Riwayat Hidup Nichiren
Nichiren merupakan seorang yang sangat karismatik dalam
sejarah keberagamaan Jepang. Para pengikutnya meyakini bahwa Nichiren adalah
setengah manusia dan setengah Lotus-Sutra.
Nichiren adalah seorang putera dari nelayan sederhana di kota
Kominato—sebuah desa nelayan di Provinsi Awa (Chiba-ken). Ia dilahirkan pada 16
Februari 1222 dengan nama Nichiro atau sumber lain mengatakan Zennichiro atau
Zennichi maro. Ia mulai pendidikan kebuddhaan pada usia 11 tahun dengan bantuan
seorang wanita bangsawan yang dekat dengan keluarganya. Ia belajar di Kuil
Kiyosumidera sebuah pusat pendidikan terbesar di daerah itu. Akan tetapi,
Nichiren muda yang ketika itu diberi nama pendeta Rencho, merasa kuil tersebut
tidak mampu memenuhi dahaganya terhadap ilmu pengetahuan. Ia melanjutkan
pendidikannya di Kuil Hachimanguji di pusat wilayah de facto Jepang, Kamakura.
Kuil tersebut merupakan pusat pendidikan sekte Tendai di Jepang. [1]
Kuil ini dikenal juga beraliran Hokke Shu atau Sekte Hokke
karena mengamalkan Saddharma Pundarika
Sutra sebagai Sutra dasar sekte ini. Nichiren muda memiliki dua pertanyaan
mendasar; pertama adalah bagaimana ia bisa mengalami kepastian keselamatan?
Sementara pertanyaan kedua adalah: mengapa pasukan kekaisaran dikalahkan oleh
rezim Kamakura tahun 1221 terlepas dari doa dan inkarnasi yang ditawarkan oleh
Tendai dan Shingon rohaniwan atas nama penyebab kekaisaran?
Ketika ia berusia 21 tahun, yaitu pada tahun 1242, ia menetap
di Hieizan (gunung Hiei) hingga tahun 1253. Ia menetap hingga merasa yakin
bahwa kunci terhadap dua pertanyaan utamanya terkandung di dalam Lotus-Sutra.Pada masa itu, Buddhisme
telah berkembang sangat luas di Jepang. Telah terbentuk berbagai aliran yang
baik itu datang dari Cina atau merupakan interaksi antara aliran lokal dengan
aliran-aliran yang sudah ada sebelumnya; ataupun sinkretis beberapa aliran
Buddha yang telah berkembang sebelumnya. Ennin memperkenalkan aliran Esoteric Buddhism dan Buddhism Pure-Land dari China dan
mendirikan Taimitsu atau Sekolah Tendai Esoterik dan Tendai Jôdo Kyô atau Sekolah Tendai Tanah Suci
di Hieizan. Buddha Sâkyamuni di Saddharma Pundarika Sutra diidentifikasikan
dengan Buddha Amitâbha, dan pembacaan Nembutsu juga didorong untuk dibacakan
bersama Saddharma Pundarika Sutra.
Pada tahun 1253 Nichiren memulai misi kenabiannya yaitu untuk
mengajak manusia kembali kepada jalan Lotus-Sutra.
Penyesalan terbesarnya adalah karena sekte Pure-Land, menolak untuk diajak kembali kepada Lotus-Sutra dan memilih untuk tetap mempraktikkan Nembutsu. Aliran Pure-Land terutama, meyakini bahwa Amida
merupakan Buddha setelah Sakyamuni (Siddharta Gautama). Akan tetapi, dalam
pandangan Nichiren, Buddha yang patut disembah adalah Sakyamuni; sehingga
Nichiren beranggapan bahwa Pure-Land telah menyimpang dari ajaran Buddhisme yang
murni. Dalam hal ini, Nichiren mengajak para pengikut aliran Pure-Land untuk kembali ke jalan Lotus-Sutra.
Ajaran-ajaran Nichiren yang menentang aliran-aliran Buddha
yang lain di Jepang diungkapkan sendiri olehnya: “those who practice invocation to Amitabha are due to suffer continuous
punishment in Hell; the Zen sect is the devil; the Shingon sect is the ruiner
of the country; the Ritsu sect is the enemy of the country”.
