Sunday, May 26, 2013

Sekte Nichiren

Riwayat Hidup Nichiren 
Nichiren merupakan seorang yang sangat karismatik dalam sejarah keberagamaan Jepang. Para pengikutnya meyakini bahwa Nichiren adalah setengah manusia dan setengah Lotus-Sutra. Nichiren adalah seorang putera dari nelayan sederhana di kota Kominato—sebuah desa nelayan di Provinsi Awa (Chiba-ken). Ia dilahirkan pada 16 Februari 1222 dengan nama Nichiro atau sumber lain mengatakan Zennichiro atau Zennichi maro. Ia mulai pendidikan kebuddhaan pada usia 11 tahun dengan bantuan seorang wanita bangsawan yang dekat dengan keluarganya. Ia belajar di Kuil Kiyosumidera sebuah pusat pendidikan terbesar di daerah itu. Akan tetapi, Nichiren muda yang ketika itu diberi nama pendeta Rencho, merasa kuil tersebut tidak mampu memenuhi dahaganya terhadap ilmu pengetahuan. Ia melanjutkan pendidikannya di Kuil Hachimanguji di pusat wilayah de facto Jepang, Kamakura. Kuil tersebut merupakan pusat pendidikan sekte Tendai di Jepang. [1]
Kuil ini dikenal juga beraliran Hokke Shu atau Sekte Hokke karena mengamalkan Saddharma Pundarika Sutra sebagai Sutra dasar sekte ini. Nichiren muda memiliki dua pertanyaan mendasar; pertama adalah bagaimana ia bisa mengalami kepastian keselamatan? Sementara pertanyaan kedua adalah: mengapa pasukan kekaisaran dikalahkan oleh rezim Kamakura tahun 1221 terlepas dari doa dan inkarnasi yang ditawarkan oleh Tendai dan Shingon rohaniwan atas nama penyebab kekaisaran?
Ketika ia berusia 21 tahun, yaitu pada tahun 1242, ia menetap di Hieizan (gunung Hiei) hingga tahun 1253. Ia menetap hingga merasa yakin bahwa kunci terhadap dua pertanyaan utamanya terkandung di dalam Lotus-Sutra.Pada masa itu, Buddhisme telah berkembang sangat luas di Jepang. Telah terbentuk berbagai aliran yang baik itu datang dari Cina atau merupakan interaksi antara aliran lokal dengan aliran-aliran yang sudah ada sebelumnya; ataupun sinkretis beberapa aliran Buddha yang telah berkembang sebelumnya. Ennin memperkenalkan aliran Esoteric Buddhism dan Buddhism Pure-Land dari China dan mendirikan Taimitsu atau Sekolah Tendai Esoterik dan Tendai Jôdo Kyô atau Sekolah Tendai Tanah Suci di Hieizan. Buddha Sâkyamuni di Saddharma Pundarika Sutra diidentifikasikan dengan Buddha Amitâbha, dan pembacaan Nembutsu juga didorong untuk dibacakan bersama Saddharma Pundarika Sutra.
Pada tahun 1253 Nichiren memulai misi kenabiannya yaitu untuk mengajak manusia kembali kepada jalan Lotus-Sutra. Penyesalan terbesarnya adalah karena sekte Pure-Land, menolak untuk diajak kembali kepada Lotus-Sutra dan memilih untuk tetap mempraktikkan Nembutsu. Aliran Pure-Land terutama, meyakini bahwa Amida merupakan Buddha setelah Sakyamuni (Siddharta Gautama). Akan tetapi, dalam pandangan Nichiren, Buddha yang patut disembah adalah Sakyamuni; sehingga Nichiren beranggapan bahwa Pure-Land  telah menyimpang dari ajaran Buddhisme yang murni. Dalam hal ini, Nichiren mengajak para pengikut aliran Pure-Land untuk kembali ke jalan Lotus-Sutra.
Ajaran-ajaran Nichiren yang menentang aliran-aliran Buddha yang lain di Jepang diungkapkan sendiri olehnya: “those who practice invocation to Amitabha are due to suffer continuous punishment in Hell; the Zen sect is the devil; the Shingon sect is the ruiner of the country; the Ritsu sect is the enemy of the country”.
Karena sikapnya yang frontal dalam mengajarkan ajaran-ajarannya, Nichiren mendapat tekanan dari pemerintah yang pada saat itu mendukung aliran Tendai. Dalam pandangan Nichiren aliran-aliran yang ada telah melakukan banyak penyimpangan, terutama dengan menyanyikan atau melafalkan Nembutsu—NamuAmida Butsu (penyebutan nama Amida Buddha), selain itu dalam aliran Tendai sendiri pun sudah terjadi banyak penyimpangan. Beberapa kuil telah dijadikan pusat pelatihan militer dengan para bhiksu dilatih untuk berperang dan dipersiapkan sebagai tentara kerajaan. Berkali-kali ia mengalami percobaan pembunuhan yang diperintahkan oleh aliran-aliran yang menolak ajarannya. Dalam berbagai kisah, diceritakan bahwa kegagalan para pembunuh itu selalu disertai dengan keajaiban; misalnya ketika mereka telah mendapatkan kesempatan yang sangat baik untuk membunuh Nichiren, tiba-tiba ada cahaya yang sangat terang menyilaukan mata mereka, sehingga mereka ketakutan dan lari meninggalkan Nichiren. Para pengikut Nichiren merasa bahwa ini adalah berkah dari misi keilahian yang diemban oleh Nichiren.
Nichiren ingin mengembalikan dan memurnikan kembali ajaran Tendai, Pure-Land, dan Shingon. Ia memiliki visi yang jauh ke depan, dan ia memberitahukannya pada para pemerintah di masa itu tentang akan adanya bencana dan serangan dari Bangsa Mongol. Akan tetapi peringatan dari Nichiren tidak diindahkan, karena itu ketika Jepang tertimpa bencana gempa dasyat, Nichiren dan murid-muridnya telah menyelamatkan diri ke tempat yang aman, dan menyatakan bahwa gempa terjadi karena sedikitnya manusia yang mengambalkan Namu-myoho-renge-kyo dan lebih banyak melafalkan Nembutsu.
Setelah terjadinya gempa, semakin banyak orang yang mengikuti ajaran Nichiren, meskipun demikian, tekanan dari Pemerintah terus dilakukan, Nichiren sempat diasingkan ke Pulau Sodo, kemudian dipenjara, dan dengan sukarela mengasingkan diri ke Minobu. Di tempat-tempat pengasingan itu, Nichiren menuliskan esai-esai dan wasiat-wasiat bagi para muridnya.
Nichiren berada di Minobu ketika penyerangan bangsa Mongol. Karena pengikut Nichiren yang melafalkan Namu-myoho-renge-kyo sudah banyak, diyakini, karena itulah kapal-kapal bangsa Mongol diterjang dan ditenggelamkan Badai di perairan Jepang. Sebagian yang selamat melarikan diri ke Korea. Hal ini terus menyebabkan para pengikut Nichiren bertambah dan semakin bertambah.
Nichiren jatuh sakit pada tahun 1278. Beliau ingin menyembuhkan kesehatannya dengan mandi di sumber mata air panas di daerah Kakurai di propinsi Hitachi (lbaraki-ken). Beliau meninggalkan Minobu pada tanggal 8 September. Beliau tidak melewati kota Kamakura, dari mana beliau memulai perjalanan ke Minobu delapan tahun yg lalu. Nichiren tiba di tempat tinggal Ikegami Munenaka di daerah Ikegami di propinsi Musashi (Tokyo) pada tanggal 18 September. Pada tanggal 8 Oktober, beliau memilih dari antara murid2nya, Rokurôsô atau Enam Murid Senior: Nisshô Nichirô Nikkô Nikô, Nitchô and Nichiji, Nichiren meninggal di Ikegami pada tanggal 13 October 1282, pada usia enam puluh tahun.[2]

