah desa nelayan di Provinsi Awa (Chiba-ken). Ia dilahirkan pada 16 Februari 1222 dengan nama Nichiro atau sumber lain mengatakan Zennichiro atau Zennichi maro. Ia mulai pendidikan kebuddhaan pada usia 11 tahun dengan bantuan seorang wanita bangsawan yang dekat dengan keluarganya. Ia belajar di Kuil Kiyosumidera sebuah pusat pendidikan terbesar di daerah itu. Akan tetapi, Nichiren muda yang ketika itu diberi nama pendeta Rencho, merasa kuil tersebut tidak mampu memenuhi dahaganya terhadap ilmu pengetahuan. Ia melanjutkan pendidikannya di Kuil Hachimanguji di pusat wilayah de facto Jepang, Kamakura. Kuil tersebut merupakan pusat pendidikan sekte Tendai di Jepang. [1]
Kuil ini dikenal juga beraliran Hokke Shu atau Sekte Hokke karena mengamalkan Saddharma Pundarika Sutra sebagai Sutra dasar sekte ini. Nichiren muda memiliki dua pertanyaan mendasar; pertama adalah bagaimana ia bisa mengalami kepastian keselamatan? Sementara pertanyaan kedua adalah: mengapa pasukan kekaisaran dikalahkan oleh rezim Kamakura tahun 1221 terlepas dari doa dan inkarnasi yang ditawarkan oleh Tendai dan Shingon rohaniwan atas nama penyebab kekaisaran?
Ketika ia berusia 21 tahun, yaitu pada tahun 1242, ia menetap di Hieizan (gunung Hiei) hingga tahun 1253. Ia menetap hingga merasa yakin bahwa kunci terhadap dua pertanyaan utamanya terkandung di dalam Lotus-Sutra.Pada masa itu, Buddhisme telah berkembang sangat luas di Jepang. Telah terbentuk berbagai aliran yang baik itu datang dari Cina atau merupakan interaksi antara aliran lokal dengan aliran-aliran yang sudah ada sebelumnya; ataupun sinkretis beberapa aliran Buddha yang telah berkembang sebelumnya. Ennin memperkenalkan aliran Esoteric Buddhism dan Buddhism Pure-Land dari China dan mendirikan Taimitsu atau Sekolah Tendai Esoterik dan Tendai Jôdo Kyô atau Sekolah Tendai Tanah Suci di Hieizan. Buddha Sâkyamuni di Saddharma Pundarika Sutra diidentifikasikan dengan Buddha Amitâbha, dan pembacaan Nembutsu juga didorong untuk dibacakan bersama Saddharma Pundarika Sutra.
Pada tahun 1253 Nichiren memulai misi kenabiannya yaitu untuk mengajak manusia kembali kepada jalan Lotus-Sutra. Penyesalan terbesarnya adalah karena sekte Pure-Land, menolak untuk diajak kembali kepada Lotus-Sutra dan memilih untuk tetap mempraktikkan Nembutsu. Aliran Pure-Land terutama, meyakini bahwa Amida merupakan Buddha setelah Sakyamuni (Siddharta Gautama). Akan tetapi, dalam pandangan Nichiren, Buddha yang patut disembah adalah Sakyamuni; sehingga Nichiren beranggapan bahwa Pure-Land  telah menyimpang dari ajaran Buddhisme yang murni. Dalam hal ini, Nichiren mengajak para pengikut aliran Pure-Land untuk kembali ke jalan Lotus-Sutra.
Ajaran-ajaran Nichiren yang menentang aliran-aliran Buddha yang lain di Jepang diungkapkan sendiri olehnya: “those who practice invocation to Amitabha are due to suffer continuous punishment in Hell; the Zen sect is the devil; the Shingon sect is the ruiner of the country; the Ritsu sect is the enemy of the country”.