Karena sikapnya yang frontal dalam mengajarkan
ajaran-ajarannya, Nichiren mendapat tekanan dari pemerintah yang pada saat itu
mendukung aliran Tendai. Dalam pandangan Nichiren aliran-aliran yang ada telah
melakukan banyak penyimpangan, terutama dengan menyanyikan atau melafalkan
Nembutsu—NamuAmida Butsu (penyebutan
nama Amida Buddha), selain itu dalam aliran Tendai sendiri pun sudah terjadi
banyak penyimpangan. Beberapa kuil telah dijadikan pusat pelatihan militer
dengan para bhiksu dilatih untuk berperang dan dipersiapkan sebagai tentara
kerajaan. Berkali-kali ia mengalami percobaan pembunuhan yang diperintahkan
oleh aliran-aliran yang menolak ajarannya. Dalam berbagai kisah, diceritakan
bahwa kegagalan para pembunuh itu selalu disertai dengan keajaiban; misalnya
ketika mereka telah mendapatkan kesempatan yang sangat baik untuk membunuh
Nichiren, tiba-tiba ada cahaya yang sangat terang menyilaukan mata mereka,
sehingga mereka ketakutan dan lari meninggalkan Nichiren. Para pengikut
Nichiren merasa bahwa ini adalah berkah dari misi keilahian yang diemban oleh
Nichiren.
Nichiren ingin mengembalikan dan memurnikan kembali ajaran
Tendai, Pure-Land, dan Shingon. Ia memiliki visi yang jauh ke depan, dan ia
memberitahukannya pada para pemerintah di masa itu tentang akan adanya bencana
dan serangan dari Bangsa Mongol. Akan tetapi peringatan dari Nichiren tidak
diindahkan, karena itu ketika Jepang tertimpa bencana gempa dasyat, Nichiren
dan murid-muridnya telah menyelamatkan diri ke tempat yang aman, dan menyatakan
bahwa gempa terjadi karena sedikitnya manusia yang mengambalkan Namu-myoho-renge-kyo dan lebih banyak
melafalkan Nembutsu.
Setelah terjadinya gempa, semakin banyak orang yang mengikuti
ajaran Nichiren, meskipun demikian, tekanan dari Pemerintah terus dilakukan,
Nichiren sempat diasingkan ke Pulau Sodo, kemudian dipenjara, dan dengan
sukarela mengasingkan diri ke Minobu. Di tempat-tempat pengasingan itu,
Nichiren menuliskan esai-esai dan wasiat-wasiat bagi para muridnya.
Nichiren berada di Minobu ketika penyerangan bangsa Mongol.
Karena pengikut Nichiren yang melafalkan Namu-myoho-renge-kyo
sudah banyak, diyakini, karena itulah kapal-kapal bangsa Mongol diterjang dan
ditenggelamkan Badai di perairan Jepang. Sebagian yang selamat melarikan diri
ke Korea. Hal ini terus menyebabkan para pengikut Nichiren bertambah dan
semakin bertambah.
Nichiren jatuh sakit pada tahun 1278. Beliau ingin
menyembuhkan kesehatannya dengan mandi di sumber mata air panas di daerah
Kakurai di propinsi Hitachi (lbaraki-ken). Beliau meninggalkan Minobu pada
tanggal 8 September. Beliau tidak melewati kota Kamakura, dari mana beliau
memulai perjalanan ke Minobu delapan tahun yg lalu. Nichiren tiba di tempat
tinggal Ikegami Munenaka di daerah Ikegami di propinsi Musashi (Tokyo) pada
tanggal 18 September. Pada tanggal 8 Oktober, beliau memilih dari antara
murid2nya, Rokurôsô atau Enam Murid Senior: Nisshô Nichirô Nikkô Nikô, Nitchô
and Nichiji, Nichiren meninggal di Ikegami pada tanggal 13 October 1282, pada
usia enam puluh tahun.[2]
Makna mantra Namu-Myoho-Renge-Kyo[1]
Mantra dari aliran Nichiren ini adalah Namu-Myoho-Renge-Kyo. Maknanya adalah:
Namu or Nam: Nam merupakan
kependekan dari Namu yang digunakan
oleh beberapa aliran Buddhisme lainnya. Namu
berarti kesetiaan. Pada beberapa momen dalam kehidupan; kita semua ‘mengarah’
pada satu jalan tertentu. Contohnya, ketika bekerja pikiran kita mungkin
tersedot oleh detail-detail pekerjaan kita; pada saat itu, seluruh kehidupan
kita terpusat pada pekerjaan; kita berpikir tentang pekerjaan dan melakukan
berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan tersebut. Ketika kita melafalkan
Namu myoho renge kyo, kita
memfokuskan pikiran kita pada Kebuddhaan dalam kehidupan.