Makna mantra Namu-Myoho-Renge-Kyo[1]
Mantra dari aliran Nichiren ini adalah Namu-Myoho-Renge-Kyo. Maknanya adalah:
Namu or Nam: Nam merupakan kependekan dari Namu yang digunakan oleh beberapa aliran Buddhisme lainnya. Namu berarti kesetiaan. Pada beberapa momen dalam kehidupan; kita semua ‘mengarah’ pada satu jalan tertentu. Contohnya, ketika bekerja pikiran kita mungkin tersedot oleh detail-detail pekerjaan kita; pada saat itu, seluruh kehidupan kita terpusat pada pekerjaan; kita berpikir tentang pekerjaan dan melakukan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan tersebut. Ketika kita melafalkan Namu myoho renge kyo, kita memfokuskan pikiran kita pada Kebuddhaan dalam kehidupan.
Myoho: Myo merujuk pada aspek spiritual dalam kehidupan; sementara Ho merujuk pada aspek fisikal atau material dalam kehidupan. Mengombinasikan keduanya menjadi satu kata merepresentasikan interpenetrasi dari keduanya; aspek spiritual dan fisikal saling menyatu. Myo juga berarti kehidupan sementara ho kematian; lagi-lagi keduanya adalah dua hal yang merepresentasikan interpenetrasi dari kehidupan dan kematian.
Nichiren mengatakan, “apa signifikansi dari myo? Itu adalah sifat misterius dari kehidupan kita dari waktu ke waktu, yang pikiran kita (the mind) tidak mampu memahaminya dan kata-kata tidak mampu mengungkapkannya. Ketika kita berusaha membaca pikiran (our own mind) kita sendiri, kita tidak merasakan warna atau pun bentuk (form) untuk memverifikasi bahwa ia eksis (the mind). Walaupun kita tetap tidak bisa mengatakan bahwa itu tidak eksis, karena berbagai pemikiran yang berbeda terus menerus ada—terjadi. The mind tidak bisa dianggap eksis ataup un tidak eksis. Kehidupan itu sendiri pada dasarnya adalah sebuah realitas elusif (sukar untuk dipahami) yang melampaui kata-kata dan konsep-konsep tentang eksistensi dan noneksistensi, tetapi menunjukkan kualitas keduanya. Adalah etitas mistis dari Jalan Tengah yang merupakan realitas tertinggi. Myo adalah nama yang diberikan kepada alam mistis kehidupan, dan ho adalah untuk manifestasi-manifestasinya. “
Renge: secara literal, Renge berarti bunga teratai (lotus flower), yang menyimbolkan keagungan Hukum ini. Karena teratai memproduksi biji dan bunganya pada saat yang bersamaan, renge merepresentasikan keseiringan antara sebab dan akibat. Ketika kita melakukan sebuah sebab, akibatnya telah nampak jauh di dalam kehidupan kita.
Sangat signifikan bahwa Myoho dan Renge dikombinasikan dalam satu frase. Myoho merujuk pada hubngan spiritual dan fisikal, mengingatkan kita bahwa sebab terdalam yang dapat kita buat adalah pada level spirit (ruh); dan realitas fisik muncul dari spirit. Perubahan pada diri spiritual kita menghasilkan perubahan pada apa yang kita lakukan, kata-kata kita, dan tindakan-tindakan kita; yang menyebabkan perubahan pada alam sekitar kita.
Kyo: berarti ajaran atau sutra. Juga bisa berarti suara, vibrasi atau ritme; karena sebuah sutra merupakan suatu suara yang teremanasi dari Buddha. Kuncinya bukan pada gurunya, tetapi pada ajarannya. Kita tidak menyembah orang, Sang Buddha. Kita memuja ajaran-ajarannya yang benar, karena ajaran-ajaran tersebut mengantarkan kita pada pencerahan. Ajaran yang kita rujuk adalah jantung atau maksud dari Lotus Sutra, pencerahan abadi yang melekat dalam kehidpuan, yang merupakan jalan menuju pencerahan bagi setiap manusia.
Kyo merupakan instruksi yang diajarkan antara Buddha dan yang lainnya. Ini merupakan sebuah jalan untuk menemukan Kebuddhaan kita sendiri dan kebuddhaan bagi masing-masing orang. Ajaran-ajaran kyo merupakan sumbernya, maknyanya, pintu masuknya, dan pintu bagi semua orang untuk membuka kondisi tercerahkan dari Kebuddhaan dalam diri mereka sendiri. Ini merupakan ajaran yang tidak memisahkan antara dunia spiritual dan dunia fenomenal (dunia nyata) dimana kita hidup. Ini menjelaskan bahwa bunyi dasar dari suara kita tidaklah terpisahkan dari spiritualitas dalam diri kita. Hidup kita tidak terpisahkan oleh ruang dan waktu dari keberadaan spiritual kita.
Kyo lagi-lagi merujuk pada interpenetrasi antara spiritual dan fisikal. Ajaran dari Sang Buddha sendiri. Namu myoho renge kyo merupakan kata-kata Seorang Buddha. Frase tersebut mengajarkan pada kita sifat Kebuddhaan alami dan mengajak kita untuk menuju alam Kebuddhaan kita sendiri. karena itu, setiap kali kita membacakan Namu-myoho-renge-kyo, kita telah menciptakan gelombang suara Buddha.
From the words of Nichiren, “If one understands that one’s life is myo, then one also understands that others’ lives are all entities of the Mystic Law. This realization is the mystic kyo, or sutra.”[2]