Karena sikapnya yang frontal dalam mengajarkan ajaran-ajarannya, Nichiren mendapat tekanan dari pemerintah yang pada saat itu mendukung aliran Tendai. Dalam pandangan Nichiren aliran-aliran yang ada telah melakukan banyak penyimpangan, terutama dengan menyanyikan atau melafalkan Nembutsu—NamuAmida Butsu (penyebutan nama Amida Buddha), selain itu dalam aliran Tendai sendiri pun sudah terjadi banyak penyimpangan. Beberapa kuil telah dijadikan pusat pelatihan militer dengan para bhiksu dilatih untuk berperang dan dipersiapkan sebagai tentara kerajaan. Berkali-kali ia mengalami percobaan pembunuhan yang diperintahkan oleh aliran-aliran yang menolak ajarannya. Dalam berbagai kisah, diceritakan bahwa kegagalan para pembunuh itu selalu disertai dengan keajaiban; misalnya ketika mereka telah mendapatkan kesempatan yang sangat baik untuk membunuh Nichiren, tiba-tiba ada cahaya yang sangat terang menyilaukan mata mereka, sehingga mereka ketakutan dan lari meninggalkan Nichiren. Para pengikut Nichiren merasa bahwa ini adalah berkah dari misi keilahian yang diemban oleh Nichiren.
Nichiren ingin mengembalikan dan memurnikan kembali ajaran Tendai, Pure-Land, dan Shingon. Ia memiliki visi yang jauh ke depan, dan ia memberitahukannya pada para pemerintah di masa itu tentang akan adanya bencana dan serangan dari Bangsa Mongol. Akan tetapi peringatan dari Nichiren tidak diindahkan, karena itu ketika Jepang tertimpa bencana gempa dasyat, Nichiren dan murid-muridnya telah menyelamatkan diri ke tempat yang aman, dan menyatakan bahwa gempa terjadi karena sedikitnya manusia yang mengambalkan Namu-myoho-renge-kyo dan lebih banyak melafalkan Nembutsu.
Setelah terjadinya gempa, semakin banyak orang yang mengikuti ajaran Nichiren, meskipun demikian, tekanan dari Pemerintah terus dilakukan, Nichiren sempat diasingkan ke Pulau Sodo, kemudian dipenjara, dan dengan sukarela mengasingkan diri ke Minobu. Di tempat-tempat pengasingan itu, Nichiren menuliskan esai-esai dan wasiat-wasiat bagi para muridnya.
Nichiren berada di Minobu ketika penyerangan bangsa Mongol. Karena pengikut Nichiren yang melafalkan Namu-myoho-renge-kyo sudah banyak, diyakini, karena itulah kapal-kapal bangsa Mongol diterjang dan ditenggelamkan Badai di perairan Jepang. Sebagian yang selamat melarikan diri ke Korea. Hal ini terus menyebabkan para pengikut Nichiren bertambah dan semakin bertambah.
Nichiren jatuh sakit pada tahun 1278. Beliau ingin menyembuhkan kesehatannya dengan mandi di sumber mata air panas di daerah Kakurai di propinsi Hitachi (lbaraki-ken). Beliau meninggalkan Minobu pada tanggal 8 September. Beliau tidak melewati kota Kamakura, dari mana beliau memulai perjalanan ke Minobu delapan tahun yg lalu. Nichiren tiba di tempat tinggal Ikegami Munenaka di daerah Ikegami di propinsi Musashi (Tokyo) pada tanggal 18 September. Pada tanggal 8 Oktober, beliau memilih dari antara murid2nya, Rokurôsô atau Enam Murid Senior: Nisshô Nichirô Nikkô Nikô, Nitchô and Nichiji, Nichiren meninggal di Ikegami pada tanggal 13 October 1282, pada usia enam puluh tahun.[2]