Myoho: Myo merujuk pada aspek spiritual dalam kehidupan; sementara Ho merujuk pada aspek fisikal atau
material dalam kehidupan. Mengombinasikan keduanya menjadi satu kata
merepresentasikan interpenetrasi dari keduanya; aspek spiritual dan fisikal
saling menyatu. Myo juga berarti
kehidupan sementara ho kematian;
lagi-lagi keduanya adalah dua hal yang merepresentasikan interpenetrasi dari
kehidupan dan kematian.
Nichiren mengatakan, “apa signifikansi dari myo? Itu adalah sifat misterius dari
kehidupan kita dari waktu ke waktu, yang pikiran kita (the mind) tidak mampu
memahaminya dan kata-kata tidak mampu mengungkapkannya. Ketika kita berusaha
membaca pikiran (our own mind) kita sendiri, kita tidak merasakan warna atau
pun bentuk (form) untuk memverifikasi bahwa ia eksis (the mind). Walaupun kita
tetap tidak bisa mengatakan bahwa itu tidak eksis, karena berbagai pemikiran
yang berbeda terus menerus ada—terjadi. The mind tidak bisa dianggap eksis
ataup un tidak eksis. Kehidupan itu sendiri pada dasarnya adalah sebuah
realitas elusif (sukar untuk dipahami) yang melampaui kata-kata dan
konsep-konsep tentang eksistensi dan noneksistensi, tetapi menunjukkan kualitas
keduanya. Adalah etitas mistis dari Jalan Tengah yang merupakan realitas
tertinggi. Myo adalah nama yang
diberikan kepada alam mistis kehidupan, dan ho
adalah untuk manifestasi-manifestasinya. “
Renge: secara literal, Renge berarti bunga teratai (lotus
flower), yang menyimbolkan keagungan Hukum ini. Karena teratai memproduksi biji
dan bunganya pada saat yang bersamaan, renge
merepresentasikan keseiringan antara sebab dan akibat. Ketika kita melakukan
sebuah sebab, akibatnya telah nampak jauh di dalam kehidupan kita.
Sangat signifikan bahwa Myoho
dan Renge dikombinasikan dalam satu
frase. Myoho merujuk pada hubngan
spiritual dan fisikal, mengingatkan kita bahwa sebab terdalam yang dapat kita
buat adalah pada level spirit (ruh); dan realitas fisik muncul dari spirit.
Perubahan pada diri spiritual kita menghasilkan perubahan pada apa yang kita
lakukan, kata-kata kita, dan tindakan-tindakan kita; yang menyebabkan perubahan
pada alam sekitar kita.
Kyo: berarti ajaran atau
sutra. Juga bisa berarti suara, vibrasi atau ritme; karena sebuah sutra
merupakan suatu suara yang teremanasi dari Buddha. Kuncinya bukan pada gurunya,
tetapi pada ajarannya. Kita tidak menyembah orang, Sang Buddha. Kita memuja
ajaran-ajarannya yang benar, karena ajaran-ajaran tersebut mengantarkan kita
pada pencerahan. Ajaran yang kita rujuk adalah jantung atau maksud dari Lotus
Sutra, pencerahan abadi yang melekat dalam kehidpuan, yang merupakan jalan
menuju pencerahan bagi setiap manusia.
Kyo merupakan
instruksi yang diajarkan antara Buddha dan yang lainnya. Ini merupakan sebuah
jalan untuk menemukan Kebuddhaan kita sendiri dan kebuddhaan bagi masing-masing
orang. Ajaran-ajaran kyo merupakan
sumbernya, maknyanya, pintu masuknya, dan pintu bagi semua orang untuk membuka
kondisi tercerahkan dari Kebuddhaan dalam diri mereka sendiri. Ini merupakan
ajaran yang tidak memisahkan antara dunia spiritual dan dunia fenomenal (dunia
nyata) dimana kita hidup. Ini menjelaskan bahwa bunyi dasar dari suara kita
tidaklah terpisahkan dari spiritualitas dalam diri kita. Hidup kita tidak
terpisahkan oleh ruang dan waktu dari keberadaan spiritual kita.
