Tuesday, May 21, 2013

Eisai dan Sekte Rinzai

Eisai (1141-1215) mengkombinasikan dalam dirinya sendiri pendirian sosial dan keberagamaan dari Heian dan Kamakura. Sebagai seorang biarawan muda Tendai, ia merasa patah harapan menyadari penurunan persepsi Buddha tradisional dan pelajaran-pelajaran kebiaraan di Pegunungan Hiei. Penekanan gurunya bukanlah pada sebuah “keyakinan keselamatan” sebagaimana di aliran-aliran Honen, Shinran, dan Nichiren. Tujuan utamanya adalah dengan purifikasi (pemurnian) dan pemulihan keagungan Buddhisme tradisional di Jepang. Ia hidup pada masa ketika para biarawan dan pendeta terhimpun dalam kekuatan dan keberlimpahan, suatu kondisi dimana para aristrokrat beranggapan bahwa mengundang para bhiksu tampan bersuara merdu untuk menyanyikan sutra-sutra terdahulu merupakan sebuah hiburan.
Untuk mempelajari tradisi sebenarnya dari Tendai, Eisai mengunjungi Cina pada tahun 1168 dan menjadi tertarik pada Ch’an. Sekali lagi ia belajar di Cina pada tahun 1187-1191, mempelajari ajaran-ajaran lanjutan dari Ch’an. Meskipun aliran Rinzai di Jepang dipengaruhi oleh aliran Lin-ch’i di Cina, tetapi keduanya memiliki etos yang berbeda terhadap pemerintahan. Ch’an menekankan pada, “tidak adak kebergantungan pada kata-kata dan huruf-huruf; sebuah transmisi luar biasa di luar ajaran-ajaran yang telah diklasifikasikan; tujuan yang jelas pada pikiran manusia (mind of man); mencari sifat alami manusia (seeing into one’s true nature)”. Ch’an bahkan tidak menghormati raja atau pangeran yang berkuasa. Tetapi, Eisai mempelajari hukum dan mengobservasi kesamaan dalam aturan-aturan upacara dari praktik-praktik Tendai, Shingon dan Zen.

Tradisi Rinzai menekankan pada kensho, penglihatan batin terhadap sifat alami seseorang (one’s true nature). Hal ini dilanjutkan dengan sesuatu yang disebut praktik post-satori, kelanjutan dari praktik-praktik sebelumnya untuk mencapai Kebuddhaan.[1]
Selain itu, tradisi Rinzai juga menekankan pada interpretasi terhadap koan (paradoxical statement) yang hanya dapat diakses oleh para pencari yang sebenarnya (the serious seekers).[2]
Beberapa guru Zen yang lainnya juga mengekspresikan penglihatan sekejap yang diikuti oleh pengembangan (cultivation) secara bertahap. Untuk mencapai penglihatan batin ini dan untuk memperdalamnya, zazen dan memeditasikan koan dianggap sangat esensial.



[1] en.wikipedia.org/wiki/Zen
[2] Joseph M. Kitagawa. Religion in Japanese History. 1966. New York and London: Columbia University Press, hlm126. Terjemah oleh Fathimah al-Batul A.

0 comments:

Post a Comment