Perkembangan Nichiren di Jepang hingga masuknya ke Indonesia
Tahun 1294 adalah tahun dimulainya penyebaran ajaran Nichiren di Kyoto; kemudian terus berkembang hingga abad ke-14, terlepas dari penyiksaan yang mereka alami di Pegunungan Hiei. Antara aliran Pure-Land dan aliran Nichiren terus berperang hingga abad 16, sekitar tahun 1632 para pengikut sekte Nichiren diserang oleh sekte Pure-Land, hingga kurang lebih 58ribu orang menjadi korban. Bagaimana pun, ajaran Nichiren yang sederhana dan militan ini terus berkembang, mereka pun menyerang para prajurit dan agama lokal di sekitarnya. Ironisnya, ajaran ini merupakan ajaran Lotus Sutra yang mengajarkan keselamatan universal, yang kemudian dibentuk menjadi ajaran paling eksklusif, dan politis di Jepang. [3]
Masuknya Nichiren Shoshu ke Indonesia
Agama Buddha Nichiren Shoshu pertama-tama masuk ke Indonesia pada tahun 1950-an. Tahun 1964 dibentuk wadah bagi umat Nichiren Shoshu di Indonesia yaitu NSI (Nichiren Shoshu Indonesia). Organisasi umat Buddha Nichiren Shoshu Indonesia pertama-tama berupa yayasan yaitu Yayasan Buddhist Nichiren Shoshu.
Berkembang mula-mula di Jakarta. Sejak kepemimpinan Senosoenoto, agama Buddha Nichiren Shoshu berkembang luas hingga ke desa-desa. Hingga tahun 2005 ini umatnya telah tersebar di berbagai pelosok Indonesia.
Senosoenoto juga ikut mempelopori berdirinya wadah umat Buddha di Indonesia, WALUBI. Beliau menjadi Sekretaris Jenderal WALUBI pada tahun 1977 (saat itu masih bernama MABI ; Majelis Agama Buddha Indonesia) dengan Ketua Umum Brigjen TNI (purn) Soemantri.
Sepeninggalan almarhum Senosoenoto, umat Buddha Nichiren Shoshu di Indonesia berada dalam wadah tunggal Yayasan Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia (YPSBDI), yang diketuai oleh Pandita Aiko Senosoenoto.[4]