Makna mantra Namu-Myoho-Renge-Kyo[1]
Mantra dari aliran Nichiren ini adalah Namu-Myoho-Renge-Kyo. Maknanya adalah:
Namu or Nam: Nam merupakan kependekan dari Namu yang digunakan oleh beberapa aliran Buddhisme lainnya. Namu berarti kesetiaan. Pada beberapa momen dalam kehidupan; kita semua ‘mengarah’ pada satu jalan tertentu. Contohnya, ketika bekerja pikiran kita mungkin tersedot oleh detail-detail pekerjaan kita; pada saat itu, seluruh kehidupan kita terpusat pada pekerjaan; kita berpikir tentang pekerjaan dan melakukan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan tersebut. Ketika kita melafalkan Namu myoho renge kyo, kita memfokuskan pikiran kita pada Kebuddhaan dalam kehidupan.
Myoho: Myo merujuk pada aspek spiritual dalam kehidupan; sementara Ho merujuk pada aspek fisikal atau material dalam kehidupan. Mengombinasikan keduanya menjadi satu kata merepresentasikan interpenetrasi dari keduanya; aspek spiritual dan fisikal saling menyatu. Myo juga berarti kehidupan sementara ho kematian; lagi-lagi keduanya adalah dua hal yang merepresentasikan interpenetrasi dari kehidupan dan kematian.
Nichiren mengatakan, “apa signifikansi dari myo? Itu adalah sifat misterius dari kehidupan kita dari waktu ke waktu, yang pikiran kita (the mind) tidak mampu memahaminya dan kata-kata tidak mampu mengungkapkannya. Ketika kita berusaha membaca pikiran (our own mind) kita sendiri, kita tidak merasakan warna atau pun bentuk (form) untuk memverifikasi bahwa ia eksis (the mind). Walaupun kita tetap tidak bisa mengatakan bahwa itu tidak eksis, karena berbagai pemikiran yang berbeda terus menerus ada—terjadi. The mind tidak bisa dianggap eksis ataup un tidak eksis. Kehidupan itu sendiri pada dasarnya adalah sebuah realitas elusif (sukar untuk dipahami) yang melampaui kata-kata dan konsep-konsep tentang eksistensi dan noneksistensi, tetapi menunjukkan kualitas keduanya. Adalah etitas mistis dari Jalan Tengah yang merupakan realitas tertinggi. Myo adalah nama yang diberikan kepada alam mistis kehidupan, dan ho adalah untuk manifestasi-manifestasinya. “
Renge: secara literal, Renge berarti bunga teratai (lotus flower), yang menyimbolkan keagungan Hukum ini. Karena teratai memproduksi biji dan bunganya pada saat yang bersamaan, renge merepresentasikan keseiringan antara sebab dan akibat. Ketika kita melakukan sebuah sebab, akibatnya telah nampak jauh di dalam kehidupan kita.
Sangat signifikan bahwa Myoho dan Renge dikombinasikan dalam satu frase. Myoho merujuk pada hubngan spiritual dan fisikal, mengingatkan kita bahwa sebab terdalam yang dapat kita buat adalah pada level spirit (ruh); dan realitas fisik muncul dari spirit. Perubahan pada diri spiritual kita menghasilkan perubahan pada apa yang kita lakukan, kata-kata kita, dan tindakan-tindakan kita; yang menyebabkan perubahan pada alam sekitar kita.
Kyo: berarti ajaran atau sutra. Juga bisa berarti suara, vibrasi atau ritme; karena sebuah sutra merupakan suatu suara yang teremanasi dari Buddha. Kuncinya bukan pada gurunya, tetapi pada ajarannya. Kita tidak menyembah orang, Sang Buddha. Kita memuja ajaran-ajarannya yang benar, karena ajaran-ajaran tersebut mengantarkan kita pada pencerahan. Ajaran yang kita rujuk adalah jantung atau maksud dari Lotus Sutra, pencerahan abadi yang melekat dalam kehidpuan, yang merupakan jalan menuju pencerahan bagi setiap manusia.
Kyo merupakan instruksi yang diajarkan antara Buddha dan yang lainnya. Ini merupakan sebuah jalan untuk menemukan Kebuddhaan kita sendiri dan kebuddhaan bagi masing-masing orang. Ajaran-ajaran kyo merupakan sumbernya, maknyanya, pintu masuknya, dan pintu bagi semua orang untuk membuka kondisi tercerahkan dari Kebuddhaan dalam diri mereka sendiri. Ini merupakan ajaran yang tidak memisahkan antara dunia spiritual dan dunia fenomenal (dunia nyata) dimana kita hidup. Ini menjelaskan bahwa bunyi dasar dari suara kita tidaklah terpisahkan dari spiritualitas dalam diri kita. Hidup kita tidak terpisahkan oleh ruang dan waktu dari keberadaan spiritual kita.
Kyo lagi-lagi merujuk pada interpenetrasi antara spiritual dan fisikal. Ajaran dari Sang Buddha sendiri. Namu myoho renge kyo merupakan kata-kata Seorang Buddha. Frase tersebut mengajarkan pada kita sifat Kebuddhaan alami dan mengajak kita untuk menuju alam Kebuddhaan kita sendiri. karena itu, setiap kali kita membacakan Namu-myoho-renge-kyo, kita telah menciptakan gelombang suara Buddha.
From the words of Nichiren, “If one understands that one’s life is myo, then one also understands that others’ lives are all entities of the Mystic Law. This realization is the mystic kyo, or sutra.”[2]