Kyo lagi-lagi merujuk
pada interpenetrasi antara spiritual dan fisikal. Ajaran dari Sang Buddha
sendiri. Namu myoho renge kyo
merupakan kata-kata Seorang Buddha. Frase tersebut mengajarkan pada kita sifat
Kebuddhaan alami dan mengajak kita untuk menuju alam Kebuddhaan kita sendiri.
karena itu, setiap kali kita membacakan Namu-myoho-renge-kyo, kita telah
menciptakan gelombang suara Buddha.
From the words of Nichiren, “If one understands that one’s
life is myo, then one also
understands that others’ lives are all entities of the Mystic Law. This
realization is the mystic kyo, or
sutra.”[2]
Perkembangan Nichiren di Jepang hingga
masuknya ke Indonesia
Tahun 1294 adalah tahun dimulainya penyebaran ajaran Nichiren
di Kyoto; kemudian terus berkembang hingga abad ke-14, terlepas dari penyiksaan
yang mereka alami di Pegunungan Hiei. Antara aliran Pure-Land dan aliran
Nichiren terus berperang hingga abad 16, sekitar tahun 1632 para pengikut sekte
Nichiren diserang oleh sekte Pure-Land, hingga kurang lebih 58ribu orang
menjadi korban. Bagaimana pun, ajaran Nichiren yang sederhana dan militan ini
terus berkembang, mereka pun menyerang para prajurit dan agama lokal di
sekitarnya. Ironisnya, ajaran ini merupakan ajaran Lotus Sutra yang mengajarkan
keselamatan universal, yang kemudian dibentuk menjadi ajaran paling eksklusif,
dan politis di Jepang. [3]
Masuknya Nichiren
Shoshu ke Indonesia
Agama Buddha Nichiren Shoshu pertama-tama masuk ke Indonesia
pada tahun 1950-an. Tahun 1964 dibentuk wadah bagi umat Nichiren Shoshu di
Indonesia yaitu NSI (Nichiren Shoshu Indonesia). Organisasi umat Buddha Nichiren
Shoshu Indonesia pertama-tama berupa yayasan yaitu Yayasan Buddhist Nichiren
Shoshu.
Berkembang mula-mula di Jakarta. Sejak kepemimpinan
Senosoenoto, agama Buddha Nichiren Shoshu berkembang luas hingga ke desa-desa.
Hingga tahun 2005 ini umatnya telah tersebar di berbagai pelosok Indonesia.
Senosoenoto juga ikut mempelopori berdirinya wadah umat
Buddha di Indonesia, WALUBI. Beliau menjadi Sekretaris Jenderal WALUBI pada
tahun 1977 (saat itu masih bernama MABI ; Majelis Agama Buddha Indonesia)
dengan Ketua Umum Brigjen TNI (purn) Soemantri.
Sepeninggalan almarhum Senosoenoto, umat Buddha Nichiren
Shoshu di Indonesia berada dalam wadah tunggal Yayasan Pandita Sabha Buddha
Dharma Indonesia (YPSBDI), yang diketuai oleh Pandita Aiko Senosoenoto.[4]
REFERENSI:
Kitagawa, Joseph.
M. Religion in Japanese History.
1966. New York: Columbia University Press.
Smith Huston. The World’s Religion: Our Great Widsom
Tradition. 1991. Stockbridge: Norman Rockwell Publishers.
[1]
Dari http://www.nbba.tv “NamuMyohoRengeKyo”
Penulistidakdiketahui; diaksespada 5 April 2013
[2]Dikutipdarihttp://www.nbba.tvartikelberjudul
“NamuMyohoRengeKyo” penulistidakdiketahui, diaksespada 5 April 2013
[1]
Joseph M. Kitakawa. History of Japanese Religion. 1966. Hal 121
[2]Diaksesdarihttp://www.nshi.org/Nichiren
“RiwayatHidupNichirenDaishonin”; diakses pada 5 April 2013