REFERENSI:
Kitagawa, Joseph. M. Religion in Japanese History. 1966. New York: Columbia University Press.
Smith Huston. The World’s Religion: Our Great Widsom Tradition. 1991. Stockbridge: Norman Rockwell Publishers.



[1] Dari http://www.nbba.tv “NamuMyohoRengeKyo” Penulistidakdiketahui; diaksespada 5 April 2013
[2]Dikutipdarihttp://www.nbba.tvartikelberjudul “NamuMyohoRengeKyo” penulistidakdiketahui, diaksespada 5 April 2013
[3]Joseph M. Kitagawa. Religion in Japanese History. 1966. Hal. 122


[1] Joseph M. Kitakawa. History of Japanese Religion. 1966. Hal 121
[2]Diaksesdarihttp://www.nshi.org/Nichiren “RiwayatHidupNichirenDaishonin”; diakses pada 5 April 2013 

Tripitaka

Tipitaka adalah terma yang digunakan dalam tradisi Buddha untuk menunjukkan manuskrip-manuskripnya. Tipitaka berasal dari bahasa Pali. Ti berarti tiga, pitakaberarti keranjang. Nama lain tipitaka dalam bahasa Sanskrit adalah Tripitaka.Tipitaka, atau Tripitaka, dan teks-teks parakanonikal (komentar [syarah], kronik, dll) menyusun seluruh bangunan manuskrip mazhab Buddha Theradava klasik. Ekspresi "Tiga Basket" merujuk kepada tiga wadah yang terdiri dari gulungan-gulungan di mana manuskrip agama Buddha tetap terpelihara. Tripitaka secara tradisional terdiri dari tiga "keranjang" ajaran: Vinaya Pitaka (bahasa Pali & Sanskrit), Sutta Pitaka (Pali; Sanskrit: Sutra Pitaka) dan Abhidhamma Pitaka (Pali; Sanskrit: Abhidharma Pitaka).


[1] Vinaya Pitaka

Terdiri dari kumpulan teks terkait dengan aturan-aturan tentang tingkah-laku yang mengatur relasi sehari-hari di dalam Sangha—komunitas bhikkhus(pertapa yang telah ditasbihkan) dan bhikkhunis(biarawan yang telah ditasbihkan). Selain memang banyak memuat aturan-aturan, Vinaya Pitaka juga memuat kisah-kisah dibalik asal-asul masing-masing aturan tersebut. Pada Vinaya juga terdapat catatan yang mendetail mengenai jawaban Buddha atas pertanyaan bagaimana mempertahankan harmoni komunal di dalam komunitas spiritual yang besar dan beragam.

[2] Sutta Pitaka
Terdiri dari kumpulan suttas atau ceramah yang dinisbatkan kepada Buddha dan segelintir murid-murid terdekatnya. Sutta memuat seluruh ajaran sentral dari "mazhab" Theravada. Sutta dibagi ke dalam lima nikayas (kumpulan atau koleksi)
  1. Digha Nikaya (koleksi dengan teks-teks panjang)
  2. Majjhima Nikaya (koleksi dengan teks-teks cukup panjang)
  3. Samyutta Nikaya (koleksi yang teks-teksnya dikelompokkan)
  4. Anguttara Nikaya (koleksi yang teks-teksnya disusun lebih jauh)
  5. Khuddaka Nikaya (koleksi dengan teks-teks pendek) 
  • Khuddakapatha
  • Dhammapada
  • Udana
  • Itivuttaka
  • Sutta Nipata
  • Vimanavatthu
  • Petavatthu
  • Theragatha
  • Therigatha
  • Jataka
  • Niddesa
  • Patisambhidamagga
  • Apadana
  • Buddhavamsa
  • Cariyapitaka
  • Nettippakarana (hanya termasuk di dalam Tipitaka edisi bahasa Birma)
  • Petakopadesa
  • Milindapañha

[2] Abhidhamma Pitaka
Prinsip-prinsip doktrinal yang dihadirkan dalam Sutta Pitaka diolah dan diorganisir kembali ke dalam kerangka sistematis yang dapat diterapkan dalam penelusuran sifat-dasar pikiran dan materi. Itulah yang dimuat dalam Abhidhamma Pitaka. 

Bagi yang ingin mengunduh kitab Tipitaka dalam bahasa Pali, sila klik TIPITAKA 

tulisan ini disadur dari Pondok Tradisi

Saturday, May 25, 2013

Peta Penyebaran Agama Buddha


Di atas adalah peta penyebaran agama Buddha hingga abad ke 6M. Berdasarkan tersebut, Agama Buddha telah tersebar ke berbagai penjuru dari negeri asalnya, India. Sejak abad pertama, Buddha telah sampai ke kawasan Asia Tengah--daerah-daerah yang sekarang menjadi Mongolia, Uzbekistan, dan lain sebagainya--juga sebagian Cina. tapi perjalanan ke Cina daratan,
Abad ke 4-5M, Agama Buddha telah menyebar melalui Mongolia dan Kawasan Asia Tengah serta Pegunungan Himalaya, selanjutnya dari Cina tersebar ke Korea dan Jepang. Sementara ke tenggara, pada abad ke 5-6 hingga Indonesia dan Thailan, dari Thailand perjalanan dilanjutkan ke Cina. Kawasan-kawasan sekitar India, Seperti Nepal, Tibet dan Sri Lanka yang kini bisa disebut sebagai negara-negara Buddhis, telah mendapat pengaruh agama Buddha sejak abad pertama Masehi.
sumber dan keterangan lebih lanjut dapat dilihat di Buddhist Conversion, lasalle

ebook buddha

Wednesday, May 22, 2013

Dogen dan Sekte Soto di Jepang

Dalam beberapa hal, Dogen sangat berbeda dengan Eisai. Dilahirkan dari sebuah keluarga dari garis keturunan terhormat, Dogen mengalami tragedi kehilangan kedua orang tuanya di usia yang sangat muda. Menyadari kefanaan dunia ini, pada usia 13 tahun, Dogen memasuki Biara Tendai di Pegunungan Hiei. Pencariannya terhadap “kepastian” dalam mencapai Kebuddhaan mengantarkannya keluar dari Pegununangan Hiei, pertama ia datang pada guru Pure Land, dan kemudian Myozen, salah seorang murid dari Eisai. Pada 1223, Dogen pergi ke Cina, masih dengan misi yang sama, mencari seseorang yang benar-benar telah mencapai pencerahan, dan pada kesempatan itu ia bertemu dengan Ju-ching, seorang Master Ch’an pada Biara T’ien-t’ung. Dibawah bimbingan Ju-Ching, Dogen mencapai “pencerahan”. Kemudian ia kembali ke Jepang pada tahun 1227, mencoba mentransmisikan capaian penglihatan batin barunya tanpa membangun sekte yang baru. Bagaimana pun tradisinya dengan cepat membentuk satu sekte atau aliran independen yang dikenal dengan Soto (bahasa Jepang dari Ts’ao-tung).
Aliran Soto ini menekankan pada praktik Shinkataza, yaitu sekedar duduk. Istilah ini pertama kali digunakan oleh guru dari Dogen dan secara literal berarti, “nothing but (shikan) precisely (da) sitting (za).” Dengan kata lain, maksud Dogen adalah, “hanya melakukan zazen dengan sepenuh hati” atau “menyatukan pikiran dalam duduk”.[1] Shinkataza mengimplikasikan “sekedar duduk”. Steve Hagen mendeskripsikan kata bahasa Jepang dari empat bagian: shi berarti tranquility, kedamaian; kan berarti awareness, kesadaran; ta berarti hitting exactly the right spot (note one atom off), mengenai titik yang sangat tepat (tidak satu atom pun luput); dan za berarti duduk.
Sebuah terjemah dari shinkataza ditawarkan oleh Kobun Chino Otogawa memberikan beberapa pandangan tambahan: shikan berarti murni, satu dan hanya untuk itu. Ta merupakan kata yang sangat kuat, yang menunjukkan aktivitas keberpindahan. Ketika kau memukul, gerakan tersebut disebut ta. Dan za memiliki makna yang sama dengan zazen, duduk. (Shikan means pure, one, only for it. Ta is a very strong word. It shows moving activity. When you hit, that movement is called ta, so strike is ta. Za is the same as in the word zazen, sitting.)[2]

Tuesday, May 21, 2013

Eisai dan Sekte Rinzai

Eisai (1141-1215) mengkombinasikan dalam dirinya sendiri pendirian sosial dan keberagamaan dari Heian dan Kamakura. Sebagai seorang biarawan muda Tendai, ia merasa patah harapan menyadari penurunan persepsi Buddha tradisional dan pelajaran-pelajaran kebiaraan di Pegunungan Hiei. Penekanan gurunya bukanlah pada sebuah “keyakinan keselamatan” sebagaimana di aliran-aliran Honen, Shinran, dan Nichiren. Tujuan utamanya adalah dengan purifikasi (pemurnian) dan pemulihan keagungan Buddhisme tradisional di Jepang. Ia hidup pada masa ketika para biarawan dan pendeta terhimpun dalam kekuatan dan keberlimpahan, suatu kondisi dimana para aristrokrat beranggapan bahwa mengundang para bhiksu tampan bersuara merdu untuk menyanyikan sutra-sutra terdahulu merupakan sebuah hiburan.
Untuk mempelajari tradisi sebenarnya dari Tendai, Eisai mengunjungi Cina pada tahun 1168 dan menjadi tertarik pada Ch’an. Sekali lagi ia belajar di Cina pada tahun 1187-1191, mempelajari ajaran-ajaran lanjutan dari Ch’an. Meskipun aliran Rinzai di Jepang dipengaruhi oleh aliran Lin-ch’i di Cina, tetapi keduanya memiliki etos yang berbeda terhadap pemerintahan. Ch’an menekankan pada, “tidak adak kebergantungan pada kata-kata dan huruf-huruf; sebuah transmisi luar biasa di luar ajaran-ajaran yang telah diklasifikasikan; tujuan yang jelas pada pikiran manusia (mind of man); mencari sifat alami manusia (seeing into one’s true nature)”. Ch’an bahkan tidak menghormati raja atau pangeran yang berkuasa. Tetapi, Eisai mempelajari hukum dan mengobservasi kesamaan dalam aturan-aturan upacara dari praktik-praktik Tendai, Shingon dan Zen.

Tradisi Rinzai menekankan pada kensho, penglihatan batin terhadap sifat alami seseorang (one’s true nature). Hal ini dilanjutkan dengan sesuatu yang disebut praktik post-satori, kelanjutan dari praktik-praktik sebelumnya untuk mencapai Kebuddhaan.[1]
Selain itu, tradisi Rinzai juga menekankan pada interpretasi terhadap koan (paradoxical statement) yang hanya dapat diakses oleh para pencari yang sebenarnya (the serious seekers).[2]
Beberapa guru Zen yang lainnya juga mengekspresikan penglihatan sekejap yang diikuti oleh pengembangan (cultivation) secara bertahap. Untuk mencapai penglihatan batin ini dan untuk memperdalamnya, zazen dan memeditasikan koan dianggap sangat esensial.



[1] en.wikipedia.org/wiki/Zen
[2] Joseph M. Kitagawa. Religion in Japanese History. 1966. New York and London: Columbia University Press, hlm126. Terjemah oleh Fathimah al-Batul A.

School of Buddhism


This is a Mind Map of The Contemporary Buddhism School. I'll tried to post the explanation later :D
This Mind Ma was made by James Kennedy from Beijing.


Monday, May 20, 2013

Tripitaka Holy Book, Compilation in Pali

The Tipitaka (Pali ti, "three," + pitaka, "baskets"), or Pali canon, is the collection of primary Pali language texts which form the doctrinal foundation of Theravada Buddhism. The Tipitaka and the paracanonical Pali texts (commentarieschronicles, etc.) together constitute the complete body of classical Theravada texts.
The Pali canon is a vast body of literature: in English translation the texts add up to thousands of printed pages. Most (but not all) of the Canon has already been published in English over the years. Although only a small fraction of these texts are available on this website, this collection can be a good place to start.
The three divisions of the Tipitaka are:
Vinaya Pitaka
The collection of texts concerning the rules of conduct governing the daily affairs within the Sangha — the community of bhikkhus (ordained monks) and bhikkhunis (ordained nuns). Far more than merely a list of rules, the Vinaya Pitaka also includes the stories behind the origin of each rule, providing a detailed account of the Buddha's solution to the question of how to maintain communal harmony within a large and diverse spiritual community.
Sutta Pitaka
The collection of suttas, or discourses, attributed to the Buddha and a few of his closest disciples, containing all the central teachings of Theravada Buddhism. (More than one thousand sutta translations are available on this website.) The suttas are divided among five nikayas (collections):
Abhidhamma Pitaka
The collection of texts in which the underlying doctrinal principles presented in the Sutta Pitaka are reworked and reorganized into a systematic framework that can be applied to an investigation into the nature of mind and matter.
Source: Tipitaka: The Pali Canon
To download the Tipitaka in Pali language: Tipitaka.rar

Wednesday, May 15, 2013

Introduction to Buddhism and the Practice of Zazen

Every day is a fine day

E-book

Tuesday, May 14, 2013

The Early Life of Siddharta Gaotama

This is a video about early life of Siddharta Gaotama, check this out:



Sunday, May 5, 2013

The Liturgy of Nichiren Daishonin's Buddhism

How to Practice Zazen

The Zen of Advaita

Thursday, May 2, 2013

Understanding the awakening of Faith in the Mahayana

With My Zen Mind

Zazen Practice: A Guideline for Beginners

Wednesday, May 1, 2013

Penyebaran Agama Buddha di India

IndiaAsoka captial

In the centuries following the Buddha's lifetime, His followers faithfully preserved His teachings and spread it not only throughout India, but also to many countries in Asia and lately even to Europe and America. During the first five hundred years after the Buddha's Final Nirvana, the Teaching and Discipline were not yet written down. Instead, they were retained in the memories of the monks who periodically assembled to recite and review them. A number of councils were held during this period to make sure that the Buddha's teachings were transmitted accurately.

The First Council

The first council arose out of Maha Kashyapa's concern for the future of the Dharma, as a result of the following incident. Maha Kashyapa was proceeding to Kushinagara at the head of a large assembly of monks when he was informed of the Buddha's Final Nirvana. On hearing this news, some monks were very sad, but one monk said that they should not grieve because they were free to do as they wished, now that the Buddha was no more with them. This remark made Maha Kashyapa uneasy. He was concerned that the Buddha's teachings would eventually disappear unless action was taken to preserve it.

Therefore, after the Buddha's body had been cremated and His relies distributed, Maha Kashyapa, with the support of many of the senior monks, decided to hold a council. At this council, the monks would come to an agreement on the Teaching and Discipline that the Buddha had taught. Maha Kashyapa presided over this first council, which was held at Rajagriha. He began by questioning Upali on the rules governing the life of the monastic community. Based on Upali's answers, the content of the Discipline (Vinaya) was agreed upon. Similarly, Maha Kashyapa questioned Ananda on the sermons taught by the Buddha. Based upon his answers, the Teaching (Dharma) was established.

The Second Council

About a hundred years after the Buddha's Final Nirvana, a second council was held at Vaishali. The purpose of this council was to settle a disagreement that had arisen between a group of monks and the elders of the Order. This group of monks resented the exclusive authority of the elders and wanted greater freedom in the application of the rules of the Discipline. They adopted practices, which many of the elders considered to be breaches of the rules of the Discipline. These practices included trivial items as well as more significant ones, such as the practice of accepting gold and silver.

With regard to the Teaching, these dissenting monks did not agree that becoming an Arhat was the highest attainment possible for most people. They believed that the Arhats, who did not possess the extraordinary qualities of the Buddha, were still fallible in many ways. According to them, the only goal worthy of attainment was buddhahood. Moreover, the dissenting monks felt that their views represented the original spirit of the Buddha's teachings.

At the second council, the practices of the dissenting monks were declared to be unacceptable. The dissenting monks, however, refused to accept the decision of the council and proceeded to hold their own council elsewhere. They called themselves the "Great Community" because they were sympathetic to the concerns of the majority of the ordinary monks and the lay community, and had their support.

The division between the monks of the "Great Community" and the elders gradually led to the appearance of two major Buddhist traditions: Theravada (Way of the Elders) and Mahayana (the Great Way). Although both traditions acknowledge the Buddha as their Teacher, they differ in some of the rules of monastic discipline. They also differ in the goal of religious practice. The Theravada tradition generally teaches that the highest goal, which most people can aspire to, is becoming an Arhat. The Mahayana tradition, however, teaches that the only worthy goal for all is the attainment of buddhahood.

The Third Council

The third council was held at Pataliputra during the reign of Emperor Ashoka, the renowned Buddhist monarch of the third century B.C. The conversion of Emperor Ashoka to Buddhism led to lavish royal patronage of Buddhist monks and monasteries. This inevitably led to many non-Buddhists joining the Order not because they were genuinely interested in Buddhism but because it enjoyed royal patronage. These newcomers tended to retain their old beliefs and practices although they now belonged to the Buddhist Order. Therefore, the third council was held to remove these beliefs and practices which were not part of the Buddha's teachings.

During the course of the council, several unorthodox beliefs were reviewed, one of which was the belief in an independent and permanent self. These beliefs were rejected and their exponents expelled from the Order. The council also compiled the Buddhist teachings, which by now included not only the Teaching and the Discipline, but also Buddhist Philosophy and Psychology (Abhidharma).

Emperor Ashoka's Contribution to Buddhism

As a prince, Ashoka was known for his ruthless character. When he heard that his father was dying, he hurried to the capital and eliminated all his rivals to the throne. Ashoka had ambitious plans to expand his empire through military conquests. In his invasion of the neighbouring state of Kalinga, many thousands were killed, wounded or captured. The tremendous loss of lives in this invasion proved a turning point in the life of Ashoka. Disenchanted with war, he decided not to undertake any more military expeditions. He turned to religion instead and soon became a devoted Buddhist.

Ashoka came to respect the value of life. He drastically reduced the number of animals that were killed to sustain his household. While other kings went on hunting excursions, Ashoka went on pilgrimages to holy places. He had trees planted, wells dug and hospitals opened not only within his own territory, but also in the lands of his neighbours.

Ashoka taught people not to harbour unwholesome thoughts like greed and anger, but to cultivate moral values such as respect for truth, loving-kindness and charity. He also encouraged them to be tolerant of all faiths and to show reverence to holy men. Through his proclamations carved on rocks and pillars, and through his missionaries, he hoped to improve the character of people.

Ashoka sent Buddhist missionaries to the far corners of the known world. Some of these missionaries went southwards to Sri Lanka where they were well received. Soon Sri Lanka became a stronghold of Buddhism.

The Fourth Council


The fourth council was held in the first century C.E. under the patronage of Kanishka, a powerful king who ruled in the north-western part of India. After his conversion to Buddhism, Kanishka became interested in the Teaching of the Buddha. Each day, he sent for a monk to instruct him in the Teaching. However, the king was confused when each monk gave instructions differing from the others. Finally, on the advice of a monk, he held a council at which the various Buddhist interpretations of the Teaching were represented and reviewed.

Furthermore, the council compiled commentaries on the three divisions of the Buddhist scriptures, that is, the Teaching, the Discipline and the Philosophy and Psychology. These commentaries gave interpretations that were agreed upon by a majority of the monks present at the council.

The Role of Buddhism in Later Indian Culture

Depiction of the ParinibbanaFor more than a thousand years after the fourth council, Buddhism flourished and enjoyed the patronage of many kings throughout India. Great monastic universities like that of Nalanda (near Rajagriha) were built and generations of scholars from India as well as the rest of Asia were taught there. Magnificent Buddhist paintings, sculptures and other monuments were created, many of which can still be seen today, for example, at Ajanta.

During this period also, Buddhist scholars composed outstanding works in the fields of Ethics, Philosophy and even Logic. Eminent scholars like Nagarjuna and the two brothers, Asanga and Vasubhandu, made important contributions to the philosophy of Mahayana Buddhism. As a result of their efforts, Mahayana Buddhism gained greater popularity throughout India.

Nagarjuna was born in the southern part of India towards the end of the first century CE According to legend, his parents had long wanted a son, so they rejoiced at his birth. However, their happiness soon turned to sorrow when a local soothsayer told them that the boy would not live beyond the age of seven. When the boy's seventh birthday drew near, his parents, who did not want to see him die before their eyes, sent him on a journey accompanied by attendants. At the great monastic university of Nalanda, Nagarjuna met a renowned Buddhist monk. This monk advised him that he could escape from his premature death by renouncing the family life and reciting the mantra of the Buddha of Limitless Life (Amitayus). Nagarjuna did as he was advised and lived to become one of the greatest philosophers Buddhism has ever known.

Nagarjuna wrote many books explaining the profound teaching of "Emptiness". These works rank among the best of the philosophical writings ever produced by man. Widely regarded as a Bodhisattva, Nagarjuna gained great fame in India.
Later, when Buddhism reached China, Japan, Tibet and Mongolia, he also received the reverence of Buddhists in these countries.

The two brothers, Asanga and Vasubandhu, were well known Buddhist scholars who lived in the fourth century CE Like Nagaduna, they contributed greatly to Buddhist philosophy. Both wrote many books describing the role of the mind in the origin of suffering and in the attainment of buddhahood. Buddhists of the Mahayana tradition believe that Asanga received instruction directly from Maitreya, the future Buddha, and wrote down what he was taught for the benefit of others.

As Mahayana Buddhism became more popular, many Buddhists in India began to look to the great Buddhas and Bodhisattvas like Amitabha, Avalokiteshvara and Manjushri, for encouragement and inspiration. During this period, there was an increase in the creation of images representing these Buddhas and Bodhisattvas. These images served as a reminder to the Mahayana Buddhists of the qualities of buddhahood such as limitless life, compassion and wisdom.

Vajrayana Buddhism (the Diamond Way) also appeared during this period. Like Mahayana, Vajrayana Buddhism teaches that buddhahood is attainable by all. It differs from Mahayana, however, in some of the methods that it uses for achieving this goal. These methods, which include meditation upon special forms of the Buddha and the recitation of mantras, can help one attain buddhahood more quickly.

After the thirteenth century, Buddhism largely disappeared from India, leaving only a few Buddhist communities in the Himalayas and in what is now Bangladesh. It left, however, a lasting impression on Indian life and culture. The ideas of renunciation, non-violence, karma and freedom from rebirth as they are now found in Indian religion, owe much to Buddhist influence. In addition, Buddhism has contributed its sense of social justice, tolerance and democracy to Indian life. In recent years, Buddhism has again won new followers and fresh recognition in India.

Sumber dan keterangan lebih lanjut dapat dilihat di: Situs Informasi dan Jaringan Buddhisme

Nichiren Shonin di Pertapaan Gunung Minobu

The Life of Buddha Gautama