Perkembangan Nichiren di Jepang hingga masuknya ke Indonesia
Tahun 1294 adalah tahun dimulainya penyebaran ajaran Nichiren di Kyoto; kemudian terus berkembang hingga abad ke-14, terlepas dari penyiksaan yang mereka alami di Pegunungan Hiei. Antara aliran Pure-Land dan aliran Nichiren terus berperang hingga abad 16, sekitar tahun 1632 para pengikut sekte Nichiren diserang oleh sekte Pure-Land, hingga kurang lebih 58ribu orang menjadi korban. Bagaimana pun, ajaran Nichiren yang sederhana dan militan ini terus berkembang, mereka pun menyerang para prajurit dan agama lokal di sekitarnya. Ironisnya, ajaran ini merupakan ajaran Lotus Sutra yang mengajarkan keselamatan universal, yang kemudian dibentuk menjadi ajaran paling eksklusif, dan politis di Jepang. [3]
Masuknya Nichiren Shoshu ke Indonesia
Agama Buddha Nichiren Shoshu pertama-tama masuk ke Indonesia pada tahun 1950-an. Tahun 1964 dibentuk wadah bagi umat Nichiren Shoshu di Indonesia yaitu NSI (Nichiren Shoshu Indonesia). Organisasi umat Buddha Nichiren Shoshu Indonesia pertama-tama berupa yayasan yaitu Yayasan Buddhist Nichiren Shoshu.
Berkembang mula-mula di Jakarta. Sejak kepemimpinan Senosoenoto, agama Buddha Nichiren Shoshu berkembang luas hingga ke desa-desa. Hingga tahun 2005 ini umatnya telah tersebar di berbagai pelosok Indonesia.
Senosoenoto juga ikut mempelopori berdirinya wadah umat Buddha di Indonesia, WALUBI. Beliau menjadi Sekretaris Jenderal WALUBI pada tahun 1977 (saat itu masih bernama MABI ; Majelis Agama Buddha Indonesia) dengan Ketua Umum Brigjen TNI (purn) Soemantri.
Sepeninggalan almarhum Senosoenoto, umat Buddha Nichiren Shoshu di Indonesia berada dalam wadah tunggal Yayasan Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia (YPSBDI), yang diketuai oleh Pandita Aiko Senosoenoto.[4]


REFERENSI:
Kitagawa, Joseph. M. Religion in Japanese History. 1966. New York: Columbia University Press.
Smith Huston. The World’s Religion: Our Great Widsom Tradition. 1991. Stockbridge: Norman Rockwell Publishers.



[1] Dari http://www.nbba.tv “NamuMyohoRengeKyo” Penulistidakdiketahui; diaksespada 5 April 2013
[2]Dikutipdarihttp://www.nbba.tvartikelberjudul “NamuMyohoRengeKyo” penulistidakdiketahui, diaksespada 5 April 2013
[3]Joseph M. Kitagawa. Religion in Japanese History. 1966. Hal. 122


[1] Joseph M. Kitakawa. History of Japanese Religion. 1966. Hal 121
[2]Diaksesdarihttp://www.nshi.org/Nichiren “RiwayatHidupNichirenDaishonin”; diakses pada 5 April 2013 

0 comments:

Post a